Upaya memajukan desa wisata sejalan dengan pergeseran tren pariwisata massal ke pariwisata yang lebih mengedepankan kunjungan berkualitas dan paradigma wisata lebih terkustom, personal, serta lokal.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
Tren perkembangan kawasan pariwisata sedang bergeser dari pariwisata massal ke pariwisata yang mengedepankan kunjungan berkualitas. Pembangunan desa wisata pun perlu mengikuti tren itu sehingga bisa menekan dampak buruk lingkungan, sosial, dan budaya di desa. Masyarakat desa tetap bisa memperoleh manfaat ekonomi secara berkelanjutan.
”Jangan sampai hotel-hotel besar berkompetisi langsung dengan rumah singgah (homestay) yang dikelola warga di desa wisata. Kami menyarankan agar ke depan, pemerintah daerah, di daerah tertentu, bisa melakukan moratorium hotel kelas atas,” ujar Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) Vinsensius Jemadu saat dihubungi Selasa (6/9/2022), di Jakarta.
Homestay yang ada di desa wisata - desa wisata perlu memperhatikan kualitas pelayanannya kepada wisatawan. Beberapa standar kualitas mutu, seperti kebersihan, harus dijaga. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebagai mitra kerja Kemenparekraf membangun sarana hunian wisata berupa ribuan homestay di lima destinasi super prioritas. Kemenparekraf bersama mitra pelaku industri pariwisata juga turut memberikan pendampingan sumber daya manusia untuk pengelolaan sarana tersebut.
Kemenparekraf bersama mitra pelaku industri pariwisata juga turut memberikan pendampingan sumber daya manusia untuk pengelolaan sarana tersebut.
Menurut Vinsensius, sejumlah pelaku industri yang bukan hanya berlatar sektor pariwisata mulai ambil bagian memfasilitasi berbagai upaya pengembangan desa wisata yang mengedepankan kunjungan berkualitas. Sebagai contoh, BCA turut memfasilitasi 10 desa wisata, Grab Indonesia ikut ambil peran di 2 desa wisata, Astra International turut ambil bagian mengembangkan 25 desa wisata, dan Adira Finance ikut memfasilitasi 5 desa wisata.
Peran yang diambil pelaku industri tersebut, antara lain, mencakup pendampingan sumber daya manusia, akses pembiayaan melalui dana tanggung jawab korporasi atau blended financing, dan digitalisasi layanan.
”Selama pandemi Covid-19, kunjungan wisatawan ke desa wisata justru naik 30 persen. Ini berarti desa wisata mampu memberikan kesejahteraan ekonomi lokal. Kami tetap memonitor agar desa wisata tumbuh berkelanjutan, bisa mandiri, bukan sekadar latah mendirikan desa wisata,” ujar Vinsensius.
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azahari berpendapat, dengan adanya desa wisata, partisipasi masyarakat bisa maksimal. Dengan mengedepankan desa wisata, kearifan lokal bisa dijaga. Ada kecenderungan pendekatan pembangunan destinasi pariwisata, seperti prioritas dan super prioritas, lebih mengutamakan peran investor dan tingkat pengembalian manfaat besar untuk mereka.
Paradigma pariwisata telah bergeser menjadi customized tourism, lebih personal, dan lokal. Paradigma ini sejalan dengan pergeseran pendekatan pariwisata massal ke pariwisata yang mengedepankan kunjungan berkualitas. Pandemi Covid-19 amat memengaruhi pergeseran paradigma itu. Kunjungan berkualitas ditandai oleh penambahan lama tinggal dan belanja di destinasi yang akhirnya memengaruhi tingkat penyerapan tenaga kerja.
Ada kecenderungan pendekatan pembangunan destinasi pariwisata, seperti prioritas dan super prioritas, lebih mengutamakan peran investor dan tingkat pengembalian manfaat besar untuk mereka.
Di tengah tantangan-tantangan makro ekonomi, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak, desa wisata masih berpeluang tetap tumbuh. Apalagi, desa wisata yang dekat dengan tempat tinggal calon wisatawan. Co-Founder dan CEO Pesona Desa Nusantara Fitri Ningrum saat dihubungi, Minggu, mencontohkan Festival Jongkong Layar di Anambas. Festival budaya yang telah jadi tradisi ini selalu memikat warga di dalam Anambas. Masyarakat desa hingga penjual makanan tradisional tetap berdaya dengan adanya festival budaya itu.
”Kita perlu menekankan bahwa wisatawan itu tidak melulu harus wisman ataupun wisnus yang bertempat tinggal jauh. Wisatawan lokal yang biasanya tinggal tidak jauh dari destinasi bisa jadi target agar roda pendapatan desa tetap berputar. Pergerakan wisnus ataupun wisatawan lokal di dalam Indonesia itu besar, tetapi memang ada kecenderungan sensitif terhadap biaya (harga) seluruh perjalanan,” tuturnya.
Kelemahan
Saat ini, terdapat sekitar 4.000 desa wisata yang masuk dalam Jejaring Desa Wisata (Jadesta). Hal ini menggambarkan persaingan ketat untuk menjadi desa wisata yang paling menarik dikunjungi wisatawan secara berkelanjutan. Kebanyakan dari desa wisata yang ada masih dalam taraf rintisan.
Penasihat Tim Ekonomi Kerthi Bali Research Center Universitas Hindu Indonesia Cipto Gunawan berpendapat, menjadi desa wisata sering kali merupakan upaya desa mendapatkan dana pemerintah sehingga potensi nyata desanya justru kurang terseleksi. Antar satu desa dan desa lain berlomba mendapatkan status itu sehingga jumlahnya banyak, tetapi pengembangannya tidak terurus. Akibatnya, desa pun susah mendatangkan dan mempertahankan kunjungan wisatawan, baik wisman, wisnus, maupun wisatawan lokal dari desa-desa sekitar.
Ketua Umum Asosiasi Desa Wisata Indonesia (Asidewi) Andi Yuwono menambahkan, tantangan yang dihadapi sebagian besar desa wisata adalah adanya kualitas pelayanan yang mumpuni. Ini bisa dicapai jika sumber daya manusia desa bermutu. Dia menyampaikan, pihaknya bekerja sama dengan sejumlah mitra asosiasi untuk menggelar pelatihan bagi pengelola desa wisata, di antaranya melalui Sekolah Penggerak Wisata dengan Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Lampung Barat.
Sementara Azril berpendapat, kelemahan utama dari upaya memajukan desa wisata adalah belum terintegrasinya kebijakan/program antar-kementerian, lembaga, dan swasta. Masing-masing memiliki konsep kebijakan/program dan anggaran. Ditambah lagi, pemerintah daerah juga punya agenda kebijakan sendiri.
Kelemahan utama dari upaya memajukan desa wisata adalah belum terintegrasinya kebijakan/program antar-kementerian, lembaga, dan swasta. Masing-masing memiliki konsep kebijakan/program dan anggaran. Ditambah lagi pemerintah daerah juga punya agenda kebijakan sendiri.
Di tataran desa pun belum ada sinergi. Pokdarwis (kelompok sadar wisata) dibentuk oleh surat keputusan dinas pariwisata, sementara BUMDes wisata (badan usaha milik desa wisata) oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Di sejumlah desa wisata, keduanya tidak akur.
”Apabila sejak awal pengembangan desa wisata sudah ada satu kebijakan/konsep program nasional yang terintegrasi, upaya memajukan desa wisata jadi keroyokan. Lebih terarah. Tindak lanjut dari pelaksanaan program pun lebih mudah sehingga terukur dampak kunjungan ke masyarakat desa,” ujarnya.
Azril menambahkan, kelemahan lain yang masih muncul adalah belum banyak desa tertinggal terjamah oleh rangkaian kebijakan/program desa wisata yang ada. Jika dibiarkan, masyarakat di sana akan tetap kurang memperoleh manfaat ekonomi.