Partisipasi Publik Diabaikan dalam Kebijakan Ekspor Pasir Laut
Sejumlah kalangan menilai kebijakan ekspor pasir laut dinilai minim melibatkan peran publik. Padahal, masyarakat pesisir dan nelayan paling terdampak kerusakan lingkungan akibat eksploitasi pasir laut.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kalangan mempertanyakan kebijakan ekspor pasir laut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut ditetapkan tanpa melibatkan masukan publik. Masyarakat nelayan dan pesisir yang paling terkena dampak eksploitasi pasir laut cenderung diabaikan.
Ketua Umum Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) Riza Damanik, mengatakan, pihaknya belum pernah mengetahui adanya pembahasan atau diminta untuk memberikan masukan perihal penyusunan PP No 26/2023 tersebut. Menurut dia, hak partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan telah diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Hak tersebut mencakup hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan dalam konteks menjamin partisipasi yang bermakna bagi masyarakat.
“Bagian (partisipasi publik) penting ini sepertinya terlewatkan dalam penyusunan PP No 26/2023. Padahal, kebijakan tersebut memiliki dimensi luas, baik secara sosial, ekonomi, lingkungan hidup, bahkan kedaulatan,” kata Riza, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (31/5/2023).
Riza mengingatkan, kondisi kesehatan ekosistem perairan pesisir tidak sedang baik-baik saja. Laporan Ocean Health Index menunjukkan, skor kesehatan laut Indonesia di bawah rata-rata skor dunia. Pemerintah seharusnya mengedepankan kehati-hatian dan melibatkan publik dalam penyusunan kebijakan, terutama yang berpotensi membawa dampak bagi nelayan, dan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Berbagai kebijakan yang berpotensi memperparah kesehatan laut harus terus dikurangi, dan bukan ditambah. Memberikan stimulus perdagangan pasir laut melalui pembukaan pasar ekspor di tengah minimnya pengawasan dan instrumen pengendalian tentu memperparah risiko kerusakan lingkungan laut,” ujar Riza.
Selama ini, lanjut Riza, Indonesia telah menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam pengawasan perikanan, termasuk implementasi kebijakan penangkapan ikan terukur. Kini, pemerintah mau menambah beban tugas lebih lagi untuk pengawasan terkait pelaksanaan PP No 26/2023. “Ada keterbatasan sumber daya manusia dan keterbatasan sarana prasarana,” lanjutnya.
Secara terpisah, Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPK) IPB University, Yonvitner, mengemukakan, pihaknya juga tidak pernah dimintai masukan dalam penyusunan PP No 26/2023. ”Naskah akademisnya (peraturan) juga tidak pernah dibagikan ke kampus,” ucapnya.
Tak singgung nelayan
Sementara itu, menurut Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Dani Setiawan, terbitnya PP No 26/2023 menambah daftar narasi kebijakan yang meresahkan masyarakat. Substansi aturan itu dinilai sama sekali tidak menyinggung nelayan dan pembudidaya perikanan yang berpotensi terkena dampak dari aktifitas pemanfaatan pasir laut.
“Nelayan dan pembudidaya seolah merupakan kosa kata yang asing dan tidak dikenal dalam peraturan yang justru sangat dekat dengan kedua aktor ini,” ujarnya.
Dani menambahkan, kebijakan membuka kembali perizinan penambangan dan ekspor pasir laut untuk tujuan komersial yang berkedok pengelolaan hasil sedimentasi laut merupakan langkah mundur pemerintah dalam pelestarian ekosistem pesisir dan laut. Di masa lalu, ekspor pasir laut merupakan bisnis menggiurkan, namun juga merugikan negara jutaan dollar AS akibat ekspor ilegal pasir laut. Penambangan pasir laut menjadi tidak terkendali dan merusak lingkungan laut dan pesisir, mengancam kehidupan nelayan, dan menguntungkan negara lain.
“Peraturan ini sesungguhnya menyembunyikan orientasi utama komersialisasi laut di balik kedok pelestarian lingkungan laut dan pesisir melalui pengelolaan hasil sedimentasi,” kata Dani.
Ketua DPP KNTI Bidang Advokasi dan Perlindungan Nelayan, Misbachul Munir, menambahkan, penambangan pasir laut secara ekologi dapat meningkatkan abrasi pesisir pantai dan erosi pantai, meningkatkan pencemaran pantai, menurunkan kualitas air laut dan wilayah pemijahan ikan, serta mengganggu lahan pertambakan. Ekonomi nelayan dan masyarakat pesisir dipastikan terganggu.
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 yang telah diubah melalui UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dalam Pasal 35 disebutkan setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.
“Penambangan pasir laut akan mengubah pola arus laut yang sudah dipahami secara turun menurun oleh masyarakat pesisir dan nelayan, hingga kerentanan terhadap bencana di perkampungan nelayan,” ujarnya.