Kerja Sama Investasi Energi Bersih Indonesia-Jepang Perlu Ditingkatkan
Jepang menjadi salah satu mitra investasi potensial bagi Indonesia untuk mencapai target ”net zero emissions” tahun 2060. Investasi sebesar 700 miliar dollar AS dibutuhkan untuk memenuhi target tersebut.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Deretan kincir angin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo I di Jeneponto, Sulawesi Selatan, Minggu (23/6/2019).
JAKARTA, KOMPAS —Transisi energi terbarukan Indonesia dihadapkan pada target pemerintah untuk bisa memensiunkan pembangkit listrik batubara sesegera mungkin, tetapi harus memenuhi kebutuhan listrik yang diprediksi akan terus naik hingga 2037 mendatang. Investasi besar di bidang energi terbarukan dibutuhkan untuk menyiasati dan menjembatani transisi tersebut.
Jepang dapat menjadi mitra potensial untuk memenuhi kebutuhan investasi energi terbarukan di Indonesia, salah satunya melalui pendanaan lewat program Asian Zero Emission Community (AZEC) senilai 500 juta dollar AS. Apalagi, perbankan Jepang memang tercatat menjadi pendana transisi energi terbesar di kawasan Asia.
Dalam acara Renewable Energy Investment Forum 2023, Jumat (3/3/2023), Direktur Transmisi dan Perencanaan Sistem Perusahaan Listrik Negara (PLN) Evy Haryadi menjelaskan, pihaknya berkomitmen untuk melakukan transisi energi fosil menuju energi terbarukan agar mampu memenuhi target nol emisi pada 2060. Meski demikian, transisi perlu dilakukan bertahap, khususnya untuk mengganti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.
”Kontribusi batubara terhadap pemenuhan kebutuhan listrik nasional akan mulai turun tahun 2030, yaitu menjadi 46 persen. Lalu, tahun 2040 turun menjadi 13 persen, tahun 2050 turun menjadi 3 persen, dan 2060 menjadi 0 persen,” ujarnya.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Ilustrasi aktivitas penambangan batubara
PLN memprediksi ketergantungan terhadap PLTU batubara baru akan menurun pada tahun 2030 seiring dengan hadirnya pembangkit listrik ramah lingkungan, seperti dari nuklir, angin, tenaga surya, panas bumi, biomassa, dan teknologi lainnya. Untuk pembangkit listrik tenaga nuklir, PLN menargetkan teknologi tersebut akan mulai diimplementasikan pada 2040.
Di tengah rencana PLN memensiunkan PLTU batubara secara bertahap, pada saat yang sama permintaan terhadap tenaga listrik akan terus meningkat seiring perkembangan penduduk dan industri.
Pada tahun 2030, PLN mencatat akan ada permintaan tambahan tenaga listrik sebesar 44,3 gigawat. Permintaan ini akan naik hampir dua kali lipat pada tahun 2037, dengan kebutuhan tambahan 80 gigawat.
Untuk itu, investasi besar dibutuhkan agar Indonesia tetap dapat melakukan transisi energi dengan baik sembari tetap bisa memenuhi penambahan kebutuhan listrik. Apalagi, PLN telah membatalkan rencana pembangunan PLTU batubara dengan kapasitas 14,2 gigawatt, yang sempat masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028.
”Indonesia membutuhkan dana investasi sebesar 700 miliar dollar AS untuk membangun kapasitas itu demi mencapai target nol emisi tahun 2060. Sampai tahun 2030, kita harapkan bisa membangun pembangkit listrik dari energi terbarukan sebesar 20,9 gigawatt,” kata Evy dalam paparannya.
Tantangan pengembangan
Deputi Bidang Internasional Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang Izuru Kobayashi menjelaskan, Indonesia menghadapi beberapa tantangan dalam upaya transisi energi, khususnya apabila ingin memanfaatkan angin dan tenaga surya.
Mengutip Global Wind Atlas, Izuru menerangkan, potensi pembangkit listrik tenaga angin di Indonesia tidak sebesar negara-negara di Eropa, terutama dalam memanfaatkan tenaga angin dari laut (offshore wind). Di sektor tenaga surya, Indonesia juga tidak memiliki daerah gersang (arid land) yang memadai untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya yang besar, berbeda dengan beberapa negara di Timur Tengah dan utara Afrika.
”Sulit untuk Jepang dan Indonesia membangun pembangkit listrik dari tenaga ini. Namun, potensinya tetap bisa dimaksimalkan,” ujarnya.
Meskipun sulit memanfaatkan potensi angin dan tenaga surya, Indonesia dinilai memiliki kesempatan besar untuk mengembangkan tenaga listrik dari panas bumi, air, dan biomassa. Hal itu bisa dicapai karena kondisi alam Indonesia yang mendukung ketiga hal tersebut.
Pihaknya pun siap mendukung upaya Indonesia dan negara lain di Asia untuk bertransisi melalui program Asia Zero Emission Community. Bantuan tidak hanya akan diberikan dalam bentuk pendanaan, tetapi juga pelatihan untuk pengembangan teknologi yang ramah lingkungan.
Senior Deputy Head of Sustainability Division Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC) Tadahiro Kaneko menambahkan, industri perbankan Jepang aktif memberikan pendanaan kepada negara-negara di Asia Pasifik untuk membangun energi bersih. Hal ini sejalan dengan kebijakan Jepang untuk meningkatkan investasi di bidang energi terbarukan sebesar delapan kali lipat hingga 10 tahun mendatang, lewat Project GX (Green Transformation).
Mengutip IJ Global, Tadahiro menyebutkan, tiga bank dari Jepang menjadi institusi pendanaan proyek energi bersih terbesar di Asia Pasifik, yaitu Mitsubishi UFJ Financial Group sebesar 1,5 miliar dollar AS, Sumitomo Mitsui Financial Group 1,2 miliar dollar AS, dan Mizuho Financial Group sebesar 1,1 miliar dollar AS. Untuk itu, peluang pendanaan dari perbankan Jepang masih terus terbuka.
”Di Indonesia per September 2022, SMBC telah berinvestasi sebesar 221 juta dollar AS dengan kapasitas terbangun sebesar 983 megawatt,” katanya.