Menangkap Peluang dari Kebijakan ”Auto Rejection” Bawah Simetris
Bursa Efek Indonesia kembali menerapkan Auto Rejection Bawah Simetris secara bertahap seiring dengan kondisi pasar yang mulai stabil. Ini menjadi momentum bagi pelaku pasar generasi Covid-19 untuk belajar.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
Kondisi perekonomian global sempat mengalami gejolak akibat efek dari adanya pandemi Covid-19, tak terkecuali bursa saham. Kondisi ini tampak dari pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sejak awal tahun 2020 hingga 24 Maret 2020 terkoreksi sedalam 37 persen atau dari 6.283 menjadi 3.937.
Merespons kondisi tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan relaksasi dengan mengeluarkan Surat Nomor S-281/PM.21/2020 mengenai Perubahan Auto Rejection dan Penyesuaian Mekanisme Pra Pembukaan (Pre-Opening) kepada PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Relaksasi tersebut diberikan agar pasar modal tetap beroperasi dengan stabil dan menjaga kepercayaan para pelaku pasar di tengah ketidakpastian akibat pandemi Covid-19.
Selanjutnya, Direksi PT BEI mengeluarkan Surat Keputusan No Kep-00023/BEI/03-2020 tentang Perubahan Batasan Auto Rejection yang menetapkan batas bawah sebesar 10 persen. Kemudian, PT BEI dalam keterangan resminya kembali menetapkan batas Auto Rejection Bawah (ARB) menjadi 7 persen pada 13 Maret 2020. Sementara batas Auto Rejection Atas (ARA) pada harga acuan Rp 50 sampai Rp 200 per lembar saham sebesar 35 persen, Rp 200 sampai Rp 5.000 per lembar saham sebesar 25 persen, dan lebih dari Rp 5.000 per lembar saham sebesar 20 persen.
Auto Rejection merupakan sistem otomatis yang dibuat oleh bursa agar perdagangan saham dapat berjalan secara wajar, teratur, dan efisien, serta melindungi investor dari pergerakan harga saham yang ekstrem. Sistem tersebut secara otomatis akan berfungsi ketika harga saham menembus batas atas maupun bawah. Dengan demikian, ARB akan terjadi ketika harga saham menyentuh batas bawah sebesar 7 persen, transaksi jual atau beli tidak akan diproses, begitu pula sebaliknya saat harga saham menembus batas atas (ARA).
Baru-baru ini, PT BEI mengeluarkan kebijakan untuk mengembalikan ketentuan Auto Rejection sebagaimana berlaku saat sebelum pandemi Covid-19. Hal itu sesuai dengan Surat OJK Nomor S-68/D.04/2023 tentang Keberlakuan Kebijakan Relaksasi Dalam Menjaga Kinerja dan Stabilitas Pasar Modal Akibat Penyebaran Corona Virus Disease 2019.
"Dengan ini kami sampaikan kembali bahwa BEI telah mengimplementasikan normalisasi atas kebijakan batasan persentase Auto Rejection Bawah tahap pertama yang akan efektif pada Senin (5/6/2023)," kata Sekretaris PT BEI Yulianto Aji Sadono dalam keterangan resminya, Rabu (31/5/2023).
Pada tahap pertama ini, batas ARB yang sebelumnya 7 persen naik menjadi 15 persen. Kemudian, tahap selanjutnya batas ARB akan berlakukan secara simetris atau sama dengan batas ARA, yakni 35 persen, 25 persen, dan 20 persen per 4 September 2033.
Ini demi kebaikan untuk meningkatkan transaksi. Dalam jangka panjang, bisa meningkatkan bullish trend seiring peningkatan kapitalisasi pasar dan komitmen emiten dalam meningkatkan kinerja fundamental. Kondisi ini juga memberikan wawasan dan pembelajaran agar menerapkan investasi secara sistematis dan sekaligus peluang untuk menambah kepemilikan sahamnya.
Penyesuaian ini dilakukan untuk menyeimbangkan batas atas dan batas bawah dalam pergerakan harga saham. Lebih lanjut, penyesuaian ini diharapkan dapat membuat perdagangan saham menjadi lebih efisien dan likuiditas pasar semakin terjaga, serta dapat memberikan kesempatan yang sebanding bagi para pelaku pasar.
Kendati demikian, Adrian (27), karyawan swasta, merasa sedikit khawatir begitu mendengar adanya kabar tersebut. Sebab, pria yang mulai menjajaki pasar modal pada masa pandemi ini belum pernah merasakan ARB lebih dari 7 persen.
”Rasa khawatir itu ada. Tapi, bukan berarti lalu berhenti berinvestasi di saham karena tujuan investasi itu kan untuk jangka panjang. Tentunya lebih memilih saham yang aman, seperti saham-saham yang produknya kelihatan dan kita pakai, lalu fundamental atau dari segi laporan keuangannya bagus,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Kamis (1/6/2023).
Dengan berlakunya perubahan tersebut, Adrian turut merapikan portofolionya dari sejumlah saham yang baginya berisiko. Menurut Adrian, saham-saham tersebut adalah saham yang belum pernah mengalami ARB Simetris atau baru melantai saat pandemi Covid-19.
Cerita dari pelaku pasar angkatan pandemi Covid-19 juga datang dari Dito (28), karyawan swasta di Jakarta. Meski belum pernah mengalami ARB simetris, Dito meyakini jika kebijakan ARB simetris justru menjadi momentum untuk belajar dan meraih profit lebih tinggi dalam sehari.
”Khawatir juga kalau loss terlalu dalam sehingga perlu antisipasi dari awal dengan menghindari saham gorengan yang cenderung gambling. Minimal saham dari perusahaan yang jelas sekalian (bluechip),” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Mereka adalah potret kecil dari jutaan investor generasi pandemi yang kala itu berbondong-bondong terjun ke instrumen investasi di pasar modal. Kustodian Efek Sentral Indonesia (KSEI) mencatat, jumlah investor saham dan surat berharga lainnya meningkat selama tiga tahun terakhir sejak pandemi Covid-19. Pada tahun 2021, jumlah investor meningkat 103,6 persen dibanding tahun sebelumnya menjadi 3,4 juta. Jumlah tersebut terus bertumbuh hingga April 2023 tercatat 4,6 juta investor.
Lebih dari separuh mereka berusia di bawah 30 tahun dengan total aset mencapai Rp 54,65 triliun. Dari segi pekerjaannya, investor paling banyak adalah pegawai negeri, swasta, dan guru sebesar 32,39 persen, diikuti dengan pelajar, pekerja lainnya, pengusaha, serta ibu rumah tangga.
Senior Investment Information Mirrae Asset Sekuritas Indonesia, M Nafan Aji Gusta Utama menjelaskan, penerapan ARB simetris dapat membuat pasar semakin bergairah dan likuid. Likuiditas perdagangan juga akan semakin meningkatkan kapitalisasi pasar.
Dengan meningkatnya kapitalisasi pasar, IHSG berpeluang untuk kembali ke saat sebelum pandemi Covid-19 dan mengalami tren kenaikan (bullish trend). Selain itu, ARB simetris juga mendorong para pelaku pasar untuk lebih berhati-hati, dan bersabar dalam menunggu momen untuk membeli di titik terendah (buy on weakness).
”Ini demi kebaikan untuk meningkatkan transaksi. Dalam jangka panjang, bisa meningkatkan bullish trend seiring peningkatan kapitalisasi pasar dan komitmen emiten dalam meningkatkan kinerja fundamental. Kondisi ini juga memberikan wawasan dan pembelajaran agar menerapkan investasi secara sistematis dan sekaligus peluang untuk menambah kepemilikan sahamnya,” katanya.
Selain itu, ARB simetris juga memberikan ruang kepada para pelaku pasar untuk menerapkan strategi scalping atau mencari keuntungan dari kenaikan harga saham dalam periode tertentu. Namun, strategi tersebut mensyaratkan kedisiplinan untuk menjual saham ketika spekulasinya keliru (cut loss) sesuai dengan psikologi trading, money management, dan risk management masing-masing.
Dalam sejarah, perubahan dari ARB asimetris menjadi ARB simetris pernah terjadi pada 2017. Sebelumnya, PT BEI menetapkan batas ARB menjadi 10 persen pada 2015 lantaran IHSG terkoreksi cukup dalam.
Seiring dengan kondisi pasar yang semakin stabil, PT BEI kemudian kembali mengubah ketentuan menjadi ARB simetris per awal tahun 2017. Kemudian, IHSG mengalami tren naik hingga pada akhir tahun 2017 ditutup dengan harga 6.339 atau bertumbuh 21 persen secara tahunan.