Memulihkan ekonomi kembali ke level normal tidak bisa hanya bergantung pada faktor musiman seperti lonjakan konsumsi saat hari raya dan pemilu. Perlu solusi produktif untuk memaksimalkan efek pengganda dari investasi.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Aktivitas bongkar muat peti kemas dari dan ke dalam kapal barang di Terminal Peti Kemas New Priok Container Terminal (NPCT) 1, Jakarta Utara, Kamis (4/5/2023). Bank Indonesia (BI) memproyeksi ekonomi Indonesia bakal tumbuh 5 persen pada kuartal I-2023.
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I tahun 2023 mencapai 5,03 persen secara tahunan, melampaui ekspektasi. Namun, jalan menuju pemulihan ke level sebelum pandemi masih panjang. Kendati ekonomi tumbuh positif, beberapa indikator kunci belum kembali ke kondisi normal.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, ekonomi RI tumbuh 5,03 persen secara tahunan, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV-2022 sebesar 5,01 persen. Dengan capaian itu, ekonomi RI konsisten tumbuh di atas 5 persen selama enam triwulan berturut-turut sejak triwulan IV-2021.
Realisasi pertumbuhan ekonomi itu juga melampaui prediksi ekonom yang memperkirakan pertumbuhan pada triwulan pertama tahun ini jatuh di kisaran 4,8-4,9 persen.
BPS mencatat, kontribusi terbesar pertumbuhan ekonomi bersumber dari konsumsi rumah tangga, yakni sebesar 2,44 persen, disusul pertumbuhan perdagangan luar negeri 2,10 persen, Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) sebagai indikator investasi sebesar 0,68 persen dan konsumsi pemerintah sebesar 0,22 persen.
”Konsumsi rumah tangga dan perdagangan luar negeri kita masih kuat menopang pertumbuhan ekonomi selama triwulan pertama tahun ini,” kata Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh Edy Mahmud dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (5/5/2023).
TANGKAPAN LAYAR BPS
Ekonomi Indonesia mampu tumbuh 5,01 persen secara tahunan pada triwulan I tahun 2023.
Secara rinci, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,54 persen. Realisasi itu lebih tinggi dari pertumbuhan konsumsi pada triwulan I-2022 sebesar 4,34 persen dan di atas capaian triwulan IV-2022 sebesar 4,48 persen meski masih di bawah 5 persen.
Pertumbuhan tertinggi ada di sektor transportasi dan komunikasi didorong oleh meningkatnya penjualan sepeda motor dan mobilitas penumpang di angkutan darat, laut dan udara. Peningkatan konsumsi juga terlihat di sektor restoran dan hotel, tecermin dari tingkat penghunian kamar hotel yang tumbuh positif. ”Momen Ramadhan ikut mendorong pertumbuhan konsumsi, khususnya di sektor makanan dan minuman,” katanya.
Lepas dari tren melandainya harga komoditas global, laju pertumbuhan ekspor juga masih mampu menopang pertumbuhan ekonomi di awal tahun. Ekspor tumbuh 11,68 persen pada triwulan I-2023, lebih tinggi dari pertumbuhan pada triwulan IV-2022 sebesar 9,26 persen, meski turun dari triwulan I-2022 yang sebesar 14,22 persen.
Konsumsi rumah tangga dan perdagangan luar negeri masih kuat menopang pertumbuhan ekonomi selama triwulan pertama tahun ini.
Edy mengatakan, peningkatan ekspor terutama disebabkan oleh permintaan global yang masih tinggi terhadap komoditas nonmigas, seperti bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan nabati, besi baja, serta nikel.
Perdagangan jasa, yang didorong oleh peningkatan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) dan arus devisa yang masuk dari luar negeri, juga ikut memperkuat pertumbuhan ekonomi di awal tahun. ”Karena banyak wisman yang masuk ke Indonesia, devisa yang masuk pun cukup besar dan perdagangan jasa tumbuh signifikan,” ujarnya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Wisatawan mancanegara mengelilingi Kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, Selasa (11/4/2023). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada Februari 2023 mencapai 701,931 kunjungan. Kebangkitan sektor pariwisata semakin terasa seiring dengan terkendalinya pandemi Covid-19 dan pencabutan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level I di seluruh tanah air. Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sebesar 567,27 persen dibandingkan bulan yang sama pada tahun lalu (year-on-year), didominasi oleh wisman dari Malaysia (18,10 persen) dan Australia (12,08 persen) sebagai penyumbang terbesar jumlah kunjungan wisman Februari 2023.
Belum normal
Kendati tumbuh positif, ekonomi belum pulih betul. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, hal itu tampak dari beberapa indikator kunci yang belum kembali ke level normal. Misalnya, konsumsi rumah tangga yang masih di bawah level 5 persen.
Konsumsi yang bertumpu pada transportasi menunjukkan bahwa kendati mobilitas meningkat, masyarakat tidak terlalu banyak berbelanja, khususnya yang berasal dari kelompok menengah-bawah. ”Orang jalan-jalan, mudik, tetapi tidak banyak belanja karena uangnya habis di ongkos. Ini sejalan dengan inflasi di sektor transportasi yang selama dua bulan terakhir tercatat paling tinggi,” katanya.
Ia menilai, daya beli masyarakat masih rendah karena tergerus inflasi yang cukup tinggi tahun lalu. Biaya hidup yang meningkat membuat orang mengerem pengeluaran. Indikasi itu juga terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) per Februari 2023 yang menunjukkan IKK masyarakat di hampir seluruh kelompok pengeluaran menurun, khususnya yang pengeluarannya di bawah Rp 3 juta.
Indikator lainnya adalah tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Februari 2023 sebesar 5,45 persen atau 7,99 juta orang. Tingkat pengangguran itu masih lebih banyak dibandingkan level prapandemi, yaitu 4,94 persen atau 6,93 juta orang pada Februari 2020.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pembangunan gedung bertingkat di kawasan Pademangan, Jakarta Utara, Senin (20/3/2023). Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini diperkirakan lebih tinggi dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Keyakinan ini didasarkan konsumsi dalam negeri yang kuat dan lonjakan investasi.
Beberapa sektor lapangan usaha utama juga masih tumbuh di bawah 0,5 persen. Misalnya, sektor pertanian yang hanya tumbuh 0,34 persen, konstruksi yang tumbuh 0,32 persen, dan real estat yang tumbuh 0,37 persen. ”Jadi, bisa dikatakan kita tumbuh positif, tetapi belum pulih betul. Kemungkinan pemulihan ke level normal baru bisa tercapai di akhir tahun ini atau awal tahun depan,” kata Tauhid.
Pemulihan ekonomi kembali ke level prapandemi tidak bisa hanya bergantung pada faktor musiman seperti dorongan konsumsi dan mobilitas saat hari raya atau pemilihan umum. Diperlukan solusi yang lebih produktif dengan memaksimalkan efek pengganda (multiplier) dari investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru dengan upah yang layak.
”Itu yang bisa mendorong laju konsumsi rumah tangga yang lebih solid ketimbang bergantung pada momentum seasonal. Semoga dampak investasi bisa terlihat di akhir tahun ini atau awal tahun depan,” ujarnya.
Kemungkinan, pemulihan ke level normal baru bisa tercapai di akhir tahun ini atau awal tahun depan.
Pekerjaan rumah
Dalam konferensi pers yang digelar tak lama sesudah rilis data pertumbuhan ekonomi oleh BPS, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membenarkan, masih ada pekerjaan rumah yang tersisa untuk memastikan ekonomi kembali pulih total.
”Tentu kita berharap ekonomi berbasis konsumsi masyarakat ini bisa pulih betul. Tetapi, kita tahu tiga tahun terakhir Covid-19 membawa luka (scarring effect) yang dalam. Memang secara agregat kita bisa tumbuh baik, lebih baik dari banyak negara lain, tetapi masih banyak sektor yang pemulihannya perlu kita pacu lebih cepat,” katanya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pengunjung berada di depan gerai Matahari di Mal CBD Ciledug, Kota Tangerang, Banten, Jumat (14/4/2023). Survei Penjualan Eceran Maret 2023 yang dirilis Bank Indonesia, mencatat Indeks Penjualan Riil (IPR) Maret 2023 sebesar 215,2 atau tumbuh 4,8 persen secara tahunan. Meski konsumsi masyarakat mulai meningkat pada awal Ramadhan pertumbuhan IPR tersebut masih lebih rendah dibandingkan masa sebelum pandemi sebesar 249,8 pada Mei 2019.
Airlangga tetap optimistis target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen tahun ini bisa tercapai. Pemerintah sedang berupaya mengendalikan inflasi di sektor transportasi, seperti menekan harga tiket pesawat yang mahal akibat biaya avtur yang tinggi. Selain itu, dalam waktu dekat, pemerintah juga akan menerapkan kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
”Kita lihat Amerika Serikat sekarang masih menaikkan suku bunga. Kalau kita tidak mengambil langkah, potensi capital flight (arus modal keluar) akan tinggi dan itu tentu akan berdampak terhadap stabilitas rupiah,” kata Airlangga.