Defisit fiskal berpotensi melebar apabila konsumsi BBM bersubsidi tahun ini melampaui kuota. Revisi regulasi tentang BBM bersubsidi harus segera dituntaskan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, AGNES THEODORA,
·3 menit baca
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Pelanggan mengisi bahan bakar minyak (BBM) di SPBU Pertamina, di Tebet Barat, Jakarta, Selasa (3/1/2023). Pada Selasa pukul 14.00, harga sejumlah BBM nonsubsidi, termasuk pertamax akan turun.
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak yang mengatur penyaluran BBM bersubsidi belum jelas penyelesaiannya. Apabila revisi tak bisa tuntas tahun ini, kuota BBM bersubsidi tahun anggaran 2023 bisa kembali jebol.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/2/2023), mengatakan, percepatan penerbitan revisi Perpres No 191/2014 mendesak. Terdapat sejumlah pertimbangan terkait perlunya perbaikan perpres tersebut.
Menurut Tutuka, pengaturan jenis BBM tertentu (JBT/ biosolar dan minyak tanah) dan jenis BBM khusus penugasan (JBKP/pertalite) diperlukan agar tepat sasaran. Pasalnya, saat ini belum ada pengaturan yang jelas untuk konsumen pengguna pertalite, sedangkan pengaturan pengguna biosolar dan minyak tanah yang berlaku masih terlalu umum sehingga menimbulkan multitafsir.
”Jika tidak dilakukan revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014, kuota solar bersubsidi dan pertalite tahun ini berpotensi akan terlampaui. Perlu pengaturan melalui revisi perpres itu agar dapat dilakukan pengendalian konsumsi sehingga subsidi menjadi lebih tepat sasaran,” ujar Tutuka.
Tahun lalu, kuota solar bersubsidi yang ditetapkan sebanyak 15,1 juta kiloliter, realisasinya mencapai 17,83 juta kiloliter. Adapun kuota pertalite yang ditetapkan 23,05 juta kiloliter, realisasinya mencapai 29,91 juta kiloliter. Untuk tahun ini, kuota solar bersubsidi dan pertalite ditetapkan masing-masing 17 juta kiloliter dan 32,56 juta kiloliter.
Dalam usulan rincian konsumen pengguna minyak tanah yang diajukan Kementerian ESDM, ujar Tutuka, tidak ada perubahan. Sementara untuk pengguna solar bersubsidi ada penambahan sehingga menjadi industri kecil, usaha perikanan, usaha pertanian, transportasi darat, transportasi laut, transportasi perkeretaapian, dan pelayanan umum. Adapun sektor yang berhak menggunakan pertalite meliputi industri kecil, usaha perikanan, usaha pertanian, transportasi, dan pelayanan umum. Usulan tersebut diharapkan diakomodasi dalam revisi perpres.
Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno mengaku prihatin terkait tak kunjung tuntasnya revisi perpres yang mengatur penggunaan BBM bersubsidi tersebut. Padahal, pembahasan mengenai revisi bersama perwakilan pemerintah sudah dilakukan sejak April 2022.
”Menjadi tanda tanya besar kenapa masih belum selesai. Semakin lama tak direvisi, tentu semakin ada pemborosan BBM bersubsidi, yang ujungnya pemborosan anggaran. Kami sangat menaruh perhatian terhadap ini. Sebaiknya revisi bisa dipercepat,” kata Eddy.
Dalam acara terpisah, Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan, tantangan kebijakan subsidi energi pada tahun ini bisa lebih berat di tengah fluktuasi harga minyak dunia, ketegangan geopolitik yang terus berlanjut, serta langkah konsolidasi fiskal untuk menekan defisit APBN di bawah 3 persen.
Oleh karena itu, pemerintah diharapkan bisa melanjutkan reformasi subsidi energi dengan mengubah mekanisme pemberian subsidi dari sebelumnya terbuka menjadi tertutup dan lebih tepat sasaran. Ia menilai, revisi Perpres No 191/2014 yang saat ini sedang dilakukan bisa menjadi instrumen awal untuk mendorong transisi menuju reformasi tersebut.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Para pekerja melakukan bongkar muat elpiji 3 kilogram di agen elpiji bersubsidi di kawasan Gedong, Jakarta Timur, Selasa (14/2/2023). Agar penyaluran elpiji bersubsidi tepat sasaran, pemerintah membuka opsi untuk memadukan data warga miskin penerima subsidi listrik PLN sekaligus sebagai penerima subsidi elpiji 3 kilogram.
”Kita beruntung dalam tiga tahun terakhir ini fiskal kita memang masih punya fleksibilitas yang cukup untuk meredam berbagai guncangan harga energi. Tetapi, bagaimana kalau ke depan harga minyak melonjak, sementara APBN kita tidak sanggup? Risikonya bisa semakin besar,” kata Abra dalam diskusi daring yang diadakan Indef, Selasa.
Indef mengkaji sejumlah simulasi untuk mengidentifikasi risiko beban anggaran subsidi dan kompensasi energi tahun ini. Berbagai simulasi itu menunjukkan, meskipun asumsi harga minyak Indonesia (ICP) dan kurs nilai tukar rupiah pada tahun ini sama seperti asumsi yang tertera dalam APBN 2023, defisit fiskal akan tetap jebol di atas 3 persen jika terjadi pelebaran kuota BBM bersubsidi.
Sebagai contoh, jika kuota solar bersubsidi jebol sebesar 12,8 persen dan 27,8 persen untuk pertalite seperti yang terjadi tahun lalu, defisit APBN berpotensi melebar hingga 3,09 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) meskipun asumsi harga minyak dan kurs nilai tukar masih sesuai prediksi.
”Ini menjadi alarm kita bersama bahwa meskipun ICP dan kursnya tetap sesuai dengan prediksi dalam APBN pun, jika terjadi lonjakan kuota, belum tentu APBN kita sanggup meredam,” kata Abra.
Sebaliknya, apabila ICP dan kurs rupiah tahun ini ternyata melampaui asumsi dalam APBN 2023, pemerintah dapat meredam defisit fiskal dengan cara membatasi kuota BBM bersubsidi. Misalnya, jika harga ICP menyentuh 100 dollar AS per barel dan kurs nilai tukar rupiah mencapai Rp 15.000 per dollar AS, tetapi pemerintah bisa menekan kuota hingga 10 persen, defisit APBN bisa ditekan ke 2,98 persen terhadap PDB.
Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan APBN di Badan Kebijakan Fiskal Wahyu Utomo mengatakan, kebijakan subsidi BBM memang belum sepenuhnya tepat sasaran. Kendati demikian, menurut dia, reformasi kebijakan subsidi harus tetap memperhitungkan tren pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat.