Bulog Mulai Edarkan Daging Kerbau Impor ke Ritel Modern
Bulog mulai mengedarkan daging kerbau impor dari India ke pasar tradisional dan ritel modern. Impor daging perlu dibarengi penyederhanaan rantai distribusi agar tujuan menekan harga di tingkat konsumen bisa tercapai.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 18.000 ton daging kerbau beku impor mulai diedarkan secara bertahap ke ritel modern dan pasar tradisional di Jakarta. Upaya ini ditempuh sebagai strategi menstabilkan harga daging sapi serta memberi pilihan kepada konsumen daging dengan harga lebih murah.
Impor diharapkan hanya solusi sementara. Selain itu, rantai pasok yang panjang juga dinilai perlu dipotong agar harga daging di tingkat pedagang pengecer bisa lebih terjangkau oleh konsumen.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menyatakan, daging kerbau beku dari India mulai didistribusikan secara bertahap ke 88 ritel modern di Jakarta. Daging tidak disalurkan secara serempak karena setiap pengelola ritel menerapkan administrasi pembelian yang berbeda-beda.
Selain ke ritel modern, daging kerbau beku impor juga akan dipasok ke pasar-pasar tradisional. Bulog menyediakan lemari pembeku (freezer), mengingat stok yang ada berbentuk daging beku.
Sesuai penugasan pemerintah, harga penjualan daging kerbau impor ditetapkan Rp 80.000 per kilogram (kg). Bila ada koreksi harga, pemerintah menetapkan kenaikan maksimal Rp 85.000 per kg. Selain itu, agar penyaluran daging bisa dilakukan secara merata, pembelian juga dibatasi hanya 2 kg per pembeli.
”Ke depan stok daging tersebut akan disalurkan ke ritel modern lain, intinya dari Bulog sudah siap, tinggal mengedarkan,” kata Budi Waseso dalam tinjauannya di salah satu ritel modern di Jakarta, Jumat (14/4/2023).
Acuan harga tersebut diharapkan bisa membantu konsumen mendapatkan daging dengan harga terjangkau. Harga jual daging bisa ditekan karena penyaluran dilakukan secara langsung dari Bulog ke ritel modern. Terobosan ini yang membuat harga jual bisa diturunkan menjadi Rp 80.000 per kg dari sebelumnya berkisar Rp 95.000 per kg.
Terobosan ini juga bisa membantu Bulog mengurangi biaya distribusi, seperti untuk penyewaan cold storage (gudang pendingin), yang membuat badan usaha milik negara ini merugi ratusan miliar rupiah beberapa tahun lalu. Bersama Satgas Pangan Polri, Bulog juga memantau penyaluran dan penjualannya agar konsumen bisa mendapatkan daging dengan harga sesuai aturan.
Problem mendasar
Upaya menekan harga jual daging sapi perlu dilakukan dengan menyederhanakan tata niaga yang panjang. Stabilisasi harga daging sapi dengan impor daging kerbau hanya solusi sementara.
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menyatakan, kedatangan daging kerbau impor dari India sudah sesuai dengan perhitungan neraca pangan yang ditetapkan pada setiap awal tahun. Perhitungan lebih awal membuat pengadaan impor daging kerbau bisa dilakukan sejak jauh hari sehingga kedatangannya bisa diatur sesuai kebutuhan per bulan selama satu tahun.
Pemerintah juga berupaya memotong rantai pasok dengan mengidentifikasi celah-celah perizinan impor yang memakan waktu lama.
Selain untuk memenuhi kebutuhan Lebaran dan stabilisasi harga daging sapi, impor dilakukan untuk memenuhi cadangan pangan pemerintah (CPP) sebagai antisipasi kelangkaan akibat krisis iklim dan lainnya.
Soal akurasi data stok, kata Arief, pihaknya siap dikoreksi oleh pihak lain bila data yang dipaparkan tidak sesuai kondisi di lapangan. ”Bukan pro-impor karena kami tetap pastikan stok dari dalam negeri dahulu. Stok kami juga terbuka, supaya pihak lain bisa mengoreksi,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pangan Nasional, per Jumat (14/4/2023), harga daging sapi murni di tingkat pedagang eceran berada di angka Rp 135.670 per kg. Harga mulai naik pada April 2022, yakni Rp 132.050 per kg, lalu bertahan di atas Rp 130.000 per kg hingga pertengahan April 2023..
Terlepas dari faktor pandemi Covid-19, harga tinggi daging sapi dinilai turut dipicu oleh panjangnya rantai distribusi. Board Members Center for Indonesian Policy Studies, Risti Permani berpendapat, model bisnis daging sapi di Indonesia cukup panjang.
Pada tahap awal, importir mendatangkan sapi dari luar negeri, seperti Australia dan India. Sapi itu lalu digemukkan di tempat penggemukan (feedlot). Setelah itu, sapi akan dipotong.
Selanjutnya, daging sapi tersebut dijual ke pedagang grosir skala besar atau tengkulak yang membantu rumah potong hewan (RPH) mendapatkan pembeli. Dari mereka, sapi dijual ke pedagang grosir skala kecil, lalu diedarkan ke pasar tradisional dan ritel modern hingga sampai di tangan konsumen.
”Proses ini lama dan membutuhkan biaya yang besar. Kenaikan harga logistik dan transportasi akan signifikan menaikkan harga jual. Perlu ada pembenahan tata kelola dan modernisasi peternakan untuk meningkatkan kapasitas peternak lokal,” ujarnya.