Langkah Transisi Energi dalam RUU EBET Dipertanyakan
Sejumlah kelompok masyarakat sipil mencatat jenis energi baru dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan bukan sumber energi yang patut didorong untuk transisi yang berkelanjutan.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Deretan kincir angin pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) menghiasi puncak bukit di Dusun Tanarara, Desa Maubokul, Kecamatan Pandawai, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Rabu (3/2/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Substansi Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan atau RUU EBET dinilai belum cukup menunjukkan upaya pemerintah untuk mendorong transisi energi yang berkeadilan. Itu di antaranya tampak pada pencantuman sejumlah sumber energi baru dalam RUU EBET yang dinilai bukan sumber energi yang patut didorong dalam transisi yang berkelanjutan.
Pemerintah didesak fokus pada energi terbarukan ketimbang energi baru. Upaya mendorong percepatan transisi energi berkeadilan itu mesti sejalan dengan pengurangan emisi karbondioksida dan menekan kenaikan suhu global salah satunya, memberi insentif untuk energi bersih dan terbarukan.
Deputi Program Lembaga Kajian Lingkungan Hidup Indonesia (ICEL) Grita Anindarini mengemukakan, regulasi insentif untuk energi baru dan energi terbarukan tidak dapat disamakan. Energi yang berasal dari bahan bakar fosil tidak layak untuk diberikan subsidi, bahkan perlu dikenakan cukai (disinsentif) karena penggunaannya berdampak buruk terhadap krisis iklim.
Aturan insentif bagi penggunaan energi terbarukan harus lebih diutamakan sebagai upaya mencapai target bauran sebesar 23 persen pada 2025. Ini tercantum dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang mengatur insentif secara signifikan baik fiskal maupun nonfiskal bagi konsumen pengguna energi terbarukan.
”RUU ini seharusnya berfokus ke energi terbarukan sehingga dapat menjadi dasar hukum yang kuat dan memberikan kepastian hukum. Selain juga memaksimalkan investasi di bidang energi terbarukan, sebagai bagian dari transisi energi dalam upaya menekan emisi,” ujarnya saat diskusi dan konferensi pers ”Salah Arah RUU EBET” di Jakarta, Senin (6/2/2023).
Menurut Grita, isi RUU EBET yang mencampuradukkan energi fosil, nuklir, dan energi terbarukan dalam satu undang-undang menjadi tidak jelas upaya transisi energi. Sebab, sumber energi baru yang merupakan produk hilirisasi batubara dan PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir) akan memperbesar potensi aset terbengkalai serta tidak signifikan untuk menekan emisi gas rumah kaca (GRK).
Masuknya energi baru justru akan membuat Indonesia terjebak dengan infrastruktur energi fosil.
”Padahal jika dibandingkan dengan sumber energi terbarukan, seperti angin dan matahari, pembangunan dan penggunaan nuklir memerlukan biaya tiga hingga lima kali lebih mahal,” ujarnya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Seorang pranata nuklir dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) membuat pelet dari serbuk uranium untuk dijadikan bahan bakar reaktor nuklir di Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, September 2019.
Sementara Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Hadi Priyanto berpendapat, transisi ke energi bersih dan terbarukan mendesak dilakukan untuk mengatasi krisis iklim yang kian mengancam. Dampak dari krisis iklim di antaranya terlihat dari peningkatan intensitas bencana hidrometeorologi, kenaikan permukaan air laut, dan cuaca ekstrem.
Gasifikasi batubara
Grita menyoroti gasifikasi batubara bukanlah solusi dalam mengatasi krisis iklim karena emisi yang dihasilkan masih lebih tinggi daripada gas alam dan energi terbarukan. Emisi gasifikasi batubara itu hanya lebih rendah daripada batubara konvensional.
Apalagi pengembangan pembangkit listrik dari gasifikasi batubara hanya akan menghasilkan emisi karbondioksida dua kali lipat dibandingkan dengan pembangkit listrik dari gas alam. Selain pencemaran udara, pengembangan energi baru itu berdampak kepada kualitas air.
RHAMA PURNA JATI
Lokasi pembangunan proyek gasifikasi batubara di Kawasan Industri Tanjung Enim, Tanjung Lalang, Tanjung Agung, Muara Enim, Sumatera Selatan, Januari 2022.
Menurut Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia Beyrra Triasdian, produk turunan batubara dalam RUU EBET, seperti gas metana batubara (coal bed methane), batubara tercairkan (liquified coal), dan batubara tergaskan (gasified coal), telah dianggap sebagai energi baru. Padahal, ini jelas menghambat penurunan emisi GRK dan menjadi kemunduran untuk proses transisi energi.
Sumber energi baru, seperti batubara, bukan hanya berisiko tinggi terhadap lingkungan, melainkan juga membebani keuangan negara. Gasifikasi batubara misalnya, kata Beyrra, diperkirakan merugikan negara sebesar 377 juta dolar AS per tahun.
Selain itu, pilihan energi terbarukan seharusnya mendorong transisi energi berkeadilan dan tidak memicu pemanfaatan sumber daya alam yang berpotensi merusak lingkungan. Berry mencontohkan, biomassa pelet kayu memiliki potensi besar deforestasi ketika digunakan untuk memenuhi co-firing PLTU (pembangkit listrik tenaga uap). Hal ini seharusnya tidak direkomendasikan sebagai energi terbarukan.
KOMPAS/WAWAN HADI PRABOWO
Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Aliansi Perlawanan Perubahan Iklim berunjuk rasa di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, awal November 2021.
Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo menambahkan, masuknya energi baru justru akan membuat Indonesia terjebak dengan infrastruktur energi fosil. Hal ini memberikan sinyal bahwa pemerintah tetap mempertahankan energi fosil seperti batubara menjadi lebih lama dalam sistem energi. Padahal, ada energi terbarukan yang sudah siap dan lebih murah untuk dimanfaatkan.
Data Dewan Energi Nasional tahun 2017 mencatat, potensi energi terbarukan yang dimiliki Indonesia untuk ketenagalistrikan mencapai 443 gigawatt (GW), meliputi panas bumi, air dan mikro-mini hidro, energi surya, angin, dan gelombang laut. Potensi tenaga surya memiliki porsi terbesar, yakni lebih dari 207 megawatt (MW), disusul air sebanyak 70 MW dan angin 60 MW.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif dalam rapat kerja Komisi VII DPR bersama pemerintah pada Selasa (24/1/2023) mengungkapkan, pembahasan RUU EBET menjadi langkah penting. Hal ini menyusul terbitnya sejumlah regulasi yang mendorong percepatan pengembangan energi terbarukan, salah satunya Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022.
Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat, dengan pengembangan energi baru terbarukan yang potensinya lebih dari 3.000 gigawatt. ”Setelah disahkan kelak, RUU EBET diharapkan dapat memberi kepastian dan landasan hukum bagi pengembangan energi baru dan terbarukan dan program-program pendukungnya,” katanya (Kompas.id, 3/2/2023).