Sebagian Masyarakat Tolak Subsidi untuk Pembelian Mobil Listrik
Upaya pemerintah dalam mengakselerasi ekosistem kendaraan listrik berbasis baterai menuai pro dan kontra. Sebagian masyarakat menganggap, kebijakan insentif hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah 80, 77 persen masyarakat tidak sepakat dengan subsidi mobil listrik karena subsidi tersebut hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu yang notabene tidak membutuhkan subsidi. Di sisi lain, program insentif kendaraan listrik justru dapat menjadi beban utang di masa mendatang.
Data tersebut berasal hasil survei yang dilakukan oleh Continuum Institute for Development of Economics and Finance (Indef) melalui analisis data perbincangan di media sosial Twitter periode 8-12 Mei 2023. Dalam analisisnya, Continuum Indef telah menyaring data dari akun portal media dan pendengung (buzzer).
Peneliti Continuum Indef, Wahyu Tri Utomo, memaparkan, sebanyak 80,77 persen masyarakat tidak setuju atas subsidi mobil listrik karena hanya kalangan menengah ke atas (orang kaya) yang dapat membeli kendaraan tersebut. Apalagi, daya beli terhadap mobil listrik pun cenderung tinggi sehingga tidak diperlukan subsidi untuk menstimulasi pembelian mobil listrik.
"Sejumlah 58,6 persen masyarakat menilai jika subsidi hanya menguntungkan segelintir pihak. Seharusnya, subsidi menyasar hidup orang banyak. Dalam kasus ini, pembeli dinilai tak butuh subsidi dan masyarakat justru curiga jika subsidi hanya menguntungkan pengusaha dan pejabat," katanya dalam diskusi daring bertajuk "Subsidi Mobil Listrik: Insentif untuk yang Berdaya Beli?", di Jakarta, Minggu (21/5/2023).
Wahyu menambahkan, sejumlah 67,17 persen masyarakat justru sepakat jika ide subsidi tersebut lebih baik dialihkan untuk kendaraan umum berbasis listrik. Ini karena jumlah pengguna transportasi publik lebih banyak dan emisi dari transportasi umum berbahan fosil lebih rendah dibandingkan dengan mobil listrik.
Di sisi lain, sejumlah 32,83 masyarakat mengkritisi ide tersebut dan berdalih jika subsidi mobil listrik lebih efisien untuk mengatasi permasalahan polusi udara. Mereka juga berpendapat, subsidi mobil listrik tidak lebih besar daripada subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Subsidi mobil listrik yang dimaksud merupakan kebijakan insentif yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 38 Tahun 2023 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Roda Empat Tertentu dan Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) Berbasis Baterai Bus Tertentu yang Ditanggung Pemerintah. Insentif tersebut berlaku pada tahun anggaran 2023 per April 2023 sampai dengan masa pajak Desember 2023.
Secara tidak langsung, bisa dikatakan bahwa ongkos yang dibayar pemerintah untuk insentif ini berasal dari utang dan generasi mendatang yang akan menanggungnya. Penerimaan pajak pasti akan turun karena PPN telah diturunkan dari 11 persen menjadi 1 persen.
Sebelumya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemberian subsidi dan insentif tidak hanya untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik melainkan juga untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia sehingga dapat menarik investor. Di sisi lain, program ini juga bertujuan untuk melepas ketergantungan Indonesia atas impor bahan bakar fosil sehingga Indonesia dapat memperkuat neraca perdagangan (Kompas.id, 25/4/2023).
Pada Pasal 4 PMK No 38/2023 disebutkan, pemerintah menanggung pajak pertambahan nilai atas penyerahan KBL berbasis baterai roda empat tertentu dan KBL berbasis baterai bus tertentu sebesar 10 persen dari total 11 persen. Insentif sebesar 10 persen itu didapat jika nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) atau besaran kandungan dalam negeri KBL berbasis baterai minimum sebesar 40 persen.
Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier dalam keterangan resminya menyampaikan, kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong minat masyarakat untuk membeli kendaraan listrik sehingga ekosistem kendaraan listrik di Indonesia dapat diwujudkan. Pada tahap awal, diperkirakan terdapat 35.862 unit mobil listrik dan 138 unit bus listrik pada tahun 2023.
Ekonom Senior Indef, Faisal Basri, menambahkan, pemberian insentif tersebut akan menurunkan penerimaan pajak. Lebih lanjut, utang pemerintah untuk pemberian insentif akan dibebankan kepada generasi selanjutnya.
"Secara tidak langsung bisa dikatakan bahwa ongkos yang dibayar pemerintah untuk insentif ini berasal dari utang dan generasi mendatang yang akan menanggungnya. Penerimaan pajak pasti akan turun karena PPN telah diturunkan dari 11 persen menjadi 1 persen," ujarnya.
Menurut Faisal, kebijakan yang dibuat pemerintah itu turut mengabaikan kepentingan orang banyak. Ini karena dari sebelumnya pemerintah yang menaikkan PPN dari 10 persen ke 11 persen sehingga masyarakat terdampak, kini justru kembali menurunkan pajak semata-mata hanya untuk mobil listrik.
"Mereka yang kaya mendapatkan insentif, subsidi, serta penurunan pajak. Sementara mereka yang miskin pajaknya dinaikkan. Padahal, keduanya sama-sama membayar PPN sebesar 11 persen," lanjutnya.