Manfaat Layanan ”Online Groceries” Belum Optimal bagi Pedagang Pasar
Keberadaan perusahaan rintisan bidang teknologi ”online groceries” dipercaya mampu membantu pedagang, termasuk di pasar tradisional, meningkatkan pendapatan. Namun, industri rintisan sedang mengalami tekanan investasi.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan layanan digital untuk pemesanan kebutuhan sehari-hari atau online groceriesberpotensi membantu pedagang kecil menengah, termasuk di pasar tradisional, mendongkrak pendapatan. Namun, potensi itu dinilai belum bisa dirasakan semua pedagang.
Anggota tim riset Titipku (perusahaan rintisan bidang teknologi yang menyediakan online groceries), Angre Edvra, mengatakan, sejumlah pedagang pasar tradisional yang bergabung di platform Titipku mengaku mengalami kenaikan pendapatan rata-rata 30 persen per bulan. Mereka merasa keberadaan layanan online groceries membantu mereka tetap terhubung dengan pelanggan loyal.
Ada juga sejumlah pedagang pasar tradisional yang pernah disurvei oleh Titipku mengatakan belum merasakan dampak optimal keberadaan online groceries. Digitalisasi yang dilakukan para perusahaan rintisan penyedia online groceries menjembatani promosi pedagang pasar tradisional.
”Tidak semua pedagang pasar melek digital karena ada di antaranya yang baru mulai memanfaatkan teknologi digital. Kami juga tidak membantah ada masa penjualan ramai dan sepi,” ujar Angre Edvra saat menghadiri diskusi hasil riset Titipku yang berjudul ”Digitizing Traditional Market in Indonesia” di Jakarta, Selasa (18/4/2023).
CEO Titipku Henri Suhardja mengatakan, digitalisasi pedagang pasar tradisional bisa menyasar ke berbagai aspek, mulai dari pemasaran, pembayaran, hingga akses ke permodalan. Digitalisasi seperti itu membutuhkan waktu dan tidak mudah dilakukan.
Dari sisi perusahaan rintisan penyedia layanan online groceries, Henri mengakui sejak tahun 2022, industri usaha rintisan bidang teknologi digital sedang berada dalam kondisi tech winter. Tech winter adalah kondisi kenaikan biaya modal yang memaksa investor memperketat seleksi investasi mereka untuk memaksimalkan pengembalian investasi dan menurunkan risiko.
Kondisi itu juga berdampak pada perusahaan rintisan yang bergerak di layanan online groceries. Para pemain menyadari tidak bisa terus-terusan mengeluarkan promo besar. Mereka memikirkan cara agar tetap bisa tumbuh positif. Salah satu langkah yang diambil adalah memperluas ke segmen bisnis ke bisnis (B2B).
Dalam konteks Titipku, pihak manajemen berupaya menghubungkan pedagang pasar tradisional ke pembeli yang berlatar belakang pemilik restoran dan hotel. Titipku yang mulanya ingin ekspansi mendigitalkan pedagang secara optimal ke sekitar 16.000 total pasar tradisional di Indonesia kini fokus di 150 pasar tradisional di Jabodetabek dengan 8.000 pedagang.
Selama 1-2 tahun terakhir, perusahaan rintisan yang bergerak di online groceries mengalami tekanan. Beberapa perusahaan itu antara lain Brambang (yang saat ini beralih menjadi lokapasar untuk elektronik), Traveloka Mart (tutup layanan), Bananas (menghentikan operasional), Segari (melakukan pemutusan hubungan kerja/PHK), dan SayurBox (melakukan PHK dan kini fokus ke segmen B2B). Sementara HappyFresh memutuskan berhenti sementara dalam rangka restrukturisasi bisnis karena gagal bayar kewajiban, tetapi kini kembali beroperasi di Indonesia.
Sesuai laporan riset e-Economy SEA 2022 yang dirilis Google, Bain and Economy, dan Temasek, sebagian besar pengguna layanan grocery start up berada di perkotaan Asia Tenggara dan merupakan generasi muda yang fasih menggunakan teknologi digital. Sementara di pinggiran kota, jumlah penggunanya diperkirakan kurang dari 5 persen.
Hanya 19 persen dari konsumen digital di Indonesia yang diperkirakan menggunakan layanan online groceries secara intensif dalam 12 bulan mendatang.
Dalam laporan yang sama, hanya 19 persen dari konsumen digital di Indonesia yang diperkirakan menggunakan layanan online groceries secara intensif dalam 12 bulan mendatang.
Peneliti Center of Innovation and Digital Economy di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, saat dihubungi terpisah, berpendapat, ada pergeseran kembali pola konsumsi dari daring ke luring. Warga telah kembali pergi berbelanja secara luring di supermarket ataupun pasar tradisional.
Fenomena itu menyebabkan pangsa pasar grocery start up semakin menyempit. Pelanggan akan semakin berkurang. Akibatnya, total penjualan melalui aplikasi akan semakin berkurang.
”Ditambah lagi, aliran pendanaan kepada start up sedang menantang akibat situasi ketidakpastian ekonomi global. Masih banyak start up tergantung pada pendanaan,” kata Nailul.
Menurut dia, dengan kondisi yang dihadapi perusahaan rintisan penyedia online groceries, sejumlah pedagang pasar tradisional yang kini jadi mitra akan ikut terdampak. Misalnya, promo-promo akan berkurang sehingga berpotensi menurunkan tingkat penjualan.
”Saya menduga, saat ini tempat penjualan luring akan jadi tempat yang ’aman’ bagi mereka (pedagang pasar tradisional),” ujarnya.