WNI Direkrut Bekerja sebagai ”Penipu Daring” di Luar Negeri
Fenomena penempatan pekerja migran Indonesia untuk dipekerjakan sebagai pelaku kejahatan siber, seperti ”online scammer”, tengah merebak. Mereka yang direkrut umumnya berpendidikan menengah ke atas.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena perekrutan tenaga kerja ke luar negeri untuk dipekerjakan sebagai pelaku penipuan daring tengah merebak. Model penawaran perekrutannya muncul di media sosial dan aplikasi pesan instan. Pemerintah diharapkan segera mengupayakan pencegahan dan penegakan hukum yang nyata agar fenomena ini tidak semakin berkembang pesat.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menggambarkan, sepanjang 2022, misalnya, Migrant Care menerima pengaduan 271 warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja di berbagai negara. Di antaranya, Malaysia, Kamboja, Filipina, Myanmar, Laos, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, dan Libya. Dari jumlah itu, 189 WNI di antaranya mengadu telah menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) atau perekrutan ilegal, lalu ditempatkan bekerja sebagai penipu daring (online scammer) dan tukang judi daring.
Dilihat dari daerah asal, WNI tersebut berasal dari Sumatera Utara (108 orang), Jawa Barat (24), Jawa Tengah (18), Jawa Timur (14), Kalimantan Barat (11), Kepulauan Riau (7), Lampung (4), Banten (4), DKI Jakarta (7), Sumatera Barat (4), Sumatera Selatan (2), Bali (2), Aceh (1), dan Kepulauan Bangka Belitung (1). Dari sisi negara tujuan, mereka mayoritas ditempatkan di Kamboja. Beberapa di antaranya ditempatkan di Myanmar, Laos, dan Filipina.
“Sebagian besar perekrutan melalui platform digital, seperti Facebook, Telegram, dan Whatsapp. Pelaku biasanya menawarkan promo gaji besar, fasilitas tempat tinggal, makan, pusat olahraga, komisi, dan gratis biaya keberangkatan. Setelah itu, korban umumnya diberangkatkan menggunakan penerbangan carter,” ujar Wahyu, Jumat (28/4/2023), di Jakarta.
Menurut dia, latar belakang pendidikan di antara korban ialah lulusan sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. Dia menduga, penawaran gaji yang besar dan kecocokan pekerjaan teknologi informasi menjadi alasan korban bisa terjebak. Dugaan lainnya ialah korban baru saja kehilangan pekerjaan di Indonesia.
Fenomena TPPO seperti itu berkembang secara global. Korbannya pun berasal dari berbagai negara, tidak hanya Indonesia. Misalnya, Amerika bagian selatan, sedikit wilayah Afrika bagian selatan, dan Asia. Ada negara transit yang biasa dipakai pelaku, seperti Thailand. Lalu, ada negara yang biasa jadi tujuan penempatan, seperti Myanmar dan Kamboja.
Operasi penipuan kepada korban canggih karena menggunakan nama dan gambar perusahaan atau tenaga perekrut yang seolah-olah sah. Di seluruh negara asal korban, metode perekrutan relatif ada kesamaan.
Dari pengaduan yang diterima Migrant Care, korban ternyata tidak ada waktu beribadah, makan tidak layak/tidak mendapatkan makan, tidak digaji, tidak ada libur, dokumen ditahan, sampai mengalami kekerasan fisik.
”Arus fenomena ini semakin deras. Ketika Kamboja sudah terdeteksi, pelaku masuk ke bagian Myanmar yang secara hukum sulit. Pemerintah Indonesia seharusnya tidak hanya melakukan tindakan kuratif, tetapi preventif dengan menggandeng platform digital dan kepolisian,” ujar Wahyu.
Dia menambahkan, Pemerintah Indonesia juga perlu mengupayakan regulasi penegakan hukum TPPO yang menjangkau ranah digital dengan bekerja sama pemerintah negara lain.
Penyekapan
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar Ma’arif menceritakan, fenomena TPPO untuk pekerjaan kejahatan siber sudah terjadi sebelum pandemi Covid-19. Pada tahun 2019, SBMI turut menangani 72 kasus di Kamboja dan menggagalkan 7 WNI yang akan diberangkatkan.
Sepanjang 2021–2022, SBMI menerima pengaduan kasus WNI yang diduga korban TPPO untuk online scammer sebanyak 52 orang. Semuanya berasal dari Sumatera Utara. Negara tujuan mereka ialah Malaysia, Kamboja, dan Federasi Mikronesia.
Kemudian, pada tahun 2023 yang masih berjalan, SBMI menerima 61 WNI menjadi korban dugaan kasus TPPO online scammer. Mereka tidak hanya berasal dari Sumatera Utara, tetapi juga provinsi lain, seperti Sulawesi Utara dan DKI Jakarta. Negara penempatan mereka ialah Kamboja, Filipina, dan Myanmar.
Khusus pada bulan Maret 2023, SBMI menerima aduan dari 20 WNI yang diduga kuat korban TPPO yang dikirim ke Myanmar. Mereka ditipu dengan diberangkatkan secara nonprosedural ke Myanmar melalui jalur air dari Bangkok, Thailand, secara bertahap. Para korban mengaku sesampainya di Bangkok dikawal dua orang untuk sampai ke perbatasan Thailand dan Myanmar, lalu dikawal kembali oleh dua orang bersenjata dan berseragam militer.
Penyekapan para korban oleh perusahaan yang dijaga ketat oleh orang-orang bersenjata dan berseragam militer di area perusahaan. Akses komunikasi dibatasi.
Sebelum berangkat dari Indonesia, mereka diiming-imingi dari pihak perekrut untuk dipekerjakan sebagai operator komputer di salah satu perusahaan bursa saham di Thailand. Realitasnya, mereka dipaksa bekerja dari pukul 20.00 hingga pukul 13.00 untuk mencari kontak-kontak sasaran untuk ditipu melalui laman atau aplikasi kripto sesuai dengan target perusahaan. Apabila tidak terlaksana, para korban mendapatkan hukuman kekerasan fisik.
Penyekapan para korban oleh perusahaan yang dijaga ketat oleh orang-orang bersenjata dan berseragam militer di area perusahaan. Akses komunikasi dibatasi.
”Ada kesamaan dengan TPPO pada umumnya, yakni pelaku menawarkan gaji besar. Hal yang mengerikan adalah dampak lanjutannya. Jika mereka terbiasa menipu, akhirnya mereka bisa bekerja sendiri-sendiri ataupun grup untuk melakukan penipuan,” kata Bobby.
Komisioner Pemajuan HAM Komnas HAM, Anis Hidayah, mengatakan, hingga sekarang belum ada satu pun proses penegakan hukum bagi auktor intelektualis. Penegakan hukum baru menyentuh aktor di lapangan. Padahal, jumlah korban berpotensi bertambah setiap hari.
”Kondisi di Myanmar, khususnya, merupakan negara konflik. Ini sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Dengan demikian, pemerintah wajib segera mengevakuasi dan memulangkan PMI atau WNI yang menjadi korban TPPO di negara konflik,” ujarnya.
Anis menambahkan, sesuai dengan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan PMI, pemerintah juga memiliki kewajiban sama, yakni untuk segera melakukan evakuasi. Komnas HAM mendesak Kementerian Luar Negeri berkoordinasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) segera membuat langkah-langkah evakuasi kepada WNI yang terjebak TPPO online scammer di daerah Myanmar yang berbatasan dengan Thailand.
Kepala BP2MI Benny Rhamdani, yang ditemui seusai rapat pimpinan mengenai usulan pembebasan bea masuk barang PMI, mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri terkait penyekapan sekitar 20 WNI yang menjadi korban TPPO dan dipekerjakan secara ilegal di bidang kejahatan siber. Koordinasi bertujuan menindaklanjuti perlindungan bagi korban.
”Dalam konteks kasus ini, kami berperan sebagai supporting system bagi Kementerian Luar Negeri (yang akan mengamankan korban). Kami pastikan bahwa Myanmar bukan negara tujuan penempatan sehingga jika ada WNI yang direkrut dan bekerja di sana, mereka pasti ilegal,” katanya.
Benny mengatakan, berbagai upaya pencegahan penempatan PMI ilegal memerlukan komitmen bersama lintas kementerian/lembaga, tidak hanya BP2MI. Jika ada komitmen bersama, pencegahan bisa optimal mulai dari titik pintu keluar-masuk hingga pengawasan pemberian visa.