Tahun lalu, kenaikan harga minyak dunia membuat APBN terdesak. Di sisi lain, diakui pemerintah penyaluran subsidi BBM tidak tepat sasaran. Kini, harga sudah lebih rendah dan relatif stabil. Akankah pengaturan diterapkan?
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Warga mengisi pertalite saat diberlakukannya harga BBM yang baru di salah satu SPBU di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (3/9/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak masih belum jelas. Padahal revisi aturan tersebut diperlukan agar subsidi bahan bakar minyak bisa lebih tepat sasaran.
Saat harga minyak mentah melambung hingga lebih dari 100 dollar AS per barel tahun lalu, negara ”kerepotan” karena subsidi energi yang bersumber dari APBN membengkak. Salah satu langkah yang diambil saat itu adalah menaikkan harga pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. Di sisi lain, diungkapkan juga bahwa penyaluran subsidi BBM selama ini belum tepat sasaran.
Sementara saat ini, harga minyak mentah, jenis Brent, misalnya, relatif stabil berkisar 75-85 dollar AS per barel sejak awal 2023. APBN bisa jadi tidak terdesak seperti tahun lalu. Namun, revisi Perpres No 191/2014 dinilai tetap diperlukan. Sebab, jika tidak, sampai kapan pun subsidi energi di Indonesia berpotensi tidak tepat sasaran.
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Akmaluddin Rachim saat dihubungi di Jakarta, Minggu (7/5/2023) mengatakan, perubahan diperlukan agar lebih rinci siapa yang berhak menerima BBM subsidi atau kompensasi. Oleh karena itu, landasan hukum, berupa revisi perpres, diperlukan.
Akmaluddin pun berharap pemerintah tidak menunggu momentum, baik menunggu harga minyak mentah naik kembali maupun terkait aspek tahun politik. ”Jangan sampai menunggu momentum demi kebijakan populis. Diperlukan kebijakan yang substansial bagi masyarakat,” ujarnya.
Di sisi lain, imbuh Akmaluddin, kajian regulasi juga harus benar-benar matang. Setelah itu, kementerian/lembaga atau pihak yang memprakarsai revisi perpres itu harus benar-benar aktif menanyakan perkembangan kemajuannya. Jika tak terlaksana, problem hanya akan berulang saat harga energi berfluktuasi.
Pengamat ekonomi, yang juga dosen Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Rossanto Dwi Handoyo, menuturkan, terkait kebijakan energi, pemerintah perlu benar-benar men-capture pihak-pihak yang bisa terdampak dari kebijakan, terutama masyarakat miskin, seperti petani dan nelayan.
Penguatan basis data perlu terus diperkuat. ”Yang penting masyarakat bawah yang dilindungi pemerintah. Kalau kalangan menengah ke atas seharusnya sudah bisa survive sendiri. Data harus selalu di-update karena itu menyangkut hajat hidup orang banyak,” katanya.
Sebelumnya, di Jakarta, Jumat (5/5/2023) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, revisi Perpres No 191/2014 menurut rencana memang memuat seperti kriteria dan kapasitas mesin (cc) kendaraan yang berhak menggunakan BBM bersubsidi. Apa yang tertuang dalam revisi perpres itu diupayakan memberi prinsip keadilan bagi masyarakat.
”Revisi Perpres No 191 (Tahun 2014) ini betul-betul ada kriteria. Mulai dari cc kendaraan hingga jenisnya. Misalkan, antara mobil murah dan mobil gede, kalau sama (pemberlakuannya), tidak adil kan? Itu masuk di perpres,” kata Arifin. Namun, ia sendiri tak menyebut kendala belum diterbitkannya revisi perpres itu hingga kini.
Revisi Perpres No 191/2014 sejatinya digaungkan sejak tahun lalu, menyusul dianggap perlunya ketentuan rinci mengenai penerima subsidi energi. Harapannya, dengan lebih tepat sasaran, anggaran bisa dialihkan ke sektor lain yang juga tak kalah penting.
Tahun lalu, proses pengajuan revisi perpres itu melalui permohonan izin prakarsa oleh Kementerian BUMN. Namun, kemudian tidak dilanjutkan. Kementerian ESDM lalu mengulang dari awal dan mengajukan permohonan kepada Sekretariat Negara, pada Januari 2023. Kini sejumlah pihak menanti terbitnya perpres itu.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Stasiun pengisian bahan bakar minyak untuk umum (SPBU) di Pasar Oeba Kota Kupang, Senin (12/9/2022).
Masih menunggu
Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Erika Retnowati, dalam Penutupan Posko Ramadhan dan Idul Fitri 2023, yang disiarkan daring pada Selasa (2/5/2023), menuturkan, pihaknya belum mengeluarkan peraturan mengenai pembelian volume pertalite yang merupakan jenis BBM khusus penugasan (JBKP).
”Kami masih menunggu penerbitan revisi perpres. Utamanya adalah untuk konsumen pengguna. Setelah itu, baru akan kita atur,” kata Erika.
Sebelumnya, anggota Komite BPH Migas Abdul Halim, dalam Diskusi Publik: Urgensi Reformasi Subsidi Energi yang digelar Institute For Development of Economics and Finance (Indef) secara daring, Selasa (14/2/2023), menuturkan, ada sejumlah skenario yang diusulkan dalam revisi Perpres No 191/2014.
Untuk sepeda motor, semua boleh membeli pertalite kecuali motor dengan mesin di atas 150 cc. Sementara untuk mobil terdapat dua opsi. ”Pertama, seluruh mobil pelat hitam akan dilarang (diisi pertalite). Kedua, (hanya) mobil dengan maksimum 1.400 cc (yang boleh mengisi pertalite),” kata Halim.
Menurut Halim, tak dimungkiri, penerbitan atau penerepan revisi perpres itu bergantung pada sejumlah aspek, termasuk momentumnya. ”Kebetulan tahun ini ada tahun politik, yang paling susah untuk membuat keputusan. Kita semua paham bisa digodok ke mana-mana,” katanya.