Disparitas Jadi Tantangan Pembangunan Kesehatan Nasional
Pemerintah memerlukan arah kebijakan serta rencana jangka panjang yang jelas dan terukur dalam upaya pembangunan kesehatan nasional. Program yang dijalankan pun diharapkan bisa berkelanjutan.
JAKARTA, KOMPAS — Pada tahun 2045, Indonesia akan masuk pada usia emas. Di saat itulah, Indonesia diharapkan bisa menjadi negara dengan pendapatan tinggi setara negara maju. Bonus demografi pun bisa dicapai secara optimal.
Akan tetapi, capaian dari cita-cita tersebut hanya bisa didapatkan jika sumber daya manusia yang dimiliki berkualitas dan berdaya saing. Itu termasuk kualitas dari status kesehatan setiap individu di masyarakat. Sementara saat ini, selain kualitas kesehatan belum optimal, kesenjangan juga masih ditemukan. Itu termasuk pada kesenjangan komitmen dari para pemangku kepentingan.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa dalam diskusi bertajuk “Manusia Cerdas dan Sehat Menuju 2045” yang diselenggarakan oleh Kompas bersama Bappenas di Jakarta, Rabu (31/5/2023) menuturkan, berbagai persoalan kesehatan masih dihadapi di Indonesia. Hal itu menyebabkan status kesehatan masyarakat pun menjadi rendah.
Baca juga: Dibutuhkan Klausul Mengikat agar Rencana Pembangunan Nasional Berjalan
”Layanan kesehatan dasar dan jaminan gizi merupakan bagian dari prioritas transformasi sosial yang harus kita capai. Banyak hal yang kita ingin capai sampai 2045, seperti usia harapan hidup bisa sampai 80 tahun serta penuntasan stunting dan penyakit lainnya. Itu sebabnya langkah transformasi perlu segera dilakukan,” katanya.
Layanan kesehatan dasar dan jaminan gizi merupakan bagian dari prioritas transformasi sosial yang harus kita capai. Banyak hal yang kita ingin capai sampai 2045.
Pemerintah pun telah menyusun rancangan awal yang akan diterjemahkan dalam visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) pada 2025-2045 di bidang kesehatan.
Setidaknya ada empat indikator dalam arah pembangunan bidang kesehatan yang ditargetkan bisa tercapai pada 2045 yakni usia harapan hidup ditargetkan 80 tahun, prevalensi tengkes 5 persen, kejadian tuberkulosis 76 per 100.000 penduduk, serta cakupan kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional 99,5 persen dari total populasi penduduk.
Menurut Suharso, manusia Indonesia yang unggul pada 2045 harus sehat, cerdas dan terpelajar, serta terlindungi dan sejahtera. Perencanaan yang baik dan berkelanjutan pun dibutuhkan agar upaya yang dijalankan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian PPN/ Bappenas Amich Alhumami menuturkan, disparitas capaian pembangunan kesehatan antardaerah juga menjadi tantangan yang dihadapi untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia. Secara umum, capaian pembangunan kesehatan di wilayah Indonesia bagian Barat, khususnya Jawa dan Bali lebih baik dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Wilayah Indonesia bagian Tengah dan Timur tercatat memiliki kejadian penyakit menular seperti kusta dan malaria yang tinggi. Akses pada fasilitas dan tenaga kesehatan juga masih terbatas di wilayah tersebut.
Namun, wilayah Indonesia bagian Barat juga dihadapkan pada tingginya beban permasalahan kesehatan secara absolut sesuai dengan besarnya populasi di wilayah tersebut. Permasalahan kesehatan yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia Barat, seperti tuberkulosis dan tengkes (stunting).
Komitmen dari setiap pemangku kepentingan amat menentukan untuk memastikan status kesehatan di masyarakat bisa meningkat dan merata. Itu sebabnya, konvergensi yang baik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah juga dibutuhkan.
Baca juga: Fokus ke Layanan Kesehatan Primer
Fasilitas kesehatan primer
Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto mengatakan, penguatan infrastruktur kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat primer perlu menjadi fokus dalam pembangunan kesehatan nasional. Pelayanan kesehatan berbasis komunitas dinilai lebih efektif untuk menjangkau lebih banyak masyarakat. Selain itu, akses pada layanan kesehatan menjadi lebih mudah dan dekat bagi masyarakat.
“Pembangunan infrastruktur kesehatan bukan dengan swastanisasi karena itu pasti ada kepentingan komersialisasi. Jadi, saya kira, komitmen penganggaran dari pemerintah pada infrastukrut kesehatan terutama di kesehatan primer menjadi sangat penting,” tuturnya.
CEO Halodoc Jonathan Sudharta menambahkan, pemanfaatan teknologi sebaiknya masuk sebagai bagian dari perencanaan dalam pembangunan kesehatan nasional. Pandemi Covid-19 telah membuktikan bahwa teknologi dapat membantu pemerataan akses kesehatan di Indonesia.
Baca juga: Pembangunan Kesehatan dan Tantangan Masa Depan
”Penggunaan teknologi dapat membantu kita untuk mengoptimalkan kekuatan yang kita miliki dan memanfaatkan kesempatan yang ada semaksimal mungkin untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia kita,” ucapnya.