Dengan peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja, angka pengangguran dan kemiskinan akan menurun. Pada akhirnya, hal itu akan turut menggenjot konsumsi masyarakat.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi tak bisa bergantung semata-mata pada konsumsi rumah tangga. Peningkatan laju investasi yang berkualitas dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih resilien sekaligus mengentaskan kemiskinan. Meskipun demikian, berbagai faktor ketidakpastian global dan nasional tahun ini dapat menahan laju investasi.
Kinerja perekonomian sepanjang triwulan I tahun 2023 menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bertumpu pada konsumsi rumah tangga. Realisasi pertumbuhan sebesar 5,03 persen itu sebanyak 53,88 persen disumbangkan oleh konsumsi rumah tangga yang tumbuh 4,54 persen secara tahunan meski laju pertumbuhannya masih di bawah level normal 5 persen.
Sementara itu, di posisi kedua, investasi melalui komponen pembentukan model tetap bruto (PMTB) berkontribusi 29,11 persen terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan investasi melambat sebesar 2,11 persen secara tahunan, menjadi yang terendah sejak tahun 2013 atau sebelum pandemi Covid-19.
Sebagai perbandingan secara tahunan, pada triwulan I-2022, pertumbuhan PMTB masih tercatat 4,08 persen dan pada triwulan IV-2022 sebesar 3,33 persen. Pelambatan investasi dalam bentuk bangunan dan non-bangunan itu terjadi karena ketidakpastian ekonomi global yang membuat harga komoditas dan nilai tukar bergejolak sejak tahun lalu.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, dengan jumlah penduduk yang besar, konsumsi memang akan selalu menjadi andalan perekonomian Indonesia. Namun, harapannya, Indonesia tidak terus-menerus hanya bergantung pada konsumsi masyarakat.
”Untuk jangka pendek, konsumsi memang banyak membantu. Ini juga sesuatu yang sudah pasti karena kita populasi terbesar di Asia Tenggara. Namun, untuk jangka menengah-panjang, kita tidak bisa terus terlena dengan konsumsi. Kita harus mulai memacu investasi. Ini sangat penting kaitannya dengan penciptaan lapangan pekerjaan,” kata Josua, Rabu (10/5/2023).
Dengan investasi yang meningkat dan penciptaan lapangan kerja bertambah, angka pengangguran dan kemiskinan akan menurun sehingga pada akhirnya ikut menggenjot konsumsi masyarakat. Dengan demikian, konsumsi juga tidak perlu bergantung pada faktor musiman, seperti dorongan daya beli saat hari raya melalui THR, karena masyarakat telah memiliki tingkat pendapatan yang kuat dan konsisten.
Harapannya, perekonomian Indonesia tidak terus-menerus hanya bergantung pada konsumsi masyarakat.
Ia menilai, laju investasi yang melambat itu pertama-tama disebabkan oleh kondisi global dan menurunnya harga komoditas setelah tahun lalu mengalami lonjakan tinggi. Harga komoditas sumber daya alam yang mulai melandai itu membuat investor, khususnya dari sektor pertambangan, untuk mengurangi investasinya.
Di sisi lain, efek dari reformasi struktural yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi juga masih butuh waktu. Perencanaan investasi juga harus diarahkan pada sektor manufaktur yang bernilai tambah dan padat karya, untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja berkualitas.
Faktor ketidakpastian politik di dalam negeri akibat dimulainya tahun politik menjelang Pemilihan Umum 2024, juga akan membuat investor memilih berhati-hati dan wait and see sebelum menanamkan modal.
”Kita perlu lompatan yang lebih signifikan lagi. Kita memang sudah punya Undang-Undang Cipta Kerja, tetapi hal-hal mendasar lain, seperti kepastian hukum, koordinasi pusat dan daerah, agar tidak tumpang tindih, itu masih jadi bottleneck yang menghalangi investasi masuk,” katanya.
Kemiskinan
Ekonom senior Bank Dunia, Utz Johann Pape, mengatakan, investasi swasta yang berproduktivitas tinggi perlu digenjot untuk mengentaskan kemiskinan dan menjaga masyarakat dari tergelincir kembali ke bawah garis kemiskinan. ”Punya pekerjaan saja tidak cukup untuk keluar dari kemiskinan. Sekitar 90 persen orang miskin itu bekerja, tetapi mereka tetap miskin karena mereka bekerja di sektor yang produktivitasnya rendah,” kata Utz.
Investasi yang lebih kompetitif dan bernilai tambah perlu lebih didorong di sektor-sektor padat karya yang bisa menyerap angkatan kerja, seperti manufaktur dan agrikultur. ”Diperlukan peluang kerja yang lebih baik di daerah perdesaan. Peningkatan produktivitas pertanian dapat memperbaiki kehidupan petani dan memungkinkan mereka untuk keluar dari kemiskinan,” ujarnya.
Punya pekerjaan saja tidak cukup untuk keluar dari kemiskinan.
Langkah reformasi yang dilakukan pemerintah melalui UU Cipta Kerja dinilai telah berkontribusi pada peningkatan laju investasi. Namun, ia menyadari, ada ”tukar guling” atau trade off yang muncul antara upaya menarik lebih banyak investasi tetapi mengorbankan sejumlah standar ketenagakerjaan.
Padahal, menurut Utz, investasi dan standar ketenagakerjaan seharusnya bisa berjalan beriringan. Jika keduanya saling menegasikan, investasi tidak akan berdampak signifikan pada upaya mengurangi kemiskinan dan sebaliknya. Lapangan kerja yang tercipta hanya sebatas ada, tetapi tidak layak.
Pemerintah harus mampu menyeimbangkan antara mendeteksi dan mengurangi kendala investasi tanpa terlalu banyak menggerus standar ketenagakerjaan. ”Kebijakan investasi tidak perlu menjadi trade off dengan ketenagakerjaan. Tujuan menarik investasi dan menyejahterakan pekerja bisa dicapai di saat bersamaan kalau pemerintah lebih konsisten dan bijak mengelola kebijakan,” kata Utz.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, untuk mendorong perbaikan iklim berinvestasi dan menciptakan lebih banyak kesempatan kerja, pemerintah telah mengeluarkan UU Cipta Kerja dan mendorong pembangunan infrastruktur yang lebih masif.
Namun, ia membenarkan, kinerja investasi masih menghadapi sejumlah kendala. Ia berharap investasi bisa terus dipacu meski hal itu tidak akan mudah di tengah lingkungan global yang hari-hari ini lebih kompleks.
”Krisis ekonomi saat ini tidak hanya datang dari masalah ekonomi, tetapi datang dari masalah politik, geopolitik, dan keamanan. Makanya, prediksi ekonomi kita semakin sulit dan kompleks karena kita tidak bisa memprediksi politik,” kata Sri Mulyani.