Aturan Pengelolaan Sedimentasi Pasir Perlu Dikaji Ulang
Kebijakan pengelolaan sedimentasi laut dan ekspor pasir laut dinilai perlu dikawal guna memastikan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem dan penghidupan masyarakat pesisir.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pengelolaan sedimentasi dan ekspor pasir laut perlu dikaji kembali. Aturan itu dinilai tidak berlandaskan kajian komprehensif, sementara dampak ekologis yang ditimbulkan berpotensi lebih besar daripada nilai ekonomi yang didapat.
Kebijakan pengelolaan sedimentasi diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 15 Mei 2023. Sejak diterbitkan, PP tersebut langsung memicu polemik di masyarakat.
Rektor Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Pinang Agung Dhamar Syakti mengemukakan, eksploitasi pasir laut merupakan kegiatan ekstraktif dan jangka pendek meskipun mendatangkan penerimaan cukup besar bagi negara. Oleh karena itu, perlu dipikirkan dampaknya terhadap keberlanjutan ekosistem dan sumber daya alam ke depan serta dampak ekonomi.
Ia mencontohkan, di Kepulauan Riau, masyarakat di pulau-pulau kecil menggantungkan penghidupan dari wisata bahari dan perikanan. Ekspor pasir laut di masa lalu tidak terbukti memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat pesisir di lokasi penggalian pasir.
”PP sebagai sebuah produk hukum harus terbuka untuk dikritisi, mendapatkan masukan-masukan, termasuk judicial review,” kata Agung Dhamar, Minggu (4/6/2023), menanggapi polemik di masyarakat terkait ekspor pasir laut.
Guru Besar Bidang Ilmu Ekologi Pesisir IPB University Dietriech G Bengen saat dihubungi mengemukakan, sedimentasi laut dinilai tidak selalu berdampak negatif, tetapi bisa juga berdampak positif untuk ekosistem laut. Di beberapa tempat, sedimentasi laut yang masuk ke pesisir dan terperangkap di mangrove justru berpengaruh baik. Sebab, sedimentasi mengandung banyak bahan organik dan unsur hara yang bagus dimanfaatkan oleh ekosistem mangrove.
Ia juga mempertanyakan dasar penghitungan potensi sedimentasi laut lebih dari 24 miliar meter kubik (m3) yang tercantum dalam naskah kajian akademis PP No 26/2023. ”Sedimentasi laut tidak bisa dihitung secara generalisasi. Dinamika perairan dan arus antarwilayah berbeda sehingga penghitungan sedimentasi seharusnya sangat lokalistik dan spesifik wilayah,” tutur Dietriech.
Transparan
Kendati demikian, Agung Dhamar dan Dietriech juga memahami kepentingan negara terkait pengelolaan sedimentasi, yang salah satunya untuk pembangunan.
Menurut keduanya, kalaupun pengelolaan sedimentasi dan ekspor pasir tetap dilakukan, implementasinya harus secara baik, transparan, dan terbuka.
Dietriech mengatakan, pengambilan sedimentasi laut harus ditunjang kajian komprehensif untuk menentukan lokasi pengambilan, kandungan sedimentasi, serta teknologi pengambilan yang aman. Selain itu, pengangkutannya harus dipastikan tidak tercecer di perairan dan menimbulkan kerusakan ekologi.
Dicontohkan, penambangan pasir laut di Kepulauan Riau pada era 1980-an dilakukan dengan teknik yang keliru sehingga sebagian pengerukan sedimentasi laut itu justru masuk ke terumbu karang, mengendap, hingga mengakibatkan terumbu karang mati.
Menurut Agung Dhamar, pemerintah dinilai perlu lebih terbuka ke publik terkait rencana ekspor pasir laut, lokasi pengambilan pasir laut, nilai ekspornya, serta penerimaan negara. Dengan demikian, publik bisa mengawal sehingga bisa menekan celah penyimpangan ekspor pasir laut.
Ia menambahkan, pengelolaan pasir laut juga memerlukan pengawasan yang sangat ketat.
Direktur Jasa Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan Miftahul Huda saat dihubungi, Senin, mengemukakan, lokasi prioritas dan volume sedimen di laut yang telah ditetapkan nantinya akan dipublikasikan.
Menurut dia, sebanyak 24 ibu kota provinsi berada di wilayah pesisir sehingga potensi untuk dilakukan reklamasi di pesisir Indonesia akan lebih besar, baik untuk pengembangan ekonomi maupun dalam rangka rehabilitasi untuk mengurangi dampak abrasi, penurunan muka air laut, hilangnya garis pantai, penyediaan infrastruktur kawasan, sarana publik, seperti jalan, jembatan, bahkan dalam rangka mengembalikan pulau yang hampir hilang, seperti reklamasi Pulau Nipah.
Rencana reklamasi yang secara legal diatur dan telah mendapatkan persetujuan kesesuaian ruang laut seluas lebih dari 7.000 hektar. Apabila dilakukan pengurukan sampai 10 meter pada lokasi-lokasi reklamasi itu, dalam dua tahun ke depan dibutuhkan material sekitar 700 juta m3. Pengambilan material dari darat tentu akan menimbulkan bencana yang lebih parah, seperti banjir dan tanah longsor.
”Pilihannya memang mengambil material yang secara proses alami selalu ada, yaitu sedimentasi. Sedimentasi yang terbentuk dari proses alami dan selalu ada pada beberapa lokasi, seperti di muara sungai ataupun pada perairan laut yang mengganggu alur nelayan dan tempat pemijahan ikan, harus diambil dan dibersihkan, dan materialnya dapat digunakan untuk reklamasi,” papar Huda.