Ketentuan terkait itu tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan CCS dan CCUS pada Kegiatan Usaha Hulu Migas. Selain menekan emisi GRK, CCS/CCUS juga untuk peningkatan produksi migas.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Teknologi penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon atau carbon capture, utilization, and storage dapat berasal dari industri bukan minyak dan gas bumi, seperti industri pupuk. Hal itu diharapkan turut mendukung penurunan emisi gas rumah kaca sekaligus meningkatkan produksi migas.
Penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) serta penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (CCUS) adalah teknologi yang bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Karbon yang ditangkap dan diinjeksikan juga dapat digunakan untuk meningkatkan produksi migas. Saat ini di Indonesia, teknologi itu masih tahap studi atau persiapan.
”Emisi CO2 dari industri luar migas dapat diterima dan dimasukkan ke dalam lapangan migas, dengan cara kerja sama. Nanti kontraktor kontrak kerja sama akan memasukkannya dalam rencana pengembangan lapangan (POD) dan diajukan ke SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi). Jika disetujui, maka dapat dilaksanakan,” ujar Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji, Rabu (12/4/2023), di Jakarta.
Penangkapan karbon dari industri nonmigas tersebut diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan CCS dan CCUS pada Kegiatan Usaha Hulu Migas. Pada Pasal 6 disebutkan, penangkapan emisi karbon dalam penyelenggaraan (khusus) CCUS dapat berasal dari industri lain di luar hulu migas. Itu melalui, antara lain, pemisahan emisi karbon pada fasilitas produksi migas, penangkapan emisi karbon hasil pembakaran, tangkapan pra-penyalaan, dan pembakaran oxyfuel.
Tutuka menambahkan, penerbitan Peraturan Menteri ESDM No 2/2023, antara lain, untuk memenuhi kebutuhan emisi (untuk ditangkap dan diinjeksikan) di industri migas. Sebab, sebagian besar lapangan-lapangan migas di Indonesia mengandung karbon dioksida. ”Ini langkah awal untuk memudahkan Indonesia bisa mencapai target emisi nol bersih di 2060. Harapannya, industri migas berkontribusi nyata dengan pelaksanaan peraturan menteri ini,” ujarnya.
Dalam peraturan itu juga dijelaskan bahwa setelah POD disetujui, kontraktor melaksanakan penyelenggaraan CCS/CCUS sesuai ketentuan yang ada. Jika diperlukan, kontraktor melalui SKK Migas dapat mengusulkan amendemen kontrak kerja sama kepada Menteri ESDM.
Terkait proses penangkapan karbon, selain emisi hulu migas dan industri lain, juga dengan penangkapan udara langsung (direct air capture). Proses berikutnya adalah pengangkutan, injeksi, dan penyimpanan. Adapun pemanfaatan karbon adalah untuk enhanced oil recovery (EOR), enhanced gas recovery (EGR), dan enhanced coal bed methane (ECBM) recovery.
Potensi di Indonesia
Koordinator Keteknikan dan Keselamatan Lingkungan Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM Kusnandar mengatakan, sebelum Peraturan Menteri ESDM No 2/2023 terbit, sebenarnya sejumlah studi terkait CCS/CCUS di Indonesia sudah dilakukan. Salah satunya oleh Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi Lemigas dan ExxonMobil.
Indonesia pun memiliki potensi CO2 yang besar. ”Bahkan, (dari studi) ada yang mencapai 400 gigaton (CO2). Kita menjadi sorotan dunia. Dengan sifat-sifat geologi yang dimiliki, potensi tersebut nyata di Indonesia,” kata Kusnandar.
Menurut Kusnandar, pihaknya juga sudah mengomunikasikan potensi CCS/CCUS di Indonesia dengan lembaga-lembaga internasional, antara lain, dari Inggris, Australia, Korea Selatan, Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Itu dalam upaya agar sektor hulu migas mendapat nilai tambah dengan EOR, EGR, dan ECBM recovery.
”Ke depan, (CCS/CCUS) diharapkan terus berkembang. Mudah-mudahan keterbatasan yang ada dapat diantisipasi dengan payung hukum yang lebih stabil, seperti peraturan presiden atau peraturan pemerintah,” ucap Kusnandar.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, saat ini terdapat 16 proyek CCS/CCUS di Indonesia dan semuanya masih dalam tahap studi atau persiapan. Namun, sebagian besar proyek itu ditargetkan beroperasi sebelum 2030. Proyek Tangguh CCUS di Papua Barat menjadi salah satu proyek unggulan yang telah mendapat persetujuan POD.
Sebelumnya, pada Senin (10/4), Direktur Eksekutif Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) Marjolijn Wajong mengatakan, perbaikan fiskal menjadi salah satu usulan IPA terkait pengembangan sektor hulu migas. Salah satunya berupa pemberian insentif fiskal untuk kegiatan CCS/CCUS. Dengan demikian, ada kemenarikan investasi lebih besar di sektor tersebut.