Dahulukan Evaluasi Retribusi di Kawasan Konservasi
Sejumlah negara destinasi populer, seperti Thailand, bersiap mengenakan pajak pariwisata bagi turis asing. Sementara itu, Pemerintah Indonesia tengah mengkaji tambahan biaya untuk kepentingan konservasi.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia akan dikenai tambahan biaya masuk atau fee untuk kepentingan konservasi. Pemerintah masih mengkaji mekanisme atas wacana ini. Sebelum mengimplementasikan tambahan biaya ini, pemerintah diharapkan lebih dulu mengevaluasi penerapan retribusi di obyek wisata di kawasan konservasi. Selain itu, meningkatkan edukasi pariwisata berkelanjutan.
Dosen Departemen Geografi Pembangunan Fakultas Geografi Pembangunan Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Baiquni, saat dihubungi Selasa (18/4/2023), di Jakarta, berpendapat, edukasi mengenai pentingnya pariwisata berkelanjutan merupakan hal yang lebih urgen dibandingkan pemerintah langsung memberlakukan pungutan dengan mengatasnamakan kepentingan konservasi.
”Saya rasa, penjelasan pariwisata berkelanjutan untuk kelangsungan alam, masyarakat lokal, dan masa depan generasi muda lebih menarik. Jika diberikan kesadaran seperti itu terus-menerus, wisatawan lambat laun mau percaya dan akan berperan menjaga lingkungan,” ujarnya.
Selama ini, lanjut Baiquni, sejumlah taman nasional/kawasan konservasi di Indonesia sebenarnya telah memberlakukan biaya yang diperuntukkan untuk kepentingan konservasi. Jika memunculkan wacana pengenaan pajak bagi wisatawan, pemerintah seharusnya memperjelas perihal biayayang sudah dikenakan itu.
”Jangan terlalu banyak lembaga yang memungut. Jangan pula terlalu banyak pungutan yang dikenakan kepada wisatawan. Hal yang penting adalah membangun kepercayaan dan kesadaran pariwisata berkelanjutan kepada mereka,” katanya.
Hal senada disampaikan Ketua East Java Tourism Forum Agus Wiyono. Mekanisme retribusi yang telah berlaku di sejumlah kawasan konservasi perlu pembenahan serius sebelum ada ide tambahan pengenaan pajak atau biaya. Pasalnya, dia mengamati selama ini terjadi banyak penyalahgunaan hasil retribusi. Wisatawan ataupun masyarakat setempat tidak pernah diberikan penjelasan laporan penggunaan dana. Jika praktik ini tetap dibiarkan, berapa pun jumlah pengunjung yang membayar biaya dan pajak tidak akan pernah cukup untuk biaya konservasi.
Setelah pembenahan dilakukan, Agus memandang pemerintah bisa memberlakukan retribusi/pajak bagi wisatawan, tetapi itu pun harus dikenakan ketika mereka masuk ke destinasi wisata di kawasan konservasi.
”Agak aneh jika turis tidak berkunjung ke obyek wisata di kawasan konservasi tetapi dikenai pajak,” katanya.
Agus menambahkan, berdasarkan pengamatannya, sudah ada sejumlah wisatawan mancanegara (wisman) memiliki kesadaran tinggi terhadap pariwisata berkelanjutan. Misalnya, wisman asal Eropa. Sebaliknya, dia mengkhawatirkan sikap kebanyakan wisatawan domestik yang cenderung mempunyai apresiasi rendah terhadap alam. Oleh karena itu, apabila pemerintah berniat melanjutkan wacana pengenaan pajak atau retribusi untuk kepentingan konservasi, implementasinya harus adil.
”Memang sedang dikaji, bukan pajak pariwisata bagi wisman. Lebih kepada fee. Selama ini, kegiatan industri pariwisata telah berdampak kepada lingkungan,” ujar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Baparekraf) Sandiaga S Uno di sela-sela konferensi pers mingguan, Senin (17/4/2023) petang, di Jakarta.
Dia menekankan, adanya biaya tambahan tersebut akan dipakai untuk menunjang pelaksanaan konservasi di destinasi pariwisata. Misalnya, konservasi hutan mangrove. Mengenai berapa besarannya, Sandiaga memastikan pemerintah tidak akan membebani wisatawan. Pemerintah tetap akan berkaca pada pengalaman negara lain.
Deputi Bidang Kebijakan Strategis Kemenparekraf/Baparekraf Nia Niscaya menambahkan, selama pembahasan wacana pengenaan fee bagi wisman, berbagai rapat lintas kementerian/lembaga juga mempertimbangkan regulasi perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
Kebijakan pengenaan pajak bagi wisman telah dikembangkan negara lain yang juga mengandalkan industri pariwisata sebagai salah satu sektor yang menyokong pertumbuhan ekonomi. Mengutip The Washington Post, Pemerintah Thailand akan mengenakan pajak pariwisata kepada pengunjung internasional mulai 1 Juni 2023.
Kebijakan pengenaan pajak bagi wisman telah dikembangkan negara lain yang juga mengandalkan industri pariwisata sebagai salah satu sektor yang menyokong pertumbuhan ekonomi.
Wisatawan yang tiba melalui transportasi udara akan dikenai pajak 300 baht atau sekitar 9 dollar AS yang ditambahkan ke tiket pesawat, sedangkan mereka yang menggunakan transportasi darat atau air akan dikenai 150 baht atau sekitar 4 dollar AS. Pajak sepanjang tahun ini di antaranya hanya berlaku bagi mereka yang bermalam di Thailand.
Sejak Thailand membuka diri kembali pascapandemi Covid-19, negara ini menghadapi tantangan pengunjung berlebih. Tidak heran jika kebijakan pajak pariwisata tersebut berada dalam tekanan isu pariwisata berkelanjutan. Namun, Phiphat Ratchakitprakarn selaku Menteri Pariwisata dan Olahraga Thailand, seperti dikutip Nikkei Asia, mengatakan bahwa biaya tersebut akan dipakai sebagai asuransi yang membiayai kebutuhan darurat turis.
Thailand akan bergabung dengan tujuan wisata populer lainnya yang menerapkan biaya masuk pengunjung. Eropa berencana meluncurkan Sistem Informasi dan Otorisasi Perjalanan Eropa (ETIAS) pada November, yang akan memerlukan biaya 7 euro untuk pengunjung berusia 18 hingga 70 tahun. Venesia telah menunda biaya masuk turis baru tetapi diharapkan akan diluncurkan tahun ini.