Sebanyak 2.000 ton gula kristal putih yang diimpor dari Thailand tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, saat data stok gula masih jadi polemik.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 2.000 ton gula kristal putih yang diimpor dari Thailand tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada hari Sabtu (1/4/2023). Kedatangan gula impor ini merupakan upaya pemerintah untuk mencukupi kebutuhan nasional dan menjaga stabilitas harga menjelang Lebaran.
Direktur Utama ID Food Frans Marganda Tambunan menjelaskan, gula kristal putih (GKP) yang tiba tersebut merupakan bagian dari komitmen impor sebanyak 32.500 ton yang akan didatangkan oleh pemerintah lewat Pelabuhan Tanjung Priok.
Selain itu, gula impor juga akan tiba di Pelabuhan Belawan, Medan, sebanyak 37.900 ton dan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, 25.000 ton dengan target distribusi kawasan Indonesia bagian timur.
Badan usaha milik negara bidang pangan, ID Food, menargetkan gula sebanyak 40.000 ton tiba sebelum Lebaran dan sisanya datang pada awal Mei 2023. Terkait relatif sedikitnya gula impor yang tiba dikarenakan keterbatasan ketersediaan kapal dengan tonase 20.000-30.000 ton.
”Kedatangan (gula) ini bagian dari upaya stabilisasi harga menjelang Lebaran agar tetap stabil di bawah harga eceran tertinggi (HET) Rp 13.500 per kilogram. Gula ini datang dari Thailand. Berbeda dengan sebelumnya menggunakan vessel (kapal pengangkut) yang cukup besar, tapi karena (ketersediaan) sedang terbatas, datang dengan kapal kecil,” tutur Frans.
Meski menggunakan kapal kecil, diharapkan tenggat impor hingga awal Mei 2023 bisa dipenuhi, khususnya untuk menghindari gula impor tiba saat petani tebu memulai masa giling tebu pada Mei hingga Juni 2023. ”Kita targetkan sesuai jadwal agar tidak mengganggu harga saat panen dan giling tebu tahun ini. Impor ini juga untuk back up stok yang ada,” ujarnya, menambahkan.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menjelaskan, jumlah impor yang didatangkan sudah sesuai dengan perhitungan neraca komoditas pangan di tahun 2023. Di tahun ini, kuota impor gula mentah setara GKP adalah 991.000 ton. Mulanya, jumlah ini diharapkan bisa terealisasi sejak awal tahun. Namun, jadwal impor mundur karena terdapat 1 juta ton stok sisa dari tahun 2022.
Arief menegaskan, kuota impor tersebut sudah memperhatikan kondisi pasar. Gula yang didatangkan dari Thailand dan India pada semester II-2023 ini adalah untuk stabilisasi harga dan mencukupi kebutuhan nasional. Dengan kebutuhan gula konsumsi sebanyak 3,4 juta ton per tahun, pemenuhan pasokan dari dalam negeri masih memegang porsi terbesar, yaitu 2,6 juta ton.
”Masih ada carry over stok 1 juta ton dari tahun sebelumnya. Jadi, stok awal tahun cukup, maka tahun ini kami mundurkan, tapi target sebelum Mei harus selesai,” ucapnya.
Keputusan impor yang diambil dinilai telah memperhatikan kebutuhan konsumen dan produsen. Di tingkat produsen, pemerintah berencana mengkaji ulang harga pokok pembelian (HPP) gula di tingkat petani yang kini berada di Rp 11.500 per kilogram. Tidak hanya HPP, HET juga akan ditinjau ulang agar ada keseimbangan di tingkat konsumen dan produsen.
Sengkarut data
Akurasi data menjadi salah satu hal penting dalam menentukan apakah kebijakan impor layak atau tidak untuk dilakukan. Dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Soemitro Samadikoen menyebutkan, berdasarkan perhitungannya, stok gula mentah tahun lalu berada di angka 2,3 juta ton, yang berasal dari jumlah produksi dalam negeri dan dari impor.
Dengan jumlah stok yang ada, ditambah produksi nasional sebanyak 2,6 juta ton, seharusnya impor tidak diperlukan karena kebutuhan nasional sebesar 3,4 juta ton masih dapat terpenuhi. Ditambah pula beberapa petani gula dalam waktu dekat akan memasuki masa panen, salah satunya di Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Selain stok, kata Soemitro, data mengenai konsumsi nasional juga perlu menjadi perhatian. Menurut dia, penggunaan gula konsumsi di Indonesia berada di angka 2,7-3 juta ton per tahunnya. Akurasi data konsumsi dan produksi penting sebagai acuan agar jumlah kebutuhan impor semakin akurat.
Di samping itu, pemerintah perlu menyesuaikan HPP lantaran ada kenaikan biaya produksi, seperti pupuk dan upah pekerja, serta minimnya akses pupuk subsidi bagi petani tebu. ”Pemerintah harus mengajak banyak pihak untuk menyelesaikan sengkarut data ini agar terjadi keadilan. Jangan mengabaikan produsen demi stabilitas di konsumen,” ujarnya.
Mengutip laman Badan Pangan Nasional, harga gula konsumsi rata-rata nasional per 1 April 2023 Rp 14.400 per kilogram. Harga tertinggi ada di Papua, yakni Rp 15.970 per kilogram.