Pengelolaan Nikel dan Ketergantungan terhadap Asing Tentukan Ekosistem Baterai
Sebagai negara yang mempunyai cadangan nikel berlimpah, Indonesia hendaknya tetap bijak dalam proses produksi. Belajar dari impor minyak, perilaku yang terkesan jorjoran membuat Indonesia menjadi bergantung pada asing.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengelolaan sumber daya mineral berupa nikel sebagai bahan baku baterai menjadi kunci untuk menciptakan ekosistem kendaraan listrik. Namun, program hilirisasi yang digaungkan oleh pemerintah juga perlu memperhatikan peran pengusaha domestik agar Indonesia tidak bergantung pada asing.
Survei United States Geological pada 2022 menyebut cadangan nikel Indonesia mencapai 21 juta ton atau setara dengan 22 persen dari cadangan nikel global. Dengan total produksi sebesar 1 juta ton pada 2021, Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara penghasil nikel, jauh di atas Filipina dengan produksi 370.000 ton dan Rusia dengan 250.000 ton.
Akan tetapi, berdasarkan kelasnya, hanya nikel kelas 1 atau nikel sulfat yang dapat digunakan sebagai bahan utama penyusun prekursor katoda baterai kendaraan listrik. Sementara nikel kelas 2 biasanya digunakan untuk feronikel sebagai bahan dasar stainless steel.
Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, menyampaikan, masa depan industri nikel cukup menjanjikan karena Indonesia menjadi negara produsen nikel terbesar di dunia. Hal ini kemudian didukung dengan paradigma global yang kini bergeser ke arah kendaraan listrik sehingga Indonesia berpeluang menjadi pemain utama di rantai pasok baterai kendaraan listrik.
”Dalam proses pembangunan ekosistem, kita sebaiknya berfokus pada sektor baterai. Kita tidak perlu ikut membangun pabrik mobil listrik tapi cukup terlibat dalam membangun ekosistem mobil listrik. Seperti Taiwan, dengan satu chip saja, dunia bisa bergantung pada Taiwan,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (3/6/2023).
Untuk bisa mencapai hal itu, ucap Ferdy, pemerintah perlu mengelola sumber daya nikel dengan bijak. Belajar dari sejarah dalam mengelola kekayaan alam berupa minyak dan gas, sejak 2004 produksi minyak Indonesia terus menurun dari 1 juta barel per hari (bph) menjadi 750.000 bph pada 2022.
Dengan kemampuan produksi bahan bakar minyak (BBM) di kilang milik Pertamina (Persero) yang hanya mencapai 800.000 bph, pemerintah pun melakukan impor BBM demi memenuhi kebutuhan domestik. Oleh sebab itu, pengelolan nikel juga perlu dibatasi agar situasi yang terjadi pada BBM tidak berulang pada nikel.
Kalau tidak dikontrol, kita hanya jadi akan jadi penonton. Perusahaan-perusahaan domestik tidak hanya didorong untuk masuk dalam hilirisasi di feronikel, tetapi juga sulfat.
”Produksi nikel perlu diatur, jangan sampai terlalu masif dan terkesan jorjoran dalam mengejar target demi pembangunan, tetapi lupa produksi nikel dalam negeri. Kalau tidak ditahan, nikel yang kita punya hanya bisa bertahan kira-kira 10-15 tahun saja, sedangkan sekarang trennya mulai masuk pembangunan mobil listrik,” ujar Ferdy.
Di sisi lain, bagian hilir dalam proses hilirisasi nikel cenderung masih didominasi oleh asing. Ferdy menyebut, 80 persen pelaku industri sektor nikel berasal dari China.
Undang-Undang (UU) Nomor 3 tahun 2O2O tentang Perubahan Atas UU No 4/2OO9 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, kata Ferdy, hanya mengatur pembatasan kepemilikan saham perusahaan tambang oleh asing yang ada di hulu. Di sisi lain, pembatasan kepemilikan saham oleh asing di bagian hilir tidak diatur.
”Industri kita sudah dikuasai China. Kalau tidak dikontrol, kita hanya akan jadi penonton. Perusahaan-perusahaan domestik tidak hanya didorong untuk masuk dalam hilirisasi di feronikel, tetapi juga sulfat,” kata Ferdy.
Ferdy mencontohkan, PT Halmahera Persada Lygend (PT HPL) yang berafiliasi bisnis dengan PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) meresmikan pabrik produksi nikel sulfat pertama di Indonesia di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, Rabu (31/5/2023). Sebelumnya, unit usaha dari Harita Nickel Group ini telah menghasilkan mixed hydroxide precipitate (MHP) sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik dan menjadi industri pionir di Indonesia pada medio 2021.
Dalam keterangan resminya, Direktur PT Halmahera Persada Lygend Tonny H Gultom mengatakan, pabrik nikel sulfat terbesar di dunia sekaligus pertama di Indonesia ini menggunakan teknologi high pressure acid leaching (HPAL) dengan kapasitas produksi hingga 240.000 metrik ton per tahun dan kandungan nikel metal 54.000 ton per tahun. Lebih lanjut, ekspor perdana nikel sulfat akan dilakukan pada Juni 2023.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Septian Hario Seto memaparkan, selain menjadi capaian yang bersejarah, ini juga menjadi wujud kolaborasi antara investor lokal dan investor asing. Berdasarkan hasil audit kawasan, industri pertambangan di Pulau Obi merupakan salah satu yang terbaik dalam hal pengelolaannya.
”Nikel sulfat merupakan produk turunan dari nikel yang nanti dapat diolah menjadi prekursor. Pabrik-pabrik HPAL di dunia butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa melakukan ramp up capacity, tetapi di sini, dengan teknologi baru ini hanya dalam waktu beberapa bulan bisa meningkatkan kapasitas,” kata Septian.
Salah satu tantangan bagi perusahaan domestik untuk membangun smelter nikel adalah biaya investasi yang tidak sedikit. Secara terpisah, pengamat ekonomi energi yang juga dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menjelaskan, perusahaan asing, terutama yang berasal dari China, cenderung lebih siap untuk membangun smelter.
Di sisi lain, teknologi dan inovasi dalam negeri masih belum cukup mampu mengimbangi kapasitas negara lain yang lebih maju. Oleh sebab itu, ujar Fahmy, dibutuhkan kerja sama antara pelaku usaha domestik dan negara lain.
”Tapi, perlu ada persyaratan dalam membuat kerja sama, yakni transfer teknologi, terutama terkait kecakapan sumber daya manusia. Misalnya, dalam kurun waktu lima tahun, investor asing harus melakukan transfer teknologi sehingga akan ada produk asli buatan dalam negeri,” kata Fahmy.
Dengan demikian, ekosistem kendaraan listrik dapat terbangun dengan baik dan Indonesia dapat menguasai rantai pasok baterai. Selain itu, industrialisasi dalam ekosistem kendaraan listrik juga dapat menjadi penyumbang pertumbuhan ekonomi yang selama ini ditopang oleh tingkat konsumsi dalam negeri.
Hal itu bisa dilihat ketika pemerintah mulai melarang ekspor bijih nikel pada tahun 2020 sampai saat ini. Kendati hal itu sempat mengakibatkan nilai ekspor Indonesia mengalami defisit, selang dua tahun, produk-produk turunan nikel justru memberikan nilai tambah hingga tiga kali lipat.