Energi nuklir dianggap terlalu mahal karena investasi yang dibutuhkan amat besar sehingga masih jadi pilihan terakhir. Namun, sebagian pihak menilai nuklir menjadi jawaban untuk transisi ke energi bersih.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Seorang pranata nuklir dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) membuat pelet dari serbuk uranium untuk dijadikan bahan bakar reaktor nuklir di Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Tangerang Selatan, Rabu (11/9/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia masih jadi perdebatan meski pemerintah dan DPR sudah setuju serta memasukkannya dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan. Bagaimanapun penerimaan publik haruslah diperhatikan.
Pakar energi yang juga anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari Pemangku Kepentingan, Herman Darnel Ibrahim, dalam diskusi ahli terkait energi baru yang digelar Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Rabu (29/3/2023), menilai, pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) mahal.
Dari risetnya, di Eropa, biaya investasi PLTN bisa mencapai 10 miliar dollar AS per 1.000 megawatt (MW), termasuk dengan potensi delay (penundaan) konstruksi enam tahun. Dalam membangun PLTN, umumnya semua berjalan ketat serta akan selalu ada tahapan untuk di-review dan disetujui sehingga investasinya mahal.
Menurut Herman, yang berpendapat secara pribadi, bukan mewakili DEN, upaya mencapai target emisi nol bersih (NZE) 2060 bisa dengan memaksimalkan eksploitasi energi hidro, panas bumi, dan biomassa. Lalu didukung teknologi penangkapan karbon PLTU batubara. Juga dengan mengoptimalkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), bayu (PLTB), hingga massive storage (penyimpanan).
Apabila upaya masif melalui solusi teknologi yang ekonomis belum berhasil dalam mengejar target NZE, barulah bisa dengan PLTN. ”PLTN akan muncul sebagai kuda hitam jika nanti harga listrik PLTN terbukti bisa lebih murah. PLTN dapat dikembangkan hanya kalau dapat diyakini LCOE (harga listrik yang diratakan)-nya bisa lebih rendah,” kata Herman.
Kalaupun pada akhirnya Indonesia akan membangun PLTN demi mencapai NZE, imbuh Herman, segalanya harus diperhatikan. Tidak hanya dengan RUU EBET, tetapi public acceptance juga harus benar-benar diperhatikan. Perlu peraturan seperti terkait keselamatan kerja, keselamatan masyarakat sekitar lokasi, kegawatdaruratan, hingga pengangkutan pelet nuklir dan pengolahan limbahnya.
”Lalu, peraturan tentang bagaimana menetapkan dan memilih lokasi. Misalnya, tak boleh di lokasi rawan gempa, daerah padat, dan daerah pertanian. Tak boleh misalkan sudah ada studi tapak PLTN lalu langsung mau dibangun. Secara internasional, pembangunan PLTN juga harus diterima bukan dipaksa,” ucapnya.
Herman menambahkan, dalam membangun PLTN juga akan dibutuhkan komisi tenaga nuklir yang independen, seperti dari konsumen dan unsur yang berpengalaman di ketenagalistrikan. Artinya, dari berbagai unsur ada dalam komisi untuk membuat keputusan atas kajian-kajian yang dilakukan.
Herman menuturkan, ia belum mendengar declare dari Presiden, sebagai Ketua DEN, untuk membangun PLTN. ”Meski dari anggota (DEN) sudah diusulkan dan kementerian juga buat, Presiden belum menyebutkan ’ya, kita akan bangun PLTN’. Presiden dan DPR itu akan menentukan,” jelasnya.
Jawaban transisi energi
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Surat Indrijarso berpendapat, di antara sejumlah opsi energi baru terbarukan yang ada, nuklir dapat menjadi jawaban dalam transisi energi. Itu dalam upaya menggantikan energi fosil, terutama batubara. Keekonomiannya dinilai bersaing.
Karakteristik energi nuklir, imbuh Surat, di antaranya ialah bebas karbon, small footprint atau tak perlu lahan yang luas, tak membahayakan makhluk hidup saat beroperasi, dan limbah yang bisa tersimpan baik. Selain itu, berkelanjutan dari sisi bahan bakar dan bahan baku serta berkelanjutan dari sisi ekonomi.
Energi nuklir pun berskala besar dengan densitas energi tinggi. Lalu dapat jadi baseload (pemikul beban dasar) dan andal karena tak terpengaruh oleh cuaca dan musim. Sementara dari sisi ekonomi, yakni biaya sistem lebih rendah, menciptakan lapangan pekerjaan, dan memberi multiplier (dampak ikutan) terhadap ekonomi.
Namun, selama ini yang lebih mudah dipahami atau sudah sangat dipahami ialah jenis-jenis energi baru terbarukan lain. ”Energi nuklir (dipandang) cenderung ada ancaman radiasi. Namun, kalau kita lihat, radiasi yang ditimbulkan PLTN minim sekali. Bencana di Fukushima atau sebelumnya Chernobyl pun sudah di-declare bahwa korbannya bukan akibat dari radiasi,” ujar Surat.
Menurut dia, transisi energi membutuhkan biaya sekitar Rp 400 triliun per tahun selama 30 tahun. Maka, perlu regulasi dan kebijakan yang mendukung investasi pengembangan energi nonfosil dengan sifat dispatchable (dapat dikontrol), terjangkau (lebih kecil dari 0,07 dollar AS per kilowatt jam/kWh), capacity factor lebih tinggi dari 50 persen, dan dekat dengan beban.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Seorang pranata nuklir dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) menunjukkan uranium yang digunakan sebagai bahan bakar nuklir untuk reaktor tipe air berat di Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Tangerang Selatan, Rabu (11/9/2019).
Sosialisasi
Dosen Bisnis Energi Institut Teknologi PLN (ITPLN) yang juga praktisi bisnis, Tri Wahyu Adi, dalam seminar bisnis dan industri yang disiarkan daring oleh ITPLN, Rabu (29/3/2023), mengatakan, saat ini ada tiga negara di Asia Tenggara yang sudah menjajaki atau berpotensi membangun PLTN, yakni Filipina, Indonesia, dan Singapura.
Adapun di Indonesia, kajian pembangunan PLTN yang sudah dilakukan ialah di Kepulauan Bangka Belitung, berbasis thorium, dan di Kalimantan Barat yang berbasis uranium. Adapun problem yang dihadapi Indonesia adalah sosialisasi dan ketakutan negara-negara lain jika Indonesia membangun PLTN.
Mengenai sosialisasi kepada masyarakat, menurut Tri, bisa mencontoh pada energi panas bumi. ”Geothermal (panas bumi) juga awalnya ada penolakan. Tetapi begitu dijelaskan (ada manfaatnya). PLTN juga demikian. Sosialisasi perlu sehingga memahami apa itu PLTN,” ujar Tri.
Adapun nuklir masuk dalam pembahasan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) oleh pemerintah dan Komisi VII DPR. Pemerintah juga tengah memproses pembentukan Komite Pelaksana Program Energi Nuklir (Nuclear Energy Program Implementation Organization/NEPIO).