Penempatan Pekerja Migran Ilegal Berkembang dan Beradaptasi
Permasalahan penempatan pekerja migran ilegal yang sarat dengan perdagangan orang terjadi setiap tahun. Praktik penempatan seperti ini berkembang selayaknya bisnis.
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penempatan pekerja migran ilegal telah berkembang pesat menyerupai bisnis dan beradaptasi dengan pasar kerja. Tindakan pencegahannya membutuhkan strategi komprehensif mulai dari sebelum pemberangkatan atau penempatan.
”Perkembangan tindak pidana perdagangan orang (TPPO), seperti penempatan pekerja migran ilegal, tidak terjadi di ruang hampa. Penyebabnya adalah kesenjangan ekonomi yang mendorong orang susah mengakses pekerjaan. Orang lantas tergiur pekerjaan yang semata menawarkan gaji menggiurkan di luar negeri,” ujar Direktur Eksekutif ASEAN Studies Center Universitas Gadjah Mada Dafri Agussalim dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9: Deklarasi ASEAN Melindungi Pekerja Migran, Senin (15/5/2023), di Jakarta.
Dafri menyebut kasus TPPO warga negara Indonesia (WNI) untuk kebutuhan judi dan penipuan daring (online scammer). Kasus ini dinilai menarik karena korban berlatar belakang lulusan pendidikan menengah atas dan tinggi.
”Apakah lapangan pekerjaan untuk profil lulusan pendidikan seperti itu tidak banyak tersedia di dalam negeri? Apakah mereka tidak memiliki akses terhadap lapangan pekerjaan yang sesuai latar belakang edukasi mereka?” kata Dafri.
Menurut dia, TPPO merupakan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa dan semakin tidak memandang status ekonomi seseorang. TPPO terjadi di seluruh dunia, termasuk di kawasan ASEAN. Perkembangannya menyerupai bisnis, pelaku industrinya tidak stagnan, dan beradaptasi dengan pasar, misalnya pasar teknologi digital.
Aktornya berasal dari lintas negara. Negara kerap ikut berperan melalui intermediary actor, seperti perbankan dan pengacara. Beberapa aktor mempunyai perusahaan penempatan yang disahkan oleh notaris, tetapi kadang tidak terdeteksi keberadaannya.
Lebih jauh, lanjut Dafri, regulasi dalam negeri ataupun antarnegara untuk mencegah penempatan pekerja migran ilegal yang sarat TPPO sebenarnya sudah ada. Di tingkat ASEAN, misalnya, telah ada Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan Pekerja Migran tahun 2007, Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Perdagangan Orang tahun 2015, dan Konsensus ASEAN tentang Perindungan Pekerja Migran pada tahun 2017.
Kemudian, KTT Ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pekan lalu, menghasilkan tiga deklarasi terkait perlindungan pekerja migran. Salah satunya Deklarasi Para Pemimpin ASEAN tentang Pemberantasan Perdagangan Orang yang Disebabkan oleh Penyalahgunaan Teknologi.
”Ketiga deklarasi yang terakhir tersebut belum mengikat secara hukum karena baru komitmen. Lalu, tindak lanjut nyata konvensi ataupun konsensus sebelumnya perlu diperkuat karena kasus TPPO relatif malah berkembang pesat. Menekan TPPO butuh waktu panjang, kepemimpinan yang kuat, dan strategi komprehensif karena di dalam negeri juga ada isu kesenjangan ekonomi,” ucap Dafri.
Selalu berulang
Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani, yang hadir saat bersamaan, mengatakan, berdasarkan studi Bank Dunia tahun 2017, jumlah pekerja migran Indonesia di luar negeri mencapai 9 juta orang. Padahal, sesuai data resmi BP2MI, jumlahnya 4,6 juta orang. Dengan demikian, sisanya merupakan WNI yang bekerja secara nonprosedural di luar negeri.
Permasalahan WNI yang ditempatkan secara ilegal berulang setiap tahun. Setiap tahun pula, Pemerintah Indonesia harus memulangkan sejumlah pekerja migran ilegal, baik yang masih hidup, dalam keadaan sakit, maupun yang telah meninggal.
Benny menyampaikan, korban kasus TPPO untuk pekerja judi dan penipuan daring mencapai 2.000 orang. Di luar itu, kasus TPPO yang tidak terkait penyalahgunaan teknologi tetap terjadi, seperti penempatan pada pengguna perorangan atau pekerja rumah tangga.
Beberapa negara yang tengah berkonflik tetap menjadi tujuan penempatan ilegal, seperti Sudan. Di tingkat ASEAN, dia mencatat Filipina, Laos, Kamboja, dan Timor Timur sebenarnya bukan termasuk negara penempatan, tetapi masih kerap jadi negara tujuan pemberangkatan ilegal.
”Timur Tengah dan Malaysia juga menjadi negara tujuan pekerja migran Indonesia, tetapi masih terdapat masalah. Misalnya, masalah penempatan memakai visa turis dan ziarah. Kami berharap upaya mencegah dan menegakkan hukum penempatan ilegal dilakukan lintas kementerian dan lembaga,” kata Benny.
Direktur Kerja Sama Politik dan Keamanan ASEAN Kementerian Luar Negeri Rolliansyah Soemirat menambahkan, pendekatan yang tepat untuk mencegah ataupun menangani TPPO di lingkup ASEAN adalah menyadari bahwa semua negara bisa menjadi tempat terjadinya TPPO. Semua negara perlu menyepakati tidak ada negara korban dan negara asal pelaku.
”Kerja sama lintas kementerian/lembaga perlu diperkuat. Mekanisme perlindungan warga bukan diletakkan kepada negara asal,” ujar Rolliansyah.