Stabilitas Ekonomi Prasyarat Stabilitas Politik di Tahun Pemilu
Permasalahan harga pangan dan ketimpangan bisa menjadi isu yang dimainkan untuk membuat gaduh suasana di tahun menjelang pemilu. Pemerintah perlu mengawal isu ini dengan tuntas agar ekonomi dan politik tetap stabil.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Isu-isu ekonomi, seperti soal tingginya harga pangan dan ketimpangan pendapatan, dinilai menjadi hal-hal yang mudah disulut untuk membuat situasi menjadi panas di tahun politik atau menjelang pemilu. Pemerintah dan politisi diharapkan bisa memperjuangkan penyelesaian masalah-masalah tersebut agar situasi ekonomi dan politik stabil tahun ini.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Erani Yustika berpendapat, di tahun politik ini, isu mengenai stabilitas harga barang kebutuhan pokok serta masalah ketimpangan menjadi isu yang mudah disulut oleh pihak-pihak tertentu yang ingin membuat suasana menjadi panas dan gaduh.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Hal itu mengingat isu-isu tersebut sangat dekat dengan ’perut’ rakyat karena berkenaan dengan pemenuhan bahan kebutuhan pokok dan kelangsungan hidup warga. Oleh karena itu, stabilitas politik di tahun menjelang pelaksanaan pemilu akan sangat dipengaruhi oleh stabilitas di bidang ekonomi.
”Pemerintah harus menjaga ekonomi kokoh, bukan semata soal kebutuhan pokok, tetapi karena di tahun politik ini, masalah harga ini menjadi faktor penyulut yang mudah memanaskan suasana politik,” ujarnya pada diskusi ”Tantangan Ekonomi di Tahun Pemilu” di Jakarta, Kamis (2/3/2023).
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) per 1 Maret 2023, inflasi Indonesia masih cukup tinggi, yakni di angka 5,47 persen secara tahunan (yoy). Inflasi ini terjadi karena adanya kenaikan harga bahan pokok yang ditunjukkan oleh naiknya sebagian besar indeks kelompok pengeluaran masyarakat, seperti makanan, minuman, listrik, dan bahan bakar.
Sementara itu, secara tahun kalender, inflasi Februari 2023 tercatat 0,5 persen dan secara bulanan 0,16 persen. Angka itu masih di bawah target pemerintah dan Bank Indonesia sebesar 4-5 persen di semester I-2023. Namun, kenaikan harga berpotensi menggerus daya beli masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah bersama pelaku sektor swasta dan masyarakat harus bisa mengawal agar harga barang kebutuhan tidak terus naik.
Selain permasalahan inflasi, sistem produksi yang belum optimal dan distribusi modal yang belum meluas perlu mendapat perhatian. Erani menjelaskan, hal tersebut masih terjadi karena masih minimnya arus modal dan investasi ke masyarakat bawah, khususnya di sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Selain itu, permasalahan kepemilikan lahan juga menghambat penyelesaian masalah ketimpangan.
Di sisi permodalan, industri keuangan, khususnya bank milik negara, harus berani menyalurkan kredit yang lebih masif kepada UMKM. Porsi penyaluran kredit perbankan ke sektor UMKM sendiri masih sekitar 20 persen dari total kredit atau masih di bawah target yang ditetapkan pemerintah, yakni 30 persen pada 2024. (Kompas.id, 19/2/2023).
”Masalah ketimpangan ini bisa memicu instabilitas politik dan penyelesaiannya perlu keberanian politik. Perbankan harus menyalurkan kredit lebih banyak lagi ke masyarakat di bawah,” ujarnya.
Ekonom senior Indef, Aviliani, menjelaskan, UMKM memang menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Meskipun begitu, pertumbuhan UMKM masih berkutat di sektor perdagangan sehingga sulit tumbuh. Agar bisa berkembang, UMKM harus diarahkan agar ikut dalam rantai pasok produksi dari perusahaan-perusahaan yang besar.
”Model bisnis UMKM harus diubah. Jangan hanya berbicara soal penyaluran saja, tetapi diubah bagaimana ada hilirisasi antara perusahaan-perusahaan besar dan UMKM,” ujarnya.
Masalah pangan
Selain modal, problem terkait pangan menjadi salah satu isu ekonomi yang perlu diselesaikan di tahun politik. Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bustanul Arifin menerangkan, kondisi iklim ekstrem yang diprediksi terjadi di tahun 2023 dapat menekan produksi beras. Selain itu, harga pupuk yang tinggi yang dipengaruhi kondisi geopolitik juga menjadi faktor yang bisa menekan produksi beras.
Terkait harga pupuk, ia menyebut reformasi di bidang penyaluran pupuk subsidi akan segera dilakukan di tahun 2023. Perhepi sedang mengkaji mengenai hal tersebut dan sedang menyusun proyek pilot di beberapa daerah.
Produksi beras yang tertekan akibat kondisi iklim berdampak pada masih tingginya harga beras. Harga beras per Februari 2023 tercatat di angka Rp 13.200 per kilogram. Angka ini terus naik sejak akhir tahun 2022 yang semula di posisi Rp 11.700 per kilogram. Khusus beras kualitas medium naik menjadi Rp 13.050 per kilogram dari posisi bulan Desember 2022 sebesar Rp 11.500 per kilogram.
Badan Pusat Statistik menyebut kenaikan ini terjadi karena banyaknya areal persawahan di Pulau Jawa yang tergenang banjir.
”Harga beras yang tinggi itu sangat sensitif secara politik ketimbang harga gabah rendah di petani. Sebenarnya, kalau petani dengar, pasti mereka marah. Harus ada reformasi di bidang penyaluran pupuk dan terobosan teknologi bidang pertanian agar produksi tidak hanya mengandalkan musim,” kata Bustanul.
Bustanul menerangkan, tingginya harga beras dan kebutuhan pokok lainnya menimbulkan permasalahan kemampuan daya beli masyarakat dalam memenuhi kebutuhan gizi. Hasilnya, mengutip penelitian Barry Popkin tahun 2020, Bustanul menjelaskan, Indonesia menjadi negara dengan tingkat gizi buruk yang cukup tinggi di dunia. Ia menyebut, hal tersebut merupakan manifestasi dari masih belum optimalnya sistem pengelolaan dan pengadaan pangan pemerintah.
”Pangan sehat kita sangat mahal. Maka, di tahun politik inilah, harusnya para politisi melihat isu ini sebagai permasalahan serius yang harus diselesaikan. Mau menyehatkan warga atau tidak? Kita perlu penguatan kelembagaan secara struktural dan kultural,” ucapnya.