Ketidakpastian Ekonomi Bisa Berdampak ke Performa Pekerja
Stres keuangan yang salah satunya dipengaruhi oleh ketidakpastian makro-ekonomi diyakini bisa menurunkan performa pekerja. Namun, kesehatan keuangan pekerja formal di Indonesia masih sangat rentan gangguan mendadak.
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Para pencari kerja memadati Manado Job Fair 2022 yang digelar di kantor Dinas Pariwisata Manado, Sulawesi Utara, Jumat (18/11/2022). Jumlah peserta mencapai ribuan, tetapi lowongan yang tersedia hanya 700.
JAKARTA, KOMPAS — Ketidakpastian kondisi ekonomi diyakini bisa memengaruhi penurunan produktivitas dan performa pekerja. Apalagi jika hal itu diikuti dengan banyaknya pengeluaran tidak terduga yang membebani kondisi finansial pekerja.
Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Komunikasi dan Informatika Firlie H Ganinduto saat menghadiri ”EWA Datang, Rentenir Meradang?” di Jakarta, Selasa (28/2/2023). Di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi, akan muncul perasaan khawatir dan stres tinggi di kalangan pekerja, termasuk ketakutan menghadapi potensi pemutusan hubungan kerja.
Mengutip salah satu penelitian PwC, dia menyebutkan bahwa keuangan selalu menjadi hal yang paling menonjol bagi karyawan. Hal itu secara tidak langsung juga mengganggu produktivitas pekerjaannya hingga menimbulkan kerugian secara langsung.
Dari karyawan yang melaporkan stres keuangan, PwC menyebutkan, 12 persen kehilangan pekerjaan karena masalah itu dan 31 persen di antaranya merasa bahwa produktivitas mereka terpengaruh.
”Perang Rusia-Ukraina menyebabkan ekspor industri padat karya melambat. Sejumlah negara melakukan pengetatan keuangan untuk memulihkan dirinya dari pandemi Covid-19. Di Indonesia sendiri, gelombang PHK telah terjadi dari tahun 2022 dan menimpa bukan hanya sektor padat karya, tetapi juga perusahaan teknologi yang mengandalkan investasi dari luar negeri,” ujar Firlie.
Peneliti Center of Digital Economy and Small Medium Enterprises di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Izzudin Al Farras, menyampaikan bahwa Bank Dunia pernah meneliti mengenai ketahanan cadangan keuangan pekerja formal di Indonesia tahun lalu. Untuk ketahanan cadangan keuangan tujuh hari, misalnya, temuan Bank Dunia menunjukkan, hanya 32,75 persen responden pekerja di Indonesia yang mampu menyediakannya. Persentase ini di bawah rata-rata global, yaitu 40 persen.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga, pencapaian ketahanan cadangan keuangan pekerja formal Indonesia itu juga lebih rendah. Dia mencontohkan Malaysia, Myanmar, dan Thailand yang memiliki persentase 39 persen sampai di atas 40 persen.
Hal itu berarti kesehatan keuangan pekerja sektor formal Indonesia masih sangat rentan, khususnya apabila terdampak gangguan finansial yang mendadak.
”Hal itu berarti kesehatan keuangan pekerja sektor formal Indonesia masih sangat rentan, khususnya apabila terdampak gangguan finansial yang mendadak,” kata Izzudin.
Sebagian besar pekerja umumnya memanfaatkan dana darurat dari keluarga. Ada pula pekerja yang mengambil dari pendapatan dari bekerja, tabungan, dan menjual aset.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Para pencari kerja mengantre ke tempat pameran bursa kerja atau Job Fair di CSB Mall, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (27/7/2022). Kegiatan dalam rangka Hari Jadi Ke-653 Kota Cirebon tahun itu menyediakan 1.300 lowongan pekerjaan dari sektor perhotelan, perbankan, hingga perindustrian.
Country Head GajiGesa Indonesia Ade Yuanda Saragih mengatakan, sekitar 50 juta orang bekerja di sektor formal di Indonesia dan 60 persen di antaranya masih ada yang berpenghasilan di bawah Rp 4 juta per bulan. Mereka ini kerap diklasifikasikan sebagai pekerja kerah biru yang cukup rentan karena kebanyakan hidup dari tanggal gajian ke tanggal gajian.
”Mereka juga relatif rawan terjebak iming-iming pinjaman daring (pinjol) ilegal. Hal ini akan mendorong tekanan keuangan baru bagi pekerja,” kata Ade.
Kemudian, sesuai survei Indef kepada 385 pekerja, Izzudin menyebutkan, sebanyak 78,9 persen responden menyatakan kebutuhan mendesak yang paling sering terjadi berkaitan dengan keluarga dan 37,6 persen berhubungan dengan masalah kesehatan. Untuk mengatasi keperluan mendadak itu, 68,8 persen responden menyatakan menginginkan ada benefit keuangan dari tempat bekerja. Misalnya, earned wage access (EWA) atau program kesehatan finansial yang memungkinkan karyawan mengakses gaji mereka secara fleksibel.
Meski EWA diyakini bisa menurunkan stres keuangan, penerapan program ini juga memiliki tantangan.
Meski EWA diyakini bisa menurunkan stres keuangan, penerapan program ini juga memiliki tantangan. Salah satunya adalah tingkat literasi keuangan pekerja yang memengaruhi cara mereka mengelola keuangan. Sesuai laporan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan pada 2022, tingkat literasi keuangan 49,68 persen dan tingkat inklusi keuangan 85,1 persen.
Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan M Reza Hafidz mengatakan, regulasi pengupahan terangkum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Mengacu regulasi ini, upah memungkinkan untuk dapat dibayarkan bulanan ataupun harian.
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2022. Sumber: Otoritas Jasa Keuangan
”Secara norma, kemunculan EWA sebenarnya tidak ada masalah. Cuma, jika transaksinya melalui platform digital, kami rasa hal itu seharusnya dibicarakan dengan OJK,” tuturnya.
Dalam menghadapi dinamika ketidakpastian kondisi ekonomi global, pemerintah sebenarnya mengupayakan berbagai cara membantu pekerja, misalnya bantuan subsidi upah dan jaminan kehilangan pekerjaan.