Informasi Lowongan Pekerjaan Palsu Menyebar hingga ke Aplikasi Pesan Instan
Praktik ”social engineering” atau rekayasa sosial berkembang mengatasnamakan pemberi kerja. Praktik ini belakangan makin marak.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
Belakangan marak berkembang informasi lowongan kerja palsu yang terkirim melalui aplikasi pesan instan. Pengirim menggunakan nomor telepon seluler dengan kode negara Indonesia ataupun luar negeri, mengatasnamakan perusahaan perekrutan tertentu, dan menawarkan pekerjaan berupa mencari follower atau akun tertentu di platform media sosial/video streaming.
Warganet ramai-ramai membahas fenomena itu sebagai bentuk scams (penipuan) baru di Twitter. Pemilik akun @ezash menceritakan dirinya menerima informasi lowongan pekerjaan untuk menyukai beberapa video selebritas atau pedagang. Pengirim mengaku telah bekerja sama dengan merek terkenal.
”Alurnya beneran dibayar recehan sebesar Rp 10.000 per tugas, lama-lama naik tugas dan dibayar Rp 15.000, tetapi nanti semakin besar dana yang dibayar, kamu malah disuruh top up biar katanya mendukung partner lain,” tulis @ezash.
Sementara Ega (31), karyawan di Jakarta, menceritakan dia sekeluarga juga pernah menerima pesan instan yang serupa pada akhir April 2023. Adiknya menerima melalui Telegram, sedangkan dirinya melalui Whatsapp.
”Mereka mengatasnamakan perusahaan perekrutan, seperti JobStreet. Adikku mulanya senang bisa mendapat uang dengan cara mudah, tetapi lama-lama upah harian tidak pernah dibayar lagi. Padahal, telanjur setor akun buat memudahkan transfer uang,” kata Ega saat dihubungi, Jumat (19/5/2023), di Jakarta.
Ega sampai sekarang tidak melaporkan pengalaman dia bersama keluarganya itu ke kepolisian, tetapi memilih mawas diri.
Sementara itu, Mayang (bukan nama sebenarnya) merasa bahwa mencari pekerjaan sekarang semakin tidak mudah. Mencerna penawaran lowongan pekerjaan, bahkan dari orang yang sudah dikenal dekat, juga harus berhati-hati.
Anak laki-laki Mayang yang berusia 31 tahun menjadi satu dari 20 warga negara Indonesia korban tindak pidana perdagangan orang untuk perekrutan penipu daring di luar negeri. Saat dihubungi pekan lalu, anaknya masih berada di Bangkok untuk menjalani tes psikologi sebelum dipulangkan oleh Pemerintah Indonesia ke Tanah Air.
”Kejadiannya Oktober 2022. Anak saya baru dua bulan mengundurkan diri dari kantor lama, lalu tetangga yang sudah saya anggap teman memberikan informasi lowongan pekerjaan di bidang teknologi informasi di Thailand. Saya percaya saja karena tidak mungkin tetangga menjebak tetangganya sendiri,” katanya.
Naasnya, anaknya justru diminta bekerja untuk terlibat dalam praktik investasi bodong di platform digital. Kontrak kerja berdurasi setahun. Pelaku perekrutan sempat meminta Mayang mengirim uang tebusan.
Pakar forensik digital Ruby Alamsyah saat dikonfirmasi, Minggu (21/5/2023), di Jakarta mengatakan, fenomena tersebut sebenarnya turunan dari praktik social engineeringatau rekayasa sosial. Ini merupakan teknik manipulasi yang memanfaatkan kesalahan manusia untuk mendapatkan akses pada informasi pribadi atau data berharga.
Sama seperti kasus social engineering sebelum-sebelumnya, pelaku sebenarnya mengirim pesan secara random alias tidak ada target spesifik. Sumber data bisa memakai data pribadi yang sudah bocor. Hanya saja, perbedaannya sekarang menggunakan modus penawaran lowongan pekerjaan dengan gaji tinggi dan bekerja yang mudah.
Awalnya, pelaku memang membayar upah korban supaya korban percaya. Akan tetapi, setelah itu pelaku memberikan tambahan penawaran yang diikuti syarat agar korban membayar sejumlah uang muka. Nilainya pun beragam. Setelah korban lengah, pelaku menghilang dan telah membawa uang korban.
Cara mengantisipasinya sederhana, yakni masyarakat jangan mudah tergiur tawaran fantastis. Selanjutnya, masyarakat perlu berpikir panjang dan mengecek detail informasi lowongan pekerjaan.
”Maraknya informasi lowongan pekerjaan palsu melalui aplikasi pesan instan/panggilan telepon yang belakangan terjadi berbeda dengan kasus viral perekrutan penipu daring ke luar negeri. Kasus ke luar negeri itu memang menggunakan platform teknologi digital untuk penyebaran informasi lowongan ataupun cara bekerja, tetapi ada unsur memperdagangkan manusia,” kata Ruby.
Sementara itu, Chief Operation Officer JobStreet Indonesia Varun Mehta menjelaskan, fenomena lowongan kerja palsu terdiri atas dua jenis. Jenis pertama, penipu menyalahgunakan nama besar perusahaan, seperti JobStreet, dengan tujuan menjebak orang yang sedang mencari pekerjaan. JobStreet Indonesia tidak menganggap remeh hal ini. Perusahaan telah menyediakan mekanisme pelaporan kepada polisi supaya menghentikan penipuan yang mengatasnamakan JobStreet Indonesia.
Jenis kedua berupa iklan lowongan pekerjaan yang diunggah oleh perusahaan palsu atau jahat. JobStreet Indonesia telah menyaring semua pemberi kerja sebelum informasi lowongan pekerjaan ditayangkan. Jika perusahaan semacam ini terdeteksi, bahkan setelah langkah proaktif dilakukan, JobStreet segera menghapus iklan itu, membekukan akun, dan bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk menangkap pelaku.
”Kami tidak pernah menghubungi kandidat secara langsung, meminta data pribadi ataupun sejumlah uang,” ujarnya.
Untuk menghindari, Vahrun menyarankan agar pencari kerja melakukan riset calon perusahaan secara mandiri. Lalu, mereka harus memeriksa ketidakkonsistenan informasi, ejaan, dan tata bahasa. Lowongan pekerjaan palsu biasanya menawarkan gaji yang terlalu fantastis atau mengharuskan calon pencari kerja membayar biaya melamar. Saran terakhir, berhati-hati dengan informasi pribadi.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar berpendapat, kebutuhan bekerja besar, tetapi lowongan pekerjaan yang dibuka sedikit. Situasi ini akhirnya memicu penipuan lowongan pekerjaan yang memungkinkan menjurus ke tindak pidana perdagangan orang.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah seharusnya bisa berperan mengatur integrasi sistem pasar kerja. Pemerintah juga perlu mengajak perusahaan-perusahaan agar mau mengintegrasikan informasi lowongan pekerjaan mereka. Apabila ada perusahaan yang tidak mau, pemerintah harus aktif memberikan peringatan agar masyarakat mengecek kebenaran informasi sebelum memutuskan melamar.