Sebanyak 26 Perusahaan Tekfin Belum Penuhi Syarat Minimal Ekuitas
Dalam Peraturan OJK disebutkan penyelenggara harus memenuhi ekuitas minimal sebesar Rp 2,5 miliar paling lambat 4 Juli 2023 atau setahun setelah Peraturan OJK itu diundangkan pertengahan tahun lalu.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 26 penyelenggara atau perusahaan teknologi finansial pinjaman antarpihak belum memenuhi persyaratan ekuitas minimal sebesar Rp 2,5 miliar. Apabila mereka tidak memenuhi persyaratan minimal itu sebelum 4 Juli 2023, akan dikenai sanksi bertahap mulai dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Lembaga Penjaminan, dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono mengatakan, saat ini terdapat 26 penyelenggara atau perusahaan teknologi finansial (tekfin) pinjaman antarpihak (peer to peer lending/P2P lending) yang belum memenuhi ekuitas minimal sebesar Rp 2,5 miliar. Bahkan, lanjut Ogi, sebanyak 12 perusahaan di antaranya memiliki ekuitas negatif.
Jumlah 26 perusahaan itu setara dengan seperempat dari total perusahaan di industri tekfin P2P lending yang sebanyak 102 perusahaan. Adapun 76 perusahaan lainnya sudah memenuhi minimal ekuitas yang dipersyaratkan tersebut.
”Kami sudah menyurati manajemen mereka untuk memenuhi ekuitas minimum sesuai ketentuan,” ujar Ogi dalam jumpa pers hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK, Selasa (6/6/2023), di Jakarta.
Peraturan mengenai ekuitas minimum bagi penyelenggara itu tertera dalam Peraturan OJK Nomor 10 Tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi. Dalam Peraturan OJK itu disebutkan, penyelenggara harus memenuni ekuitas minimal sebesar Rp 2,5 miliar paling lambat 4 Juli 2023 atau setahun setelah Peraturan OJK itu diundangkan pertengahan tahun lalu.
Adapun Juli tahun depan atau dua tahun setelah POJK itu diundangkan, mereka harus memenuhi ekuitas minimal sebesar Rp 7,5 miliar. Pada Juli 2025 atau tiga tahun setelah POJK diundangkan, harus memenuhi ekuitas minimal sebesar Rp 12,5 miliar.
Peraturan itu juga menyebutkan, penyelenggara yang melanggar ketentuan ekuitas minimal itu akan dikenai sanksi. Sanksi diberikan bertahap mulai dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan izin.
Ogi menjelaskan, upaya pemenuhan ekuitas itu dalam rangka untuk menyempurnakan sistem dan kualitas layanan P2P lending kepada masyarakat. Jika sampai dengan 4 Juli 2023 jumlah tekfin P2P lending yang berhasil memenuhi ekuitas minimal itu ada jumlah yang besar, pihaknya tengah mempertimbangkan membatalkan moratorium tekfin P2P lending baru dan membuka kembali kedatangan perusahaan baru.
”Kami akan lihat dan kaji sistem operasional yang harus dimiliki, kompetensi pengurus, manajemen risiko, dan tata kelola perusahaan tekfin P2P lending ini,” ujar Ogi.
Dihubungi secara terpisah, Grup CEO Akseleran Ivan Nikolas Tambunan mengatakan, perusahaannya sudah memenuhi ekuitas minimal tersebut. Saat ini posisi ekuitasnya sebesar Rp 80 miliar. ”Kami tentu akan terus mengupayakan penambahan modal sebagaimana diperlukan untuk pengembangan bisnis dan layanan,” ujarnya.
Penguatan
Ivan yang juga merupakan Ketua Hukum, Etika, dan Perlindungan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengatakan, asosiasi menyambut baik aturan ekuitas minimal itu. Sebab, dengan demikian, makin memperkuat permodalan dan arus kas masing-masing perusahaan tekfin P2P lending. Pada akhirnya, peningkatan permodalan dan arus kas itu terus meningkatkan pula kesehatan keuangan serta layanan. ”Kami melihat hal ini baik untuk menyehatkan industri ini,” katanya.
Ia mengatakan, jumlah peningkatan minimal ekuitas secara bertahap hingga 2025 ini masih dalam tahap wajar. Sebab, sudah disosialisasikan sejak tahun lalu sehingga manajemen perusahaan memiliki cukup untuk mencari tambahan ekuitas. Jumlahnya yang dipersyaratkan pun bisa memungkinkan untuk dicapai.
Namun, menurut dia, apabila sampai dengan 4 Juli 2023 ada perusahaan yang tidak berhasil memenuhi jumlah ekuitas minimal yang dipersyaratkan, menunjukkan ada seleksi alam dalam industri ini. Artinya, perusahaan itu memang perlu proses lebih berat untuk bertahan di industri ini.