Pemerintah Pantau Persiapan Pelabuhan untuk Kebijakan Perikanan Terukur
Kesiapan pelabuhan perikanan untuk penerapan skema PNBP pascaproduksi menuai sorotan terkait kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Pemerintah sedang mengidentifikasi kesesuaian dan kesiapan sarana dan prasarana pelabuhan perikanan untuk penerapan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pungutan hasil perikanan pascaproduksi sebagai bagian dari kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Peralihan skema pungutan hasil perikanan tangkap dari praproduksi menjadi pascaproduksi dinilai masih butuh banyak persiapan.
Dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penetapan Pelabuhan Pangkalan yang Telah Memenuhi Syarat Penarikan Pasca Produksi atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Pemanfaatan Sumber Daya Alam Perikanan, ditetapkan 77 lokasi pelabuhan pangkalan untuk penerapan skema PNBP pascaproduksi sektor perikanan tangkap.
PNBP pungutan hasil perikanan pascaproduksi dikenakan untuk setiap volume ikan yang ditangkap pada setiap trip penangkapan ikan. PNBP pascaproduksi mewajibkan pelaku usaha yang menangkap ikan untuk menyampaikan laporan penghitungan mandiri terhadap setiap produksi ikan tangkapan secara riil. Sebelumnya, dalam sistem PNBP praproduksi, pelaku usaha membayar PNBP di awal untuk setahun ke depan.
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan mengemukakan, implementasi PNBP pascaproduksi di sejumlah pelabuhan perikanan masih tidak mudah. Di beberapa daerah, masalah pendangkalan muara sungai tempat labuh kapal dan minimnya infrastruktur pelabuhan menghambat pendaratan kapal-kapal, terutama kapal berukuran besar.
”Sumber daya manusia masih terbatas, juga infrastruktur pelabuhan,” katanya, saat dihubungi, Kamis (11/5/2023).
Di Pelabuhan Perikanan Popoh, Jawa Timur, misalnya, kapal-kapal berukuran besar masih sulit merapat ke pangkalan pelabuhan akibat minimnya dermaga pelabuhan. Padahal, pelabuhan itu sudah ditetapkan sebagai pelabuhan untuk penerapan PNBP pascaproduksi.
Secara terpisah, Sekretaris Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Jakarta Muhammad Bilahmar menyoroti, dalam masa transisi ke PNBP pascaproduksi, penerapan PNBP praproduksi juga masih berlangsung. Celakanya, kapal perikanan yang saat berangkat melaut menerapkan PNBP praproduksi, saat kembali ke pelabuhan dikenai PNBP pascaproduksi. Hal ini membingungkan pelaku usaha perikanan tangkap.
Direktur Kepelabuhanan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Tri Aris Wibowo mengemukakan, standar pelabuhan perikanan untuk penangkapan ikan terukur saat ini sedang disempurnakan kesiapannya sebagai pelabuhan pangkalan kapal-kapal yang akan mendaratkan ikan tangkapan dari daerah penangkapan zona-zona penangkapan terukur, di antaranya meliputi kesiapan sarana prasarana dan sumber daya manusia.
”Saat ini kami sedang mengidentifikasi kesesuaian dan kesiapan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia pengelola pelabuhan perikanan untuk penerapan penangkapan ikan terukur berbasis kuota,” ujarnya, saat dihubungi, Selasa.
Sarana prasarana di pelabuhan perikanan membutuhkan kesiapan dermaga dan kedalaman kolam labuh yang memadai untuk aktivitas kapal perikanan berukuran besar di atas 30 gros ton, akses logistik untuk perbekalan operasional seperti bahan bakar minyak, air bersih, bahan makanan, serta prasarana untuk pencatatan data ikan yang didaratkan. Adapun kesiapan sumber daya manusia di pelabuhan perikanan, antara lain, penanggung jawab di pelabuhan perikanan, petugas syahbandar perikanan, petugas pendataan produksi ikan tangkapan, dan pengawas perikanan.
Tri menilai, kebijakan penangkapan ikan terukur membawa tata kelola baru dalam perikanan tangkap menuju arah pengelolaan yang lebih baik dan modern di Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan kolaborasi dan sinergi seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah untuk keberhasilan kebijakan tersebut.
”Penyamaan persepsi terkait kebijakan penangkapan ikan terukur perlu secara menyeluruh dipahami, tidak hanya bagi perangkat pemerintahan pusat, tetapi juga perangkat perikanan pemerintah daerah, khususnya para pengelola pelabuhan perikanan daerah dan pemangku kepentingan perikanan nasional,” ujarnya.