Soal Ekspor Pasir Laut, DPR Siap Minta Keterangan Pemerintah
Penyusunan PP memang ranah pemerintah. Namun, Indonesia perlu belajar dari kebijakan masa lalu mengenai ekspor pasir laut yang menuai banyak protes dan aspirasi publik yang menuntut untuk dihentikan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah untuk membuka ekspor pasir laut dinilai tidak transparan dan minim partisipasi publik. Komisi IV DPR RI berencana meminta penjelasan pemerintah terkait kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi laut dan ekspor pasir laut.
Kebijakan tersebut di atas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 15 Mei 2023. Sejak diterbitkan, PP tersebut langsung memicu polemik di masyarakat.
Anggota Komisi IV DPR Yohanis Fransiskus Lema, dari Fraksi Partai PDI Perjuangan, mempertanyakan proses penyusunan PP No 26/2023 yang terkesan tertutup dari publik. Klaim pemerintah bahwa proses penyusunan PP itu telah berlangsung selama dua tahun dinilai minim partisipasi publik. Sebagai mitra pemerintah, DPR tidak pernah diajak diskusi, bahkan kajian naskah akademis yang melandasi peraturan itu juga tidak dibuka ke publik.
Yohanis menilai, produk perundang-undangan seharusnya disertai dengan konsultasi publik dan sosialisasi, baik melibatkan masyarakat, pegiat lingkungan hidup, akademisi, atau lembaga swadaya masyarakat. Namun, proses itu diabaikan dalam penyusunan PP No 26/2023. Akibatnya, sejak awal diterbitkan, aturan itu terus menuai polemik di masyarakat.
”DPR RI akan memanggil pemerintah untuk meminta penjelasan dan motif dari terbitnya PP tersebut. Kami sama sekali tidak tahu-menahu dan diajak diskusi tentang aturan ini. Proses pembuatannya tertutup dari publik. Kami baru tahu setelah PP ini keluar,” kata Fransiskus, saat dihubungi, Selasa (6/6/2023), di Jakarta.
Ia menambahkan, pemerintah seharusnya transparan terhadap kebijakan yang sangat berdampak pada masyarakat, khususnya nelayan dan masyarakat pesisir. Penyusunan PP yang terkesan sepihak dikhawatirkan hanya sekadar berorientasi ekonomi dan penerimaan negara, tetapi melupakan pertimbangan ekologi. ”Terkait pendapatan negara, toh, masih banyak sumber daya alam lain yang bisa dioptimalkan,” ucapnya.
Menurut Yohanis, DPR tengah menyusun revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Salah satu substansi dari revisi itu terkait upaya menjaga keseimbangan ekosistem dan ekologi, yakni aktivitas ekonomi di ruang laut jangan sampai mengganggu proses konservasi. Pihaknya akan melihat sejauh mana substansi PP No 26/2023 sejalan terhadap revisi UU No 5/1990.
Penyusunan PP memang ranah pemerintah. Namun, Indonesia perlu belajar dari kebijakan masa lalu mengenai ekspor pasir laut yang menuai banyak protes dan aspirasi publik yang menuntut untuk dihentikan.
Kaji ulang
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Luluk Nur Hamidah, menambahkan, penyusunan PP memang ranah pemerintah. Namun, Indonesia perlu belajar dari kebijakan masa lalu mengenai ekspor pasir laut yang menuai banyak protes dan aspirasi publik yang menuntut untuk dihentikan.
Menurut dia, pengawasan yang lemah membuat sulit memastikan berapa banyak pasir laut dimanfaatkan peruntukannya, termasuk celah penyelundupan. Pasir laut merupakan isu krusial mencakup ekologi hingga kedaulatan negara, sehingga dinilai tidak urgen untuk diambil dan diekspor. Langkah membuka ekspor pasir laut dari hasil sedimentasi laut dikhawatirkan merupakan upaya melegalisasi untuk membawa pasir laut ke luar negeri.
”Bagaimana memastikan pasir laut yang diambil itu berasal dari hasil sedimentasi laut? Kita dulu gagal mencegah kebocoran penyelundupan pasir laut yang melibatkan oknum penguasa,” tutur Luluk.
Luluk menambahkan, nilai kemanfaatan dari ekspor pasir laut belum tentu besar, sementara dampak negatif terhadap ekologis sudah terbukti pernah terjadi. Pemerintah terkesan mengulang kembali kebijakan yang pernah dilarang karena membahayakan ekologi demi kepentingan ekonomi. Sementara itu, kondisi ekologi laut sedang tidak baik, ditandai kerusakan mangrove di sejumlah wilayah, dan abrasi yang terus berlangsung.
”Apakah tidak punya nilai kompetitif lain untuk diekspor? PP No 26/2023 perlu dikoreksi, dikaji ulang, bahkan dibatalkan,” katanya.
Reklamasi bukan solusi
Sementara itu, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Parid Ridwanuddin, mengemukakan, reklamasi bukan solusi untuk memperbaiki kesehatan laut. Kebutuhan pasir laut dalam jumlah besar untuk reklamasi merupakan ironi bagi negara kepulauan. Reklamasi justru menjadi sangat rawan mendesak ruang penghidupan nelayan. Di sisi lain, kebutuhan reklamasi untuk rehabilitasi seharusnya dilakukan dengan cara memulihkan ekosistem alami, seperti penanaman mangrove.
Reklamasi justru menjadi sangat rawan mendesak ruang penghidupan nelayan. Di sisi lain, kebutuhan reklamasi untuk rehabilitasi seharusnya dilakukan dengan cara memulihkan ekosistem alami, seperti penanaman mangrove.
Ia mencontohkan, reklamasi di Teluk Jakarta tidak diikuti dengan perbaikan akses publik untuk mendapatkan pantai bersih. Pantai di Jakarta sudah dikavling-kavling, sedangkan masalah pencemaran tidak terselesaikan.
Terkait hal tersebut, Direktur Jasa Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Miftahul Huda, mengemukakan, indeks kesehatan di laut sangat dipengaruhi oleh sedimentasi di laut. Pengendalian hasil sedimentasi laut akan meningkatkan beberapa indikator indeks kesehatan laut Indonesia, terutama terkait fungsi laut dalam tiga hal, yaitu laut sebagai penyimpan karbon, laut sebagai sumber mata pencarian dan ekonomi, dan laut sebagai perairan yang bersih.
Indeks kesehatan laut dapat dinaikkan 30 persen sampai tahun 2030. Dengan adanya pengendalian sedimentasi laut, nilai kesehatan laut akan meningkat pada tahun 2020 dari 58,24 menjadi 75,712.