Pembangunan Destinasi Superprioritas Fokus pada Infrastruktur Dasar
Pemerintah berkomitmen melanjutkan pembangunan lima destinasi superprioritas atau DSP yang berupa infrastruktur dasar. Lima DSP diharapkan bisa turut mendorong pertumbuhan industri pariwisata nasional.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Delapan belas bulan menjelang berakhirnya Kabinet Indonesia Maju, pembangunan lima destinasi superprioritas tetap berlanjut dikerjakan. Fokusnya adalah menyelesaikan proyek infrastruktur layanan dasar.
“Masih ada anggaran sekitar Rp 4 — Rp 5 triliun. Instruksinya memang menyelesaikan proyek-proyek infrastruktur dasar, seperti jalan. Menyiapkan destinasi pariwisata baru membutuhkan (waktu) lama agar bisa menyamai Bali yang sudah populer,” ujar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Baparekraf) Sandiaga S Uno, di sela-sela konferensi pers mingguan, Selasa (2/5/2023) petang, di Jakarta.
Lima destinasi super prioritas (DSP) tersebut yakni Candi Borobudur (Jawa Tengah), Likupang (Sulawesi Utara), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), Danau Toba (Sumatera Utara), dan Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur). Sebelum muncul lima DSP, pemerintah menetapkan sepuluh destinasi prioritas yang terdiri dari Mandalika, Pulau Morotai (Maluku Utara), Tanjung Kelayang (Kepulauan Bangka Belitung), Danau Toba, Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Candi Borobudur, Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Tanjung Lesung (Banten), Bromo-Tengger-Semeru (Jawa Timur), dan Labuan Bajo.
Pariwisata menjadi salah satu sektor yang dipakai memperkuat ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, pembangunan destinasi prioritas menjadi salah satu proyek strategis nasional. Sesuai lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020– 2024, indikasi pendanaan untuk sepuluh destinasi prioritas mencapai sekitar Rp 166 triliun.
Dalam Perpres itu juga disebutkan, pariwisata menjadi salah satu sektor yang dipakai memperkuat ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan.
“Untuk promosi lima DSP, kami mendorong adanya penyelenggaraan MICE (pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan ekshibisi). Labuan Bajo, misalnya, akhirnya dipakai sebagai tempat penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN. Karena ‘keterbatasan lahan’, kami memfokuskan Labuan Bajo untuk premium MICE, smallersize, dan aktivitas pariwisata yang lebih personal,” kata Sandiaga.
Direktur Eksekutif Indonesian Ecotourism Network (Indecon) Ary S Suhandi, saat dihubungi Rabu (3/5/2023), di Jakarta, berpendapat, pengembangan destinasi pariwisata dengan pendekatan prioritas secara umum sudah tepat. Pendekatan ini juga mempertimbangkan ketersediaan anggaran negara, investasi, serta pinjaman luar negeri.
Penetapan destinasi prioritas ataupun super prioritas menjadi tanda bahwa sektor pariwisata memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Kebijakan itu juga membuat Indonesia pertama kalinya menjadikan sektor pariwisata sebagai kendaraan untuk menarik investasi.
Hanya saja, lanjut Ary, pembangunan yang telah dan sedang dikerjakan pemerintah di lima DSP cenderung fokus pada akses dan amenitas. Pembangunan atraksi relatif belum cukup kuat.
“Apabila pemerintah menginginkan sektor pariwisata bergerak dari pariwisata massal (mengandalkan jumlah kunjungan yang besar) menuju pariwisata berkualitas (quality tourism), pengembangan atraksi perlu dioptimalkan. Kualitas sumber daya manusia yang bekerja di industri pun harus ditingkatkan,” kata dia.
Penetapan destinasi prioritas ataupun super prioritas menjadi tanda bahwa sektor pariwisata memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi.
Ary menambahkan pentingnya memperhatikan penduduk lokal. Sebab, pembangunan destinasi wisata baru biasanya mendorong kenaikan harga barang. Akibatnya, penduduk setempat berpotensi mengalami penurunan daya beli. Oleh karena itu, proses pembangunan destinasi prioritas ataupun DSP yang masih berjalan sebaiknya juga mulai mempertimbangkan kondisi penduduk lokal.
“Pemerintah bisa mengikutsertakan mereka ke kepesertaan jaminan sosial. Itu contoh. Kemudian, hal yang paling penting adalah evaluasi kecocokan sasaran yang ingin dicapai dengan perkembangan pembangunan DSP,” imbuh Ary.
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azahari menambahkan, paradigma pariwisata dunia telah bergeser dari pariwisata massal ke pariwisata berkualitas dan pariwisata yang menyesuaikan (customized tourism). Paradigma yang terakhir ini muncul akibat krisis pandemi Covid-19.
“Perilaku wisatawan bergeser menjadi lebih menyukai hal-hal yang lebih personal dan lokal. Dengan dasar pemikiran itu, maka pembangunan destinasi harus dievaluasi dan reorientasi,” kata dia.