Industrialisasi Jadi Jalan Keluar dari Jebakan Negara Berpendapatan Menengah
Indonesia memiliki visi untuk dapat menjadi negara maju saat menginjak usia satu abad pada tahun 2045.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah ke bawah guna menjadi negara maju merupakan ikhtiar bangsa Indonesia. Industrialisasi adalah salah satu cara agar Indonesia terbebas dari jebakan tersebut sehingga dapat mewujudkan visi Indonesia Emas pada tahun 2045.
Demikian disampaikan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa dalam diskusi terbatas mengenai Visi Indonesia 2045 yang digelar Kompas bersama Bappenas, di Jakarta, Senin (5/6/2023). Fokus pembahasan dalam diskusi kali ini adalah bagaimana memajukan industri yang menyejahterakan rakyat.
”Transformasi ekonomi kita harapkan akan membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah ke bawah. Kalau ingin keluar dari jebakan itu, maka selama tahun 2025 sampai 2029, rata-rata pertumbuhan ekonomi harus 6 persen sampai 6,5 persen. Setelah itu, harus di atas 7 persen,” ujar Suharso dalam sambutannya.
Selama lebih kurang 30 tahun, pendapatan per kapita Indonesia berada dalam kategori negara berpendapatan menengah ke bawah. Saat ini, pendapatan per kapita Indonesia tercatat pada angka 4.120 dollar AS atau 5,9 persen pendapatan per kapita Amerika Serikat.
Padahal, Indonesia memiliki visi untuk dapat menjadi negara maju saat menginjak usia satu abad pada tahun 2045. Dengan bonus demografi yang dimiliki atau jumlah penduduk usia produktif lebih banyak daripada penduduk usia nonproduktif, rasio ketergantungan Indonesia mencapai titik terendah pada 2022-2030.
Suharso menambahkan, Indonesia akan menjadi negara maju apabila produk domestik bruto (PDB) mencapai jumlah nominal 9,8 triliun dollar AS atau rata-rata tumbuh 7 persen hingga 2045. Hal itu dapat didorong, salah satunya, melalui kontribusi industri manufaktur terhadap PDB hingga mencapai 28 persen dan berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja hingga 25,2 persen.
Namun, saat ini, Indonesia justru mengalami deindustrialisasi sebelum menjadi negara maju. Hal ini tampak dari kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB Indonesia yang terus menurun dari 27,41 persen pada tahun 2005 menjadi 18,34 persen pada tahun 2022.
”Kontribusi manufaktur turun karena tingkat produktivitas kita masih rendah,” lanjut Suharso.
Untuk meningkatkan hal itu, ujarnya, perlu dilakukan transformasi ekonomi dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Produktivitas ekonomi juga dapat ditingkatkan dengan industrialisasi serta pengembangan ekonomi kreatif dan pariwisata.
Menyejahterakan
Di sisi lain, proses industrialisasi perlu memperhatikan tidak hanya pertumbuhan ekonomi, tetapi juga perubahan sosial. Ekonom senior sekaligus pendiri Center of Reform on Economics, Hendri Saparini, menjelaskan, pembangunan industri perlu memperhatikan struktur sosial masyarakat. Sebab, masyarakat adalah bagian terpenting dalam mencapai negara industri.
”Faktanya, 57 persen masyarakat kita adalah lulusan SMP ke bawah dan 39 persen SD ke bawah. Merekalah yang akan diajak untuk menuju industrialisasi. Industrialisasi harus menyelesaikan berbagai masalah, yakni membuat biaya hidup lebih ringan atau biaya hidup naik tapi pendapatannya lebih tinggi lagi,” paparnya.
Industrialisasi adalah transformasi dari kegiatan ekonomi masyarakat berbasis pertanian menuju kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai tambah, lapangan kerja, daya saing, dan kesejahteraan. Saat ini, transformasi ini belum begitu tampak karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih tergolong agraris.
”Saat ini kita sedang melakukan industrialisasi, tapi kita cenderung tidak berpihak pada bumi. Dikhawatirkan, 20 tahun mendatang, ekonomi yang membesar itu tidak menyejahterakan masyarakat,” lanjutnya.
Menurut Hendri, harus ada kebijakan yang komprehensif untuk menjalankan industrialisasi. Kebijakan tersebut memuat hilirasi tidak hanya di sektor pertambangan, tetapi juga di sektor-sektor yang lain, seperti pertanian.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Eka Sastra menambahkan, keterbatasan sumber daya manusia di Indonesia adalah belum memiliki kecakapan khusus yang dibutuhkan oleh industri-industri tertentu. Di sisi lain, inovasi yang dihasilkan perguruan tinggi belum terhubung dengan dunia kerja.
”Semua negara bisa maju kalau sektor industrinya maju dengan kokoh. Dari segi infrastruktur, biaya logistik kita masih 24 persen atau jauh lebih tinggi dari negara lain. Harapannya, pemerintah turut membantu dengan kebijakan perpajakan dan kebijakan infrastruktur sehingga pelaku industri di Indonesia bisa bersaing secara global,” tutur Eka.
Riset dan teknologi
Pendidikan tinggi, riset, dan inovasi disebut merupakan tulang punggung industrialisasi. Rektor IPB University Arif Satria mengatakan, Global Innovation Index (GII) Indonesia pada tahun 2022 berada di posisi ke-75 dunia.
”GII berkorelasi positif dengan pendapatan per kapita sebuah negara. Inovasi menjadi lokomotif penting dalam pembangunan ekonomi satu negara. Semakin tinggi skor inovasi sebuah negara, pertumbuhan ekonominya semakin tinggi. Artinya, inovasi dan ekonomi kita masih belum baik,” ujar Arif.
Bank Dunia pada tahun 2020 mencatat, dana riset terhadap PDB Indonesia hanya 0,3 persen. Hal ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata dunia dana riset terhadap PDB, yakni sebesar 2 persen.
Selain itu, lanjutnya, pendanaan riset kepada perguruan tinggi juga tidak stabil. Pada tahun 2019, anggaran pendanaan riset perguruan tinggi yang dialokasikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp 1,2 triliun. Namun, pada tahun 2023, anggaran tersebut turun menjadi Rp 600 miliar. ”Bagaimana mau berinovasi yang unggul kalau dana risetnya separuh dari tahun 2019,” katanya.
Di sisi lain, industri juga perlu mendukung inovasi di perguruan tinggi. Di Korea Selatan, misalnya, sektor industri berkontribusi terhadap pendanaan riset sebesar 60 persen. Sementara di Indonesia, pendanaan riset terdiri dari 20 persen kerja sama dengan swasta dan 80 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Arif menambahkan, terdapat sejumlah tantangan dalam menghubungkan perguruan tinggi dengan industri, antara lain, belum terbangunnya kepercayaan yang tinggi satu sama lain.