Pengentasan kemiskinan tidak cukup hanya untuk membantu warga keluar dari kemiskinan, tetapi menjaga mereka untuk tetap berada di atas garis kemiskinan.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemiskinan ekstrem yang targetnya akan dientaskan pada tahun 2024 bukan persoalan terbesar yang dihadapi Indonesia. Mayoritas masyarakat saat ini belum aman dari ancaman kemiskinan dan bisa sewaktu-waktu kembali jatuh miskin. Pemerintah pun berencana mengevaluasi metode pengukuran garis kemiskinan untuk melindungi lebih banyak warga rentan.
Dalam laporan bertajuk ”Indonesia Poverty Assesment” yang dirilis Selasa (9/5/2023), Bank Dunia menyoroti rekam jejak pengentasan kemiskinan ekstrem di Indonesia yang dinilai cukup mengesankan. Meski demikian, banyak pekerjaan rumah menanti. Produktivitas yang rendah masih menghalangi mayoritas rumah tangga di Indonesia untuk benar-benar aman secara ekonomi.
Berbagai krisis dan guncangan, termasuk pandemi, disrupsi rantai pasok akibat tensi geopolitik, dan ancaman perubahan iklim terus mengancam upaya pengentasan kemiskinan.
Ekonom senior Bank Dunia, Rabia Ali, mengatakan, pengentasan kemiskinan tidak cukup hanya untuk membantu warga keluar dari kemiskinan, tetapi menjaga mereka untuk tetap berada di atas garis kemiskinan. ”Supaya ketika ada krisis atau guncangan terjadi, ketika mereka tiba-tiba jatuh sakit, atau kehilangan pekerjaan, mereka tidak kembali jatuh miskin,” katanya di Jakarta.
Menurut dia, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikejar oleh Pemerintah Indonesia. Pada tahun 2019, sebanyak 40 persen penduduk Indonesia masih tergolong rentan untuk bisa jatuh miskin sewaktu-waktu.
”Memang mereka bukan lagi warga miskin, melainkan rentan. Sedikit guncangan saja bisa membuat mereka miskin lagi. Inilah mengapa gagasan mengenai ketahanan ekonomi menjadi isu yang sama pentingnya, jika tidak lebih penting, supaya tidak berhenti di isu pengentasan kemiskinan saja,” ujar Rabia.
Setelah pandemi Covid-19 yang memukul ekonomi, tingkat kerentanan itu diperkirakan semakin tinggi. Ekonom senior Vivi Alatas mengatakan, nyaris 75 persen warga saat ini tergolong rentan dan punya risiko besar untuk turun kelas menjadi miskin. Persentase kelas menengah, meski terus naik dalam beberapa tahun terakhir, baru mencakup 20 persen dari total penduduk Indonesia.
”Kita butuh lebih banyak lagi kelas menengah. Sebab, kemiskinan di Indonesia sangat cair, orang miskin itu hanya berganti-gantian saja. Pandemi menyadarkan kita bahwa yang paling terpukul krisis itu bukan hanya orang miskin, melainkan juga yang tidak miskin tetapi sebenarnya rentan,” kata Vivi.
Dalam laporannya, Bank Dunia merekomendasikan agar instrumen perlindungan sosial ke depannya bisa melindungi lebih banyak orang. Bukan hanya masyarakat miskin, tetapi juga rentan. Salah satu usulannya adalah memperluas definisi kemiskinan agar lebih banyak orang tersentuh bantuan sosial.
Selama pandemi, pemerintah memang telah memperluas cakupan jangkauan penerima bantuan sosial melampaui 40 persen masyarakat terbawah menjadi 60 persen masyarakat terbawah. Hal ini perlu dibakukan dalam sistem basis data pemerintah. ”Untuk mendukung perluasan penetapan target bantuan sosial yang lebih cepat dan fleksibel jika terjadi guncangan lagi,” kata Rabia.
Momentum evaluasi terhadap metode penghitungan garis kemiskinan dinilai tepat seiring dengan laju angka kemiskinan ekstrem yang per Maret 2023 tersisa 2,04 persen atau 5,59 juta orang. Sebagai perbandingan, pada tahun 2004, angka kemiskinan ekstrem masih 19,34 persen atau 46,83 juta jiwa. Pemerintah menargetkan kemiskinan ekstrem bisa sepenuhnya dientaskan pada tahun 2024.
”Dengan kemiskinan ekstrem yang sekarang hampir tiada, fokus strategi kemiskinan harus lebih luas agar mencakup rumah tangga miskin dan rentan, bukan hanya yang sangat miskin,” tutur Rabia.
Usulan untuk mengubah metode pengukuran kemiskinan sudah beberapa kali disampaikan baik oleh Bank Dunia, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), BPS, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Dalam laporan ”Reforms for Recovery: East Asia and Pacific Economic”, Oktober 2022, Bank Dunia menghitung simulasi jika garis kemiskinan di Indonesia dinaikkan berdasarkan standar paritas daya beli (purchasing power parities/PPP) atau keseimbangan kemampuan berbelanja terbaru.
Berdasarkan standar itu, garis kemiskinan ekstrem naik dari 1,9 dollar AS per hari atau sekitar Rp 28.969 menjadi 2,15 dollar AS per hari atau Rp 32.781. Dampaknya, sekitar 13 juta warga kelas menengah-bawah di Indonesia turun kelas menjadi masyarakat miskin.
Dalam laporan ”Indonesia Poverty Assesment”, standar paritas daya beli dinaikkan lagi menjadi 3,2 dollar AS per hari atau Rp 47.168 sesuai standar negara berpenghasilan menengah. Dengan standar yang lebih tinggi itu, jumlah orang miskin ekstrem di Indonesia naik dari 1,5 persen pada tahun 2022 (jika menggunakan garis kemiskinan 1,9 dollar AS) menjadi 16 persen.
Adapun selama ini, BPS menerapkan penghitungan garis kemiskinan yang berbeda dari Bank Dunia. Garis kemiskinan BPS adalah representasi dari jumlah rupiah minimum untuk memenuhi kebutuhan pokok makanan setara 2.100 kilokalori dan kebutuhan non-makanan per kapita per bulan. Garis kemiskinan disesuaikan secara berkala sesuai dengan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK).
Kepala Kelompok Kerja Kebijakan TNP2K Elan Satriawan mengatakan, Indonesia memang membutuhkan metode perhitungan garis kemiskinan baru yang bisa mengidentifikasi kemiskinan lebih konsisten. Dengan standar yang lebih relevan, peningkatan kesejahteraan kelompok rentan juga akan berkontribusi pada penurunan ketimpangan.
Ia mengatakan, diskusi ke arah perbaikan metode perhitungan garis kemiskinan itu sudah mulai berlangsung. ”BPS yang menangani di bawah Bappenas dan kami di TNP2K membantu pemerintah untuk mengkaji upaya perbaikan garis kemiskinan itu. Apalagi, garis kemiskinan kita juga hitungannya memang sudah cukup lama meskipun setiap tahun ada penyesuaian,” kata Elan.
Fokus pada kelompok rentan, ujarnya, tidak akan sampai menggeser prioritas pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan ekstrem. Ia mencontohkan, saat pandemi, bansos yang diberikan pemerintah tidak hanya menyentuh kelompok miskin dan miskin ekstrem, tetapi juga yang rentan.
”Jadi bukan berarti kalau kita bertransisi untuk fokus ke kelompok rentan ini, berarti melupakan yang miskin ekstrem. Dua target ini berjalan bersama,” ujarnya.