Subsidi Kendaraan Listrik Perlu Perhatikan Proporsi Komponen Lokal
Subsidi kendaraan listrik di Indonesia perlu mendapatkan dorongan agar tepat sasaran dan memberikan nilai tambah yang tinggi bagi perekonomian. Pengembangan komponen lokal menjadi penting agar dampak subsidi lebih luas.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia diharapkan dapat tumbuh pascakebijakan subsidi yang digulirkan pemerintah. Agar tepat sasaran, kebijakan ini perlu memperhatikan beberapa hal, salah satunya aspek pemenuhan komponen lokal.
Chief Executive Officer Spora EV, perusahaan pembuat kit untuk konversi motor berbahan bakar minyak ke tenaga listrik, Triharsa Adicahya menjelaskan, minat terhadap kendaraan listrik dinilai akan terus tumbuh seiring dengan upaya pemerintah untuk mendorong pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan. Adapun perusahaannya telah mendapat sertifikasi dari pemerintah untuk mengonversi motor konvensional ke tenaga listrik.
”Kami fokus mengembangkan kit untuk konversinya. Kami sudah menandatangani nota kesepahamam (MoU) dengan salah satu perusahaan rintisan yang membawahkan 1.000 bengkel di Jabodetabek. Diharapkan bengkel-bengkel ini menjadi rekanan dalam program konversi ke motor listrik ini,” ucapnya di Tangerang, Banten, Kamis (23/3/2023).
Meski memiliki potensi untuk tumbuh lebih jauh, menurut Triharsa, ada sejumlah kendala dan tantangan dalam mengembangkan motor listrik di Indonesia. Hal mendasar yang menjadi perhatiannya adalah masih minimnya komponen lokal, khususnya bagian krusial seperti sel baterai, yang belum diproduksi di Indonesia.
Hingga kini, mayoritas sel baterai motor listrik masih didatangkan lewat impor. Ketergantungan terhadap hal tersebut harus diatasi, mengingat pemerintah kini meluncurkan program subsidi pembelian kendaraan listrik. Melalui program tersebut, pemerintah hanya akan memberi subsidi bagi produsen kendaraan listrik yang mampu memenuhi proporsi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebesar 40 persen.
Untuk meningkatkan TKDN, pemerintah perlu mengucurkan dana untuk penelitian dan pengembangan (R&D) di dalam negeri, serta menyiapkan cetak biru yang terukur. Triharsa menyebut, R&D yang dilakukan lembaga penelitian dan perguruan tinggi kini masih dilakukan secara sporadis dan belum terkoordinasi.
”Sekarang TKDN-nya belum sampai 40 persen, sel baterai masih banyak diimpor dari China. Produsen lokal membutuhkan bantuan investasi agar lebih bisa mandiri. Investasi juga perlu supaya bisa scale up kapasitas produksi. Kita harus kuasai teknologinya supaya ada nilai tambah,” ucapnya.
Selain hal tersebut, ia berharap agar subsidi juga diiringi dengan skema cicilan kendaraan listrik. Hal ini mengingat target program ini adalah masyarakat menengah ke bawah, yang dinilai masih membutuhkan bantuan pembiayaan.
”Harga motor listrik berkisar Rp 17 juta-Rp 20 juta. Dengan subsidi Rp 7 juta, sepertinya harga yang harus dikeluarkan masih cukup tinggi,” ujarnya.
Selain Spora EV, salah satu bengkel yang mendapatkan izin pemerintah melakukan konversi adalah Elders Garage. CEO Elders Garage Heret Frasthio menjelaskan, pihaknya tengah menunggu aturan detail mengenai skema subsidi yang akan digulirkan pemerintah kepada motor listrik. Aturan detail dibutuhkan untuk memberi kepastian bagi para pengusaha bengkel untuk menetapkan strategi pengembangan ke depannya.
Selain aturan mengenai skema, produsen pun masih menunggu aturan mengenai penghitungan proporsi TKDN. Hal ini dinilai penting untuk memberi kepastian kepada para produsen, mengingat masih tingginya kandungan impor dalam motor listrik lokal.
”Pengumumannya sudah, tapi aturan detailnya masih belum. Produsen dan masyarakat pun jadinya masih wait and see,” katanya.
Efisiensi subsidi
Secara umum, program subsidi dinilai dapat memancing minat masyarakat beralih dari kendaraan BBM ke kendaraan listrik. Meskipun begitu, subsidi harus berkesinambungan dengan program hilirisasi nikel yang dilakukan pemerintah.
Peneliti di Center for Indonesian Policy Studies, Krisna Gupta, menerangkan, pemerintah perlu mematangkan tujuan utama dari program subsidi ini. Bila program ini diarahkan untuk memancing investor melalui penciptaan pasar domestik, tujuan tersebut dinilai kurang tepat. Hal itu disebabkan perkembangan pasar kendaraan listrik dalam negeri masih tertinggal dibandingkan dengan di luar negeri.
”Policy goals pemerintah ini perlu dimatangkan karena investor melihat magnitude pasar global yang lebih besar, sedangkan pasar global sudah sampai 8 juta (kendaraan listrik). Investasi bisa masuk kalau orientasinya adalah ekspor,” ucapnya.
Selain itu, Krisna menyebut, subsidi sebaiknya baru diberikan apabila Indonesia sudah mampu memproduksi sel baterai secara massal. Dengan hal tersebut, subsidi setidaknya dapat memberikan nilai tambah yang lebih tinggi bagi perekonomian di dalam negeri. Hal tersebut juga membuat investor lebih yakin menanamkan modalnya di Indonesia.
”Mengapa subsidi sudah diberikan, tetapi sel baterainya masih belum diproduksi lokal? Subsidi akan lebih baik kalau baterai yang digunakan di kendaraan listriknya adalah memang hasil hilirisasi nikel Indonesia. Harus ada kesinambungan antara dua program ini,” tuturnya.
Ke depan ada sejumlah tantangan yang akan dihadapi Indonesia dalam pengembangan kendaraan listrik, yaitu mencari target pasar di tingkat global.