Proyek smelter ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak negara serta menyerap lebih dari 6.000 tenaga kerja lokal pada fase konstruksi dan sekitar 1.500 tenaga kerja lokal pada fase operasi.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Adaro Minerals Indonesia Tbk tengah membangun smelter aluminium senilai Rp 30,5 triliun guna mendukung program hilirisasi industri sumber daya alam. Adaro Minerals menargetkan proyek smelter tersebut dapat rampung pada 2025 mendatang.
Dalam peninjauan perkembangan pembangunan smelter aluminium yang dihadiri Presiden Joko Widodo, Presiden Direktur PT Adaro Minerals Indonesia Tbk Christian Ariano Rachmat mengatakan, proyek tersebut sejalan dengan visi dan misi pemerintah untuk melakukan hilirisasi mineral Indonesia agar memberikan nilai tambah dan mendongkrak pendapatan devisa negara.
Proyek tersebut diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi Indonesia untuk mengurangi impor aluminium, memberikan proses dan nilai tambah terhadap alumina. Selain itu juga dapat meningkatkan penerimaan pajak negara serta menyerap lebih dari 6.000 tenaga kerja lokal pada fase konstruksi dan sekitar 1.500 tenaga kerja lokal pada fase operasi.
”Kami terus bekerja keras untuk mencapai target commercial operation date (COD) yang direncanakan pada semester pertama tahun 2025,” kata Christian dalam keterangan resmi, Kamis (2/3/2023).
PT Kalimantan Aluminium Industry (KAI) yang merupakan anak perusahaan grup PT Adaro Minerals Indonesia Tbk membangun smelter aluminium di lahan seluas 600 hektar dengan kapasitas produksi aluminium pada fase pertama sebanyak 500.000 ton.
Dalam tahapan proses produksi dan pengembangan selanjutnya, smelter aluminium Adaro akan memanfaatkan energi terbarukan dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan standar konstruksi modern yang ramah lingkungan.
Hingga saat ini, perkembangan pembangunan smelter aluminium meliputi pembuatan master plan dan detailed engineering design. Perizinan lingkungan juga telah dilakukan sejak Desember 2021 dengan perluasan izin lingkungan untuk kegiatan pelabuhan.
Tahapan prakonstruksi aluminium smelter telah berjalan, seperti beberapa long lead items serta pembangunan jetty untuk kebutuhan konstruksi. Alat-alat berat dan material juga telah masuk ke lokasi proyek untuk pelaksanaan konstruksi. Selain itu, peralatan utama pembangkit listrik untuk mendukung operasi aluminium di tahap pertama sedang dalam proses fabrikasi.
Christian menambahkan, upaya Kalimantan Aluminium Industry dalam meningkatkan ketersediaan aluminium adalah untuk meningkatkan daya saing produk sumber daya alam di Indonesia. Harapannya, smelter aluminium tersebut turut membantu pemerintah dalam mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.
Secara terpisah, pakar hukum pertambangan dari Universitas Tarumanagara, Ahmad Redi, mengungkapkan, secara hukum, perusahaan tambang wajib melakukan pemurnian komoditas tambangnya di Indonesia sesuai amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam konteks sosial ekonomi, mineral tidak hanya menjadi komoditas tambang dan tidak hanya diekspor sebagai bahan mentah, tetapi dapat menjadi komoditas yang sudah diindustrialisasi dengan produk-produk olahan. Komoditas itu dapat memiliki nilai tambah dan nilai jual 3-4 kali lipat.
Ketika industri smelter terbangun, lanjut Ahmad, ada penerimaan tenaga kerja baru, perluasan lapangan pekerjaan, tambahan penerimaan negara dan daerah, dan pertumbuhan pusat industri yang berdampak pada pembangunan daerah. Ia pun mendukung pembangunan smelter aluminium Adaro karena hal itu merupakan kewajiban hukum, sosial ekonomi, dan konstitusi sehingga harus dipermudah.
”Bauksit yang diolah menjadi alumina, kemudian aluminium, merupakan hal yang cukup luar biasa bagi pembangunan industri hilir Indonesia. Peningkatan nilai tambahnya tinggi. Bauksit ke alumina saja peningkatannya sudah tinggi. Apalagi dari bauksit hingga aluminium,” ucapnya.
Sementara itu, dalam laporan kinerja keuangan, PT Adaro Minerals Indonesia Tbk mencatatkan laba perusahaan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) operasional naik 98 persen dari 248 juta dollar AS pada 2021 menjadi 490 juta dollar AS pada 2022. Laba inti juga naik 113 persen menjadi 342 juta dollar AS pada 2022 dari 161 juta dollar AS pada 2021.