Bandul Tekanan Krisis Global Mulai Bergeser
Bandul tekanan krisis ekonomi global mulai bergeser dari pandemi Covid-19, konflik geopolitik, harga komoditas pangan-energi ke sistem keuangan. Bandul ekonomi RI juga bakal bergeser dari sektor eksternal ke domestik.

Logo Dana Moneter Internasional (IMF) terlihat di luar gedung kantor pusat di Washington, AS, 4 September 2018.
Bandul tekanan krisis ekonomi global mulai bergeser dari pandemi Covid-19, konflik geopolitik, harga komoditas pangan-energi ke sistem keuangan. Namun, bukan berarti tensi geopolitik yang membuat dunia terfragmentasi telah berakhir.
Pergeseran tekanan krisis ke sektor keuangan itu merupakan imbas pengetatan kebijakan moneter untuk meredam dampak krisis sebelumnya. Di mulai dari bank sentral di sejumlah negara maju, terutama Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di Eropa. Disusul negara-negara lain, termasuk negara berkembang.
Dalam kurun waktu setahun, jumlah modal asing yang keluar dari negara-negara berkembang sekitar 300 miliar dollar AS. Sejumlah bank besar, seperti Silicon Valley Bank dan Signature Bank di AS, bangkrut. Pemerintah Swiss bahkan sampai mengambil kebijakan memerger Credit Suisse dengan UBS.
Ini mengingatkan ekonomi dunia masih rapuh. Ketidakpastian masih berlanjut, bahkan mulai menjalar ke sistem keuangan. Pengetatan kebijakan moneter juga masih berpotensi terjadi di sejumlah negara dengan inflasi yang masih cukup tinggi.
Hal itu mengemuka dalam dua laporan Dana Moneter Internasional (IMF) tentang ”Stabilitas Keuangan Global: Menjaga Stabilitas Keuangan di Tengah Inflasi Tinggi dan Risiko Geopolitik” dan ”Tinjauan Ekonomi Dunia: Pemulihan Berbatu”. IMF merilis laporan pada 11 April 2023 di Washington, AS, dalam Pertemuan Musim Semi 2023 Grup Bank Dunia (WBG) dan IMF.
Ini mengingatkan ekonomi dunia masih rapuh. Ketidakpastian masih berlanjut, bahkan mulai menjalar ke sistem keuangan.

Kepala Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas mengatakan, pemulihan ekonomi global tetap bertahan pada jalurnya, tetapi jalannya semakin berbatu. Inflasi perlahan turun, tetapi pertumbuhan ekonomi tetap rendah secara historis dan risiko keuangan meningkat.
”Ketidakstabilan pasar keuangan Gilt di Inggris dan turbulensi perbankan di AS menggambarkan kerentanan yang cukup signifikan. Sektor tersebut perlu diuji kembali. Dalam skenario terburuk, pertumbuhan ekonnomi global bisa turun menjadi sekitar 1 persen pada tahun ini,” katanya.
IMF merevisi pertumbuhan ekonomi global pada 2023 dari perkiraan semula 2,9 persen menjadi 2,8 persen. Angka tersebut berada di bawah pertumbuhan ekonomi global tahun lalu yang sebesar 3,2 persen.
Inflasi global juga diperkirakan turun meskipun lebih lambat dari perkiraan semula, yakni dari 8,7 persen pada tahun lalu menjadi 7 persen. Namun, perkiraan tingkat inflasi itu masih lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya yang sebesar 6,6 persen.
IMF menyebut, ekonomi negara-negara maju, seperti AS dan negara-negara di zona Euro, tetap akan pulih meskipun sangat lambat. Produk domestik bruto (PDB) AS direvisi sedikit lebih tinggi dari 1,4 persen menjadi 1,6 persen. Begitu juga dengan negara-negara di Eropa, perkiraan PDB diubah dari 0,7 persen menjadi 0,8 persen.
Pemulihan ekonomi global tetap bertahan pada jalurnya, tetapi jalannya semakin berbatu. Inflasi perlahan turun, tetapi pertumbuhan ekonomi tetap rendah secara historis dan risiko keuangan meningkat.
Baca juga: Ekspor RI Bakal Ditopang Perdagangan Intraregional ASEAN+3

Foto udara sejumlah kapal kargo yang tengah berlabuh untuk memuat kontainer di Pelabuhan Yantian, Shenzhen, Provinsi Guangdong, China, pada 25 Desember 2022.
Adapun China dan India masih akan menjadi penyelemat ekonomi dunia. Pada tahun ini, ekonomi China dan India diperkirakan tumbuh masing-masing sebesar 5,2 persen dan 5,9 persen. Sementara volume perdagangan dunia diproyeksikan turun tajam dari 5,1 persen pada 2022 menjadi 2,4 persen pada 2023.
Penurunan volume perdagangan dunia itu dapat berdampak buruk pada kinerja ekspor di negara-negara berkembang. Di sisi lain, ada kemungkinan gejolak perbankan di negara maju yang terjadi belakangan ini dapat memengaruhi perekonomian di negara berkembang, menekan aktivitas bisnis, dan memperburuk kepercayaan konsumen.
Risiko lain yang mungkin terjadi adalah ekonomi tertekan di tengah biaya pinjaman yang tinggi. Hal ini juga dapat berdampak negatif terhadap pasar tenaga kerja.
Baca juga: WTO: Perdagangan Global Diperkirakan Tumbuh 1,7 Persen pada 2023
Bandul ekonomi RI
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Di tengah pergeseran bandul tensi krisis global, Indonesia juga bakal mengalami pergeseran bandul penopang ekonomi. Kinerja ekspor yang apik akibat tren kenaikan harga komoditas dunia akan tergeser ke konsumsi domestik.
IMF merevisi naik proyeksi ekonomi Indonesia tahun ini menjadi 5 persen dari perkiraan semula 4,8 persen. Perekonomian Indonesia bakal ditopang oleh kegiatan dan konsumsi domestik, seiring dengan peningkatan mobilitas masyarakat dan penurunan inflasi. Hal itu akan ditopang oleh fleksibilitas fiskal yang meningkat, peningkatan pendapatan pemerintah, dan kelebihan pembiayaan pemerintah yang solid.
”Sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini kemungkinan besar akan bergeser dari sektor eksternal ke sektor domestik. Namun, sektor eksternal, yakni ekspor, masih berpotensi terjaga di taraf tertentu berkat pembukaan kembali ekonomi China,” kata Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Faisal Rachman di Jakarta, Rabu.

Pertumbuhan dan indikator ekonomi sejumlah negara di Asia.
Menurut Faisal, harga komoditas ekspor memang akan cenderung terus melemah secara bertahap. Namun, mobilisasi dan konsumsi masyarakat akan terus meningkat ditopang oleh penurunan inflasi.
Pengeluaran pemerintah yang terkontraksi pada 2022 diperkirakan akan kembali tumbuh. Hal itu bakal ditandai dengan kembalinya defisit fiskal menjadi di bawah 3 persen dari PDB.
Investasi di sektor komoditas, lanjut Faisal, akan kembali beralih ke sektor bangunan dan infrastruktur. Hal ini ditopang oleh peningkatan anggaran infrastruktur dalam APBN 2023, kelanjutan Proyek Strategis Nasional, proyek hilirisasi, dan pembangunan ibu kota negara baru.
”Kami memperkirakan ekonomi RI tahun ini tetap tumbuh 5,04 persen kendati melambat dari tahun lalu yang sebesar 5,31 persen. Proyeksi tersebut sejalan dengan prakiraan laporan IMF terbaru,” ujarnya.
Harga komoditas ekspor memang akan cenderung terus melemah secara bertahap. Namun, mobilisasi dan konsumsi masyarakat akan terus meningkat ditopang oleh penurunan inflasi.
Baca juga: Ekonomi RI Diperkirakan Melambat Tahun Ini gegara Ekspor

Layanan penukaran uang di Taman Putri Pinang Masak Jambi, Rabu (5/4/2023), oleh Bank Indonesia Perwakilan Jambi disambut antusias masyarakat. Warga memanfaatkan hasil penukaran uang pecahan untuk dibagikan kepada kerabat saat Lebaran.
Perkuatan keuangan makro
Di sektor keuangan, Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan telah berkomitmen memperkuat pilar keuangan makro. Bahkan, komitmen akan dilakukan bersama negara-negara di kawasan Asia Tenggara sesuai hasil Pertemuan Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN (AFMGM) 2023 yang digelar di Nusa Dua, Bali, pada 28-31 Maret.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, ada tiga prioritas yang disepakati. Pertama, memperkuat bauran kebijakan fiskal, moneter, makropurdensial, dan reformasi struktural. Di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini, bauran kebijakan itu akan diarahkan untuk menjaga inflasi, nilai tukar, dan sistem keuangan perbankan kawasan.
Kedua, memperkuat ekspor dan investasi kawasan untuk menopang pemulihan ekonomi dan cadangan devisa. Salah satu caranya adalah mendiversifikasi mata uang di kawasan agar tidak tergantung pada dollar AS, yakni dengan penggunaan mata uang lokal untuk transaksi perdagangan dan investasi.
Ketiga, lanjut Perry, memperkuat digitalisasi sektor keuangan untuk meningkatkan inklusi keuangan di kawasan. Langkah tersebut akan membantu pelaku usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ASEAN lebih berkembang.
”Untuk mewujudkan prioritas kedua dan ketiga, para gubernur bank sentral ASEAN sepakat mengintegrasikan sistem pembayaran kawasan. Lima bank sentral, yakni Indonesia, Filipina, Thailand, Singapura, dan Malaysia, telah menandatangani nota kesepahaman. Negara-negara anggota lain akan segera menyusul,” katanya.
Baca juga: ASEAN Sepakati Tiga Prioritas Penguatan Keuangan Makro

Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai sektor jasa keuangan dalam kondisi stabil. Kinerja intermediasi sektor tersebut meningkat ditopang oleh pemrodalan dan likuiditas yang memadai. Kondisi tersebut menjadi modalitas penting dalam menghadapi dinamika global.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan, pada Maret 2023, laju pengetatan kebijakan moneter yang cepat memang mulai menekan stabilitas sistem keuangan global. Hal itu diindikasikan dengan penutupan beberapa bank di AS dan Eropa.
Otoritas negara-negara itu telah bertindak cepat untuk mengatasi permasalahan tersebut dan mencegah merambatnya penularan risiko. Namun, pengetatan kebijakan moneter global diperkirakan akan terus berlanjut seiring tingkat inflasi dari sisi permintaan yang masih tinggi.
”OJK tetap akan menjaga stabilitas sektor jasa keuangan di tengah tantangan tersebut. Beberapa upaya OJK antara lain melakukan test tekanan (stress test) secara berkala dengan berbagai skenario, serta memantau portofolio aset dan kewajiban bank termasuk risiko konsentrasi pinjaman dan pendanaan,” ujarnya, pekan lalu.
”OJK juga akan mengawasi dan meminta lembaga jasa keuangan untuk menjaga rasio kecukupan modal dan ketersediaan likuiditas pada aset yang berkualitas tinggi,” kata Mahendra.
OJK juga akan mengawasi dan meminta lembaga jasa keuangan untuk menjaga rasio kecukupan modal dan ketersediaan likuiditas pada aset yang berkualitas tinggi. Berbagai indikator menunjukkan bahwa perbankan Indonesia dalam kondisi yang solid.
Berdasarkan data OJK, per Februari 2023, rasio kecukupan modal (CAR) perbankan nasional menguat menjadi 26,1 persen dari 25,88 persen pada Januari 2023. Demikian juga rasio kecukupan likuiditas (LCR) dan rasio pendanan stabil bersih (NSFR) yang masing-masing sebesar 244,2 persen dan 140,42 persen atau jauh di atas ambang batas 100 persen.
Risiko kredit bermasalah (NPL) net dan gros masih terjaga dengan baik masing-masing sebesar 0,75 persen dan 2,58 persen. Adapun risiko pasar yang diindikasikan oleh posisi devisa neto (PDN) bank sebesar 1,47 persen atau jauh di bawah ambang batas 20 persen.
Baca juga: Himbara Gulirkan Strategi Antisipasi Risiko Ketidakpastian Ekonomi Global
