Hilirisasi komoditas perikanan dinilai membuka peluang pasar baru di tengah perlambatan permintaan akibat resesi ekonomi global. Butuh kolaborasi seluruh pemangku kepentingan guna menggarap peluang hulu-hilir sektor itu.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ancaman resesi ekonomi global terhadap sektor perikanan dinilai perlu diantisipasi dengan sejumlah strategi. Strategi itu antara lain dengan mendorong diversifikasi produk dan pasar, termasuk menggarap pasar dalam negeri. Peluang pasar premium produk perikanan di dalam negeri mulai dilirik pelaku usaha.
Direktur Pemasaran Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Erwin Dwiyana mengemukakan, resesi global terindikasi dari perlambatan pertumbuhan ekonomi (PDB) pada beberapa negara tujuan utama ekspor perikanan Indonesia. Perlambatan ekonomi diproyeksikan menurunkan permintaan. Negara tujuan utama ekspor perikanan Indonesia antara lain Amerika Serikat (AS), Jepang, serta negara-negara Uni Eropa dan ASEAN.
Dia mencontohkan, pertumbuhan impor produk perikanan oleh AS selama Juni-November 2022 turun dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2021. AS merupakan negara tujuan ekspor terbesar produk perikanan asal Indonesia.
Erwin menambahkan, di tengah perlambatan ekonomi di pasar-pasar utama ekspor perikanan, Indonesia perlu melakukan diversifikasi pasar, termasuk menggarap pasar dalam negeri. Indonesia juga bisa meningkatkan ekspor perikanan ke Australia, Korea Selatan, dan Arab Saudi. Salah satu targetnya adalah katering jemaah haji Indonesia ke Arab Saudi pada April 2023.
Di sisi lain, terbuka peluang pengembangan pasar produk perikanan di dalam negeri. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), penyerapan produk perikanan di pasar domestik meningkat dua tahun terakhir, yakni dari 12,66 juta ton pada 2021 menjadi 13,11 juta ton pada 2022. Komoditas perikanan budidaya yang paling diminati antara lain tilapia, lele, dan bandeng, sedangkan produk perikanan tangkap yang diminati adalah tongkol-tuna-cakalang, kembung, dan teri.
”Kalau kita melihat peluang, ketika resesi mungkin terjadi di beberapa negara utama, maka kita harus melirik pasar dalam negeri,” kata Erwin dalam Bincang Bahari yang mengupas ”Peta Sektor Kelautan dan Perikanan di Tengah Ancaman Resesi” yang digelar secara hibrida dari Media Center KKP di Jakarta, Selasa (21/2/2023).
Direktur Pengembangan dan Pengendalian Usaha ID Food Dirgayuza menambahkan, tantangan yang dihadapi pelaku usaha di tengah ancaman resesi global antara lain regulasi atau perubahan regulasi, dorongan regulasi ke hilirisasi produk ekspor, perubahan iklim, pandemi, pembiayaan, dan perang berkepanjangan.
Akan tetapi, di sisi lain, ancaman resesi global membuka peluang bagi pengembangan sektor perikanan di dalam negeri. Semakin mahalnya produk impor dan permintaan yang tinggi produk perikanan dalam dua tahun terakhir harus mampu dimanfaatkan pelaku usaha. Mayoritas produk perikanan yang dikonsumsi masyarakat segmen menengah atas berasal dari produk impor.
Badan usaha milik negara yang bergerak di sektor perikanan, yakni Perikanan Indonesia (Perindo), menangkap peluang pasar premium di dalam negeri dengan mendorong inovasi-inovasi produk perikanan olahan berkualitas tinggi serta pemasaran secara retail untuk memudahkan masyarakat membeli produk. Produk itu antara lain berupa ikan olahan berlabel tukato (tuna, cakalang, tongkol) dalam kemasan.
Chief Sustainability Officer Aruna, usaha rintisan di sektor perikanan, Utari Octavianty berpendapat, perlambatan pasar ekspor perikanan mulai terasa pada triwulan IV-2022 hingga awal tahun 2023. Sementara itu, Indonesia menghadapi kompetisi ketat dengan negara-negara produsen lain. Persoalan ekonomi global membuat banyak negara pasar utama cenderung lebih berhati-hati menggunakan dana berputar.
Optimalisasi pasar perikanan dalam negeri diperlukan di tengah ancaman resesi global. Hal ini untuk menghindari kerugian akibat penerimaan dan pembayaran yang lebih lama dari negara tujuan ekspor. Selama ini, sebagian besar produk perikanan Indonesia yang bermutu tinggi diekspor.
Adapun komposisi produk perikanan yang diekspor Aruna mencapai 60 persen, sementara untuk pasar dalam negeri mencapai 40 persen. Pihaknya fokus pada hilirisasi perikanan dengan mendekatkan pengolahan ikan ke sentra nelayan mitra Aruna serta diversifikasi produk. Diverisifikasi produk diharapkan memperluas pasar, memperbanyak serapan hasil tangkapan nelayan, dan mempertemukan produk dengan pasar yang tepat.
”Pasar dalam negeri masih menghadapi tantangan dari segi kesadaran (konsumsi ikan) masyarakat serta kesiapan infrastruktur. Tantangan ini perlu diatasi agar komoditas perikanan yang bagus tidak selalu diekspor,” ujarnya.
Erwin mengakui, upaya mendiversifikasi pasar global perlu didukung peningkatan produksi, mutu, dan daya saing. Selain mengefisienkan produksi, persyaratan ekspor dan pilihan konsumen harus bisa dipenuhi pelaku usaha. Selain itu, diversifikasi produk ditempuh dengan mendorong produk olahan.
Dia mencontohkan, udang beku Indonesia saat ini kalah bersaing dengan udang asal Ekuador dan India akibat kendala logistik dan efisiensi budidaya. Namun, produk udang tepung Indonesia cenderung lebih unggul di pasar AS.
”Untuk bersaing, Indonesia harus meningkatkan efisiensi di hulu hingga penanganan pascaproduksi. Harga dan mutu menjadi (syarat) paling utama untuk daya saing,” ujar Erwin.
Sebagian besar pelaku usaha perikanan merupakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menghadapi kendala pembiayaan. Oleh karena itu, dukungan pembiayaan menjadi bagian penting dalam pengembangan usaha dan peningkatan daya saing bagi pelaku UMKM.
Asistance Vice President Goverment Program Division of Small Business and Program BNI Chandra Bagus Sulistyo menjelaskan, jumlah UMKM perikanan saat ini mencapai 2,6 juta unit. Dari jumlah itu, pelaku usaha pengolahan mencapai 61.802 unit, usaha pergaraman 19.503 petambak, perikanan budidaya 1.596.000 rumah tangga, sedangkan penangkapan ikan 966.000 rumah tangga.
Pihaknya berupaya mendorong UMKM masuk ke fase retail dengan menjual produk melalui lokapasar. Kendalanya, serapan kredit usaha rakyat (KUR) di sektor kelautan dan perikanan masih rendah karena minimnya pendampingan dan sosialisasi dari pemerintah. Selain itu, kredit bermasalah (NPL) juga cenderung masih tinggi. ”Pendampingan dari KKP terhadap nelayan dan pembudidaya perlu dioptimalkan karena potensi perikanan dan kekayaan laut masih sangat besar,” katanya.