Kejar Target Produksi Migas, Indonesia Kekurangan ”Rig”
Kondisi kekurangan ”rig” tak lepas dari dimasifkannya kembali pengeboran sumur pengembangan migas mulai 2021. Pada 2017-2018, pengeboran sumur pengembangan menyusut drastis sehingga banyak ”rig” menganggur.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia tengah membangkitkan produksi minyak dan gas bumi dengan target 1 juta barel minyak per hari dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari pada tahun 2030. Namun, upaya mengejar target itu menghadapi tantangan terbatasnya ketersediaan rig atau alat pengeboran.
Deputi Eksploitasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Wahju Wibowo dalam diskusi ”Pengeboran Masif di Tahun 2023 dan Keselamatan Kerja Hulu Migas”, di Jakarta, Rabu (5/4/2023), mengatakan, saat ini, para kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sedang mencari rig.
”Sekarang tidak ada rig (yang memenuhi standar) yang menganggur. Sementara kami memiliki tugas besar, yakni mengerjakan (target pengeboran) 991 sumur pengembangan pada 2023. Kekurangan rig banyak sekali dan kondisi seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya,” ujar Wahju.
Kondisi itu tak terlepas dari dimasifkannya kembali pengeboran sumur pengembangan setelah sempat lesu akibat anjloknya harga minyak mentah. Menurut data SKK Migas, pada tahun 2015, realisasi pengeboran sumur pengembangan mencapai 541 sumur atau menurun dari tahun 2014 yang sebanyak 1.245 sumur. Jumlahnya kian menyusut menjadi 226 sumur (2016) dan 117 (2017).
Pada tahun 2018, realisasi pengeboran sumur pengembangan hanya 278 sumur, sedangkan pada 2019 mencapai 322 sumur. Pandemi Covid-19 juga turut berdampak sehingga realisasi pengeboran hanya 240 sumur pada tahun 2020. Barulah pada tahun 2021, realisasi mulai kembali meningkat menjadi 480 sumur. Pada 2022, jumlahnya meningkat kembali menjadi 760 sumur.
Demi mencapai target 1 juta barel minyak per hari dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari pada 2030, pengeboran sumur pengembangan pun mau tidak mau perlu dimasifkan. Apalagi pada 2022, realisasi produksi siap jual (lifting) minyak bumi hanya tercapai 612.300 barel per hari atau 87,1 persen dari target APBN.
Akan tetapi, upaya masif pengeboran itu tidak diikuti kesiapan rig mengingat selama bertahun-tahun banyak rig menganggur akibat minimnya pengeboran. Begitu juga pemeliharaannya. Beberapa tahun lalu, kebutuhannya mencapai sekitar 100 rig. ”Kebutuhan saat ini saya lupa, tapi rig drilling yang beroperasi sekarang baru 80-an (unit),” ujarnya.
Di sisi lain, kata Wahju, penyediaan rig tidak mudah. Namun, SKK Migas terus mengomunikasikan kebutuhan tersebut kepada asosiasi perusahaan pengeboran minyak dan gas bumi agar gap kebutuhan bisa terisi. Bahkan, selain rig, peralatan lain, termasuk pipa, juga sempat kurang seiring meningkatnya pengeboran.
Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Hudi D Suryodipuro mengatakan, pihaknya terus memproses upaya agar rig-rig bisa kembali beroperasi dan tetap memenuhi syarat. ”(KKKS) Ini rata-rata sewa semua, tidak ada yang punya rig. Pertamina pun oleh PT Pertamina Drilling Services Indonesia, bukan KKKS-nya,” ujarnya.
Acting Drilling Manager PT PetroChina International Jabung Ltd Kiki Ariefianto membenarkan kondisi itu. Pasalnya, pada 2018, jumlah pengeboran sangat sedikit. Dampaknya banyak rig menganggur. Kini, saat pemerintah memasifkan kembali pengeboran, kontraktor-kontraktor akan kesulitan untuk menyediakannya.
”(Kesulitan itu) sempat dialami Petrochina di awal-awal, tapi sekarang kami sudah mendapat rig yang sehat dan baik dari perusahaan service yang kompeten. Tahun ini, kami mengoperasikan 1 drilling rig dan 3 rig servis. Saat ini cukup, tetapi kalau (2023) dapat hasil baik, bisa jadi ke depan akan butuh tambahan,” katanya.
Kendati pengeboran sumur pengembangan dimasifkan demi tercapainya target jangka panjang produksi migas nasional, SKK Migas memastikan unsur safety (keamanan) tetap menjadi hal utama. Bukan lagi prioritas, kepastian keamanan menjadi nilai (value) yang mutlak diterapkan di industri hulu migas.
”Kecelakaan kerja (di hulu migas), tidak disebabkan faktor tunggal. Misalnya, ada juga pelanggaran-pelanggaran sebelumnya yang menyebabkan ada fatality (menelan korban jiwa). Sebanyak 88 persen kecelakaan itu karena perilaku yang tidak aman. Maka itulah yang harus pertama dibenahi,” kata Wahju.