Hingga kini masih ada warga yang menyalahgunakan visa kunjungan wisata atau ziarah untuk bekerja ke luar negeri. Kementerian Ketenagakerjaan usul penerbitan dua jenis visa itu diperketat guna mencegah penyimpangan.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Problem penempatan pekerja migran Indonesia nonprosedural belum kunjung tuntas. Upaya yang ditempuh pemerintah dinilai belum efektif mengatasi masalah tersebut. Selain itu, sejauh ini belum ada cetak biru penempatan yang aman.
Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah juga dinilai masih bersifat pencegahan. Salah satunya adalah Kementerian Ketenagakerjaan yang mengusulkan agar ada pengetatan pemberian visa kunjungan atau visa ziarah karena warga negara Indonesia (WNI) yang berangkat bekerja ilegal cenderung menyalahgunakan kedua jenis visa itu.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo saat dihubungi di Jakarta, Rabu (12/4/2023), berpendapat, pemerintah belum memiliki cetak biru penempatan yang aman, efisien, dan berbiaya terjangkau. Padahal, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia telah mengamanatkan agar ada reduksi bisnis proses penempatan yang berbiaya tinggi melalui pembebasan biaya penempatan.
Akan tetapi, hal itu belum berjalan. Pemerintah bahkan mengeluarkan program kredit usaha rakyat (KUR) bagi pekerja migran Indonesia (PMI). Wahyu menilai dengan adanya KUR justru menambah beban biaya baru bagi PMI. Akibat beban biaya penempatan yang tinggi, masih ada upaya pemberangkatan nonprosedural yang seringkali mengarah menjadi perdagangan manusia.
“Pemerintah sebenarnya telah menerapkan pengurusan paspor yang cepat dan berbiaya terjangkau. Akan tetapi, porsi beban biaya yang besar bukan itu, melainkan pelatihan kerja dan cek kesehatan. Kedua jenis beban biaya ini semestinya bisa ditanggung oleh anggaran pemerintah, tetapi tidak kunjung ada itikad politik untuk menganggarkan sampai sekarang,” ujar Wahyu.
Permasalahan lain yang dia duga menyebabkan upaya menekan penempatan ilegal tak kunjung tuntas adalah kementerian/lembaga tidak memiliki cara efektif. Wahyu menilai, ada kecenderungan mengatasi masalah penempatan ilegal itu sebatas jargon pemerintah.
“Buat peta jalan penempatan yang aman, efisien, dan berbiaya terjangkau. Pemerintah bisa mulai dulu dengan mengidentifikasi akar masalah. Susun pula tenggat atau target-target menekan penempatan yang nonprosedural,” imbuh dia.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan Afriansyah Noor di acara konferensi pers kerja bersama jajaran Polri dan Polda Jawa Timur, mengatakan, upaya mencegah dan menegakkan hukum PMI yang jadi korban sindikat tindak pidana perdagangan orang (TPPO) tidak mudah. Kementerian Ketenagakerjaan hanya berperan melaporkan, sedangkan kepolisian memeriksa dan menindaknya.
Untuk kabar viral dugaan TPPO yang melibatkan aparat pemerintah di Batam, dia mengakui bahwa Batam memang sering menjadi jalur pemberangkatan, termasuk pemberangkatan PMI nonprosedural. Pihaknya bersama aparat kepolisian masih memeriksa.
“Kami akan mencabut surat izin usaha bagi perusahaan pelaksana penempatan yang ketahuan terlibat penempatan nonprosedural ataupun TPPO. Tujuannya agar ada efek jera,” kata dia.
Sepanjang tahun 2022, Kementerian Ketenagakerjaan telah mencegah sebanyak 322 orang calon PMI dan pada 2023 mencegah 105 orang calon PMI yang akan ditempatkan secara nonprosedural. Modusnya adalah mereka akan ditempatkan bekerja dengan menggunakan visa kunjungan atau ziarah. Pihaknya mengusulkan agar pihak imigrasi tidak menggampangkan pemberian visa.
“Usulan kami agar ada pengetatan (pemberian kedua jenis visa itu). Kami juga usul kementerian/lembaga lain ikut mengawasi rantai penempatan PMI,” imbuh Afriansyah.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjend Pol Juhandani, menyebut beberapa kasus penempatan nonprosedural sudah terungkap otak intelektualnya. Namun, jumlah pelaku tidak sebanding dengan jumlah warga negara Indonesia yang menjadi korban. Dia berkomitmen akan meningkatkan kerja sama dengan kepolisian tingkat daerah untuk mencegah semakin banyak penempatan nonprosedural.