Penetrasi Sambungan Jaringan Tetap Telekomunikasi Baru Mencapai 30 Persen
Harga minimal kabel fiber optik telekomunikasi untuk darat sekitar Rp 10 juta per kilometer. Sementara harga minimal kabel fiber optik telekomunikasi untuk laut bisa lima kali lebih mahal.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penetrasi sambungan jaringan tetap telekomunikasi belum ada kemajuan signifikan. Sampai saat ini, penetrasinya baru mencapai 30 persen atau menyentuh 150 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia. Mahalnya investasi pembangunan dan pengoperasian kabel fiber optik telekomunikasi dinilai jadi penyebab rendahnya penetrasi.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) Jerry Mangasas Swandy menyampaikan hal tersebut dalam diskusi ”UGM Comparative Digital Policies” yang diselenggarakan secara hibrida, Selasa (21/3/2023), di Jakarta. Dia menggambarkan, harga minimal kabel fiber optik telekomunikasi untuk darat sekitar Rp 10 juta per kilometer. Sementara harga minimal kabel fiber optik telekomunikasi untuk laut bisa lima kali lebih mahal.
”Kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang mengharuskan operator telekomunikasi membayar sewa pemanfaatan jalan menambah beban pengeluaran,” ujar Jerry.
Menurut Jerry, ongkos regulasi sewa itu sudah termasuk saat operator telekomunikasi baru membangun sampai mengoperasikan jaringan. Kota Surabaya, Yogyakarta, Mojokerto, Kabupaten Sidoarjo, dan Gresik telah mengeluarkan peraturan sewa jaringan utilitas (gorong-gorong) kepada operator telekomunikasi. Kota Depok dan Bogor dikabarkan segera menyusul menerapkan peraturan yang sama.
Kemudian, Kota Pasuruan, Tangerang, dan Dinas Pekerjaan Umum Jawa Timur memungut retribusi jaringan utilitas. Selanjutnya, ada 10 daerah yang memberlakukan sewa/retribusi atas pemanfaatan sarana jaringan utilitas terpadu (SJUT). Sebagai contoh, DKI Jakarta, Kota Semarang, Makassar, Medan, dan Kabupaten Badung.
Di luar itu, masih ada ongkos regulasi yang mesti dibayar operator telekomunikasi untuk membangun dan mengoperasikan jaringan. Misalnya, saat penggelaran jaringan telekomunikasi di lahan sekitar rel kereta api. Jerry menyebutkan bahwa setiap tahun relatif terjadi peningkatan biaya penggunaan lahan di kawasan itu.
Menurut Jerry, penerapan mekanisme sewa seperti itu sebenarnya tidak salah karena ada dasar hukumnya. Untuk pemerintah daerah, misalnya, landasan hukumnya adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.
”Hanya saja, jika semua komponen ongkos tersebut dimasukkan ke dalam penghitungan harga jual layanan ke konsumen, maka nilainya akan mahal. Kami akhirnya menyiasati dengan subsidi silang. Kami juga mempertimbangkan permintaan pasar ketika membangun (jaringan) baru,” katanya.
Anggota Komisi Komunikasi dan Edukasi dari Badan Perlindungan Konsumen Indonesia, Heru Sutadi, berpendapat, konsumen sekarang peduli tentang ketersediaan layanan internet yang berkualitas dan luas. Mereka juga cenderung menghiraukan tarif layanan. Rata-rata rumah tangga di Indonesia hanya sanggup mengeluarkan biaya untuk internet Rp 150.000 - Rp 200.000 per bulan.
Adanya pandemi Covid-19 dan sesudahnya membuat kebutuhan akses internet meningkat, termasuk rumah tangga. Apalagi, pola bekerja hibrida masih tetap berjalan. Hal ini mendorong permintaan sambungan jaringan tetap telekomunikasi ke rumah-rumah naik.
Harmonisasi aturan
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Henry Darmawan Hutagaol, mengatakan, sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, kabel telekomunikasi termasuk lingkup pelayanan publik. Kemudian, sesuai UU No 2/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No 38/2004 tentang Jalan, setiap jalan harus memiliki bagian-bagian yang merupakan ruang untuk mobilitas, konstruksi, keperluan peningkatan kapasitas, dan keselamatan pengguna jalan.
Jika mengacu pada dua regulasi itu, lanjut Henry, pemerintah pusat dan daerah perlu duduk bersama melakukan harmonisasi. Tujuannya, agar segera ada percepatan penetrasi sambungan jaringan telekomunikasi sesuai tuntutan kebutuhan konsumen.
”Kita punya isu hukum. Jaringan telekomunikasi dianggap punya keistimewaan karena layanan publik atau obyek pengenaan pungutan daerah,” ujar Henry.
Sementara itu, Kepala Seksi Penyusunan dan Penyelarasan Rancangan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Ferry Gunawan mengakui, di Indonesia terdapat kelebihan regulasi. Total ada 42.000 peraturan mulai dari UU hingga peraturan daerah. Beberapa di antaranya saling bertentangan dan tumpang-tindih.
Permasalahan itu telah coba diselesaikan dengan dikeluarkannya UU No 13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Substansi utamanya adalah penyusunan regulasi, baik di tingkat pusat maupun daerah, harus melibatkan unsur terkait. Meski demikian, dia mengakui masih menemui adanya ego sektoral.
Solusi lain adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 2/2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Untuk penggelaran jaringan telekomunikasi, Pasal 34A Ayat (2) Perppu Cipta Kerja mengamanatkan pemerintah pusat dan daerah dapat berperan serta menyediakan fasilitas bersama infrastruktur pasif telekomunikasi untuk digunakan penyelenggara telekomunikasi secara bersama dengan biaya terjangkau. Infrastruktur pasif yang dimaksud bisa berupa jaringan utilitas.