Hilirisasi yang inklusif di sektor perikanan dan kelautan dinilai menjadi kunci menyejahterakan masyarakat nelayan sekaligus mengejar visi kemaritiman 2045. Upaya itu bisa ditempuh dengan melibatkan koperasi nelayan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya Indonesia mendorong hilirisasi perikanan diharapkan memperkuat nilai tambah dan daya saing sektor kelautan dan perikanan. Selama ini, nilai ekspor perikanan Indonesia cenderung meningkat karena pengaruh harga komoditas, bukan karena peningkatan nilai tambah produk perikanan.
Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik menilai, dorongan pemerintah untuk hilirisasi perikanan merupakan solusi tepat untuk meningkatkan nilai tambah. Perikanan merupakan sektor unggulan nasional. Sektor ini memiliki volume produksi beberapa komoditas yang lebih unggul dibandingkan komoditas serupa dari negara lain.
Akan tetapi, kenaikan nilai ekspor perikanan Indonesia lebih ditopang oleh kenaikan harga komoditas. ”Titik berat pengembangan sektor perikanan masih sebatas produksi dan belum peningkatan nilai tambah,” kata Riza dalam Outlook KNTI 2023: Akselerasi Pertumbuhan dan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan Kecil dan Tradisional di Indonesia”, di Jakarta, Senin (13/2/2023).
Padahal, kata Riza, kekuatan Indonesia terletak pada nilai tambah. Meski demikian, komoditas perikanan yang akan ditingkatkan pengolahannya masih harus dipilih dan dipilah lagi.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan, ekspor perikanan Indonesia pada tahun 2022 mencapai 1,22 juta ton dengan nilai 6,24 miliar dollar AS. Adapun target nilai ekspor Indonesia tahun ini mencapai 7,3 miliar dollar AS.
Menurut Riza, hingga kini persoalan hulu-hilir perikanan masih membayangi nelayan kecil dan tradisional. Padahal, 96 persen dari total 2,1 juta nelayan di Indonesia merupakan nelayan kecil dan tradisional. Oleh karena itu, strategi industrialisasi perikanan memerlukan pembenahan di hulu hingga hilir.
Hasil survei KNTI tahun 2021-2022 memperlihatkan, lebih dari 80 persen nelayan kecil tidak mendapatkan akses bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Padahal, BBM merupakan kebutuhan dasar untuk melaut. Sementara itu, di sisi hilir, 20-30 persen nelayan kecil kesulitan memasarkan tangkapan.
”Mereka yang kesulitan memperoleh akses pasar umumnya adalah nelayan perorangan,” katanya.
Melalui koperasi
Riza menambahkan, upaya menguatkan ekonomi nelayan sudah seharusnya melalui kelembagaan koperasi. Koperasi perlu diperkuat sebagai penyangga usaha hulu-hilir sektor perikanan.
Tahun 2023-2024 dinilai menjadi fondasi penting untuk mendorong lompatan di sektor perikanan yang berkontribusi pada perekonomian masyarakat, perikanan berkelanjutan, dan penyerapan lapangan kerja. ”Nelayan-nelayan perlu bergabung dalam koperasi. Tanpa dukungan kelembagaan, nelayan kecil akan terus lemah sendiri,” ujarnya.
Saat ini KNTI sedang menginisiasi penguatan kelembagaan koperasi nelayan di 15 lokasi, antara lain Aceh Besar (Aceh); Tanjung Balai, Deli Serdang, Medan (Sumatera Utara); dan Indramayu (Jawa Barat). Selain itu, Semarang, Pekalongan, Pemalang, Demak (Jawa Tengah); Surabaya, Gresik (Jawa Timur); Lombok Timur, Lombok Utara (Nusa Tenggara Barat); dan Manggarai Barat (Nusa Tenggara Timur).
Ketua Umum KNTI Dani Setiawan mengemukakan, industrialisasi perikanan harus didorong inklusif dengan memprioritaskan peran pelaku utama, yakni rakyat atau koperasi. Rantai pasok untuk industrialisasi perikanan dapat diperkuat melalui kolaborasi koperasi dan investor.
Koperasi dapat dilibatkan dalam pemerataan distribusi BBM bersubsidi dan proses pendataan nelayan. Harapannya, penyaluran BBM bersubsidi dapat lebih tepat sasaran ke nelayan. ”Koperasi nelayan harus dipaksa siap dan belajar cukup cepat untuk beradaptasi dengan regulasi,” kata Dani.
Ketua Dewan Pakar KNTI Revrisond Baswir mengatakan, upaya mencapai visi kemaritiman 2045 perlu kembali pada prinsip pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pelaku utama di sektor ini perlu didorong untuk bergabung dalam koperasi sehingga akses untuk memperoleh sarana, perbekalan melaut, hingga permodalan lebih merata, tidak hanya dikuasai segelintir pemilik modal.
”Pembangunan sektor kelautan dan perikanan perlu dibuktikan dengan mengutamakan kemakmuran masyarakat nelayan, dan bukan kemakmuran segelintir orang,” ujarnya.
Upaya mencapai visi kemaritiman 2045 perlu kembali pada prinsip pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sebelumnya, pada Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan Tahun 2023, Senin (6/2/2023), Presiden Joko Widodo mendorong hilirisasi sebagai upaya Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Termasuk di antaranya di sektor kelautan dan perikanan.
Presiden mencontohkan, Indonesia sebagai eksportir nomor satu rumput laut belum optimal mengolahnya menjadi bahan jadi, misalnya karagenan. Sementara China mengandalkan impor rumput laut, tetapi bisa menjadi eksportir nomor satu karagenan.
Indonesia juga eksportir tuna, cakalang, dan tongkol. Namun, di sisi lain, Indonesia juga merupakan negara pengimpor nomor satu tepung ikan. Oleh sebab itu, Presiden meminta agar tepung ikan diproduksi di dalam negeri.