Subsidi Kendaraan Listrik
Kendaraan listrik menjadi teknologi masa depan yang sangat menjanjikan. Ada dua ekosistem kebijakan yang harus didorong untuk memenuhi kebutuhan kendaraan listrik, yakni kebijakan mobilitas dan kebijakan energi bersih.
Dorongan penggunaan kendaraan listrik adalah kebijakan yang berwawasan lingkungan.
Penggunaan kendaraan listrik (electric vehicles/EV) sebagai pengganti mobil berbahan bakar minyak (BBM) akan mengurangi impor BBM yang semakin mahal.
Tren penggunaan EV di seluruh dunia sangat luar biasa. Dipopulerkan oleh Tesla (yang membuat pendirinya menjadi salah satu orang terkaya dunia), penggunaan EV melesat pesat.
Keunggulan EV
Berdasarkan laporan Badan Energi Internasional (IEA), dari 120.000 mobil listrik di seluruh dunia pada 2012, penjualan pada 2021 meledak menjadi 6,6 juta, membuat jumlah total dari 450-an tipe mobil listrik yang ada saat ini menjadi 16,5 juta unit. Ini tiga kali lipat dari 2018. Sepuluh persen mobil baru di dunia pada 2021 adalah mobil listrik. Satu dari lima mobil yang ada di jalan raya di Norwegia saat ini, misalnya, adalah mobil listrik.
Selain pemasaran dan jenama yang menguat yang disumbangkan Tesla, aspek finansial dan lingkungan mengemuka sebagai sebab membesarnya minat pada EV. Mesin listrik jauh lebih efisien daripada mesin bakar internal (internal combustion engines, ICE) mobil BBM. Demikian pula, dorongan yang sama dihasilkan oleh mesin listrik dengan lebih sedikit energi dibandingkan ICE. Ini membuat biaya energinya lebih murah.
Selain pemasaran dan jenama yang menguat yang disumbangkan Tesla, aspek finansial dan lingkungan mengemuka sebagai sebab membesarnya minat pada EV.
Di Indonesia, konsumsi BBM untuk kendaraan disubsidi besar-besaran. Dari sebelumnya Rp 150-an triliun, subsidi pada 2022 disetujui hingga lebih dari Rp 500 triliun, hampir seperempat anggaran tahunan pemerintah. Itu pun mungkin membengkak hingga Rp 700 triliun, jika harga BBM yang terus meningkat sejak dimulainya perang di Eropa tak dinaikkan.
Penggunaan EV akan mengurangi penggunaan BBM secara drastis, dan juga mengurangi beban subsidi yang besar itu.
EV juga akan meningkatkan konsumsi listrik. Di Jawa, di mana penjualan EV diperkirakan paling banyak, PLN mengalami kelebihan pasokan hingga lebih dari 25 persen. Konon karena ketidaktepatan perhitungan perkiraan permintaan listrik. Karena adanya perjanjian take-or-pay dengan pemasok listrik swasta—di mana PLN harus membeli pasokannya, terlepas dari apakah bisa dijual kembali ke konsumen atau tidak—kelebihan pasokan ini menggerus kesehatan keuangan PLN.
Padahal, sebagian dari listrik swasta ini dibeli dengan harga cukup tinggi yang mengharuskan PLN mendapat subsidi dari pemerintah. Penambahan konsumsi listrik dari semakin banyaknya EV akan menyerap kelebihan pasokan listrik PLN ini.
ilustrasi
Mesin listrik juga lebih bersih; tak mengeluarkan gas buang seperti mobil BBM. Dengan demikian, udara di kota-kota besar menjadi lebih bersih dan sehat. Emisi gas rumah kaca juga hampir nihil. EV menjadi teknologi masa depan yang sangat menjanjikan. Menariknya, janji EV ini membuat dana publik yang digunakan untuk mendorong penggunaannya di dunia, menurut IEA, amat sangat besar.
Pada 2021, dana publik yang diberikan untuk EV sebagai subsidi mencapai 30 miliar dollar AS (sekitar Rp 450 triliun), atau hampir Rp 70 juta per mobil.
Di Indonesia, EV mulai dipasarkan dengan dukungan pemerintah yang cukup kuat. Mulai muncul aturan untuk memenuhi kebutuhan kendaraan pemerintah dengan EV. Penggunaan EV sebagai angkutan utama delegasi di perhelatan G20 Bali lalu menegaskan komitmen pemerintah mendorong penggunaan EV di Indonesia.
Hasilnya, penjualan EV naik drastis. Januari-September 2022, penjualan EV berbaterai (tak termasuk EV hibrida) mencapai 3.800 unit. Dari hanya 36 unit pada Januari 2022, EV yang terjual pada September 2022 mencapai 2.000 unit, dan tampaknya akan terus meningkat.
Baca juga : Melirik Keuntungan Kendaraan Listrik
Peningkatan ini akan dilipatgandakan lagi dengan memberikan insentif fiskal yang menarik. Baru-baru ini mulai terdengar wacana untuk memberikan subsidi cukup besar untuk EV, yaitu Rp 80 juta untuk EV baterai, Rp 40 juta untuk hibrida (gabungan listrik dan BBM), dan Rp 6,5 juta untuk motor listrik). Nilai subsidi ini tak terlalu jauh dari nilainya di negara-negara lain di dunia. Ini adalah kebijakan yang bagus, tentu saja.
Ekosistem kebijakan
Ada dua ekosistem kebijakan di mana EV berada, yakni kebijakan mobilitas dan kebijakan energi bersih. Kebijakan EV harus berada di dalam kedua kebijakan itu secara komprehensif.
EV adalah kendaraan pribadi. Dalam kebijakan mobilitas yang baik, itu adalah rantai terakhir.
Pertama, mobilitas harus dilakukan seminimum mungkin. Hanya bila perlu dan dalam jarak tak terlalu jauh. Itu sebabnya, banyak kota besar dunia mencanangkan target mobilitas dengan satuan waktu: 15 menit untuk Paris, misalnya. Mobilitas harus dipertimbangkan dengan saksama dalam desain kota.
ilustrasi
Kedua, kalaupun dibutuhkan mobilitas, prioritasnya adalah berjalan kaki, bersepeda, ataupun bentuk mobilitas lain yang tak bermesin yang efisien.
Ketiga, jaringan kendaraan umum yang masif dan efisien harus dikembangkan agar siapa pun bisa mencapai tempat di mana pun dengan berkendaraan umum. Ini termasuk kendaraan umum di atas rel, seperti kereta, MRT, LRT, serta bus kota, dan sebagainya. Kendaraan pribadi pilihan paling belakang, dan saat pilihan itu diambil, itu haruslah pilihan yang baik, seperti EV.
Ekosistem kebijakan kedua adalah kebijakan energi bersih. EV dianggap sebagai kebijakan energi ”dua langkah”. Elektrifikasi sektor transportasi akan membuat sistem energi bisa mencapai emisi nol saat sistem kelistrikan dipasok oleh sumber yang seluruhnya bersih.
Tanpa elektrifikasi, BBM yang dikonsumsi sektor transportasi masih akan mengeluarkan emisi walau jaringan listrik telah sepenuhnya bersih. Namun, ini juga berarti sistem kelistrikan harus bertransisi jadi lebih bersih. Sayangnya, dengan dua pertiga dipasok pembangkit batubara, sistem kelistrikan kita masih sangat padat karbon.
Sayangnya, dengan dua pertiga dipasok pembangkit batubara, sistem kelistrikan kita masih sangat padat karbon.
Dengan demikian, penggunaan EV hanya memindahkan pencemaran dari sektor transportasi ke sektor listrik, dan memindahkannya dari pusat- pusat kota ke pinggiran, di mana pembangkit listrik batubara dan bahan bakar fosil lain berada.
Kebijakan untuk mencapai emisi net zero di 2060 atau lebih awal dan kebijakan untuk memensiun-awalkan beberapa pembangkit batubara bisa mengurangi emisi dan polutan pembangkitan listrik di Indonesia jika dilaksanakan dengan lancar dan efektif. Kalau tidak, kita hanya memindahkan masalah, bukan menguranginya.
Jadi, untuk membuat kebijakan EV ini berada di dalam ekosistem kebijakan yang lebih komprehensif, kebijakan lain yang lebih utama mengenai mobilitas dan energi bersih harus sama-sama didorong.
Agus Sari Pengamat Lingkungan, CEO Landscape Indonesia