Komoditas unggulan sektor perikanan dinilai perlu dipetakan untuk mendorong hilirisasi. Pemetaan diperlukan karena tidak semua hasil olahan perikanan memiliki nilai ekonomi lebih.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta segera memetakan komoditas unggulan perikanan yang akan didorong untuk hilirisasi perikanan. Sinkronisasi antara wilayah produksi dan industri pengolahan diperlukan guna memastikan tidak ada kesenjangan dalam rantai pasok yang menghambat industrialisasi.
CEO Ocean Solutions IndonesiaZulficar Mochtar mengemukakan, pemerintah perlu memetakan setidaknya 10-20 komoditas unggulan perikanan yang akan dikawal dari hulu ke hilir agar Indonesia bisa menjadi negara eksportir perikanan besar dunia. Pemetaan itu diperlukan karena tidak seluruh hasil olahan perikanan memiliki nilai ekonomi lebih. Dia mencontohkan, produk tuna segar yang antara lain menjadi bahan baku produk sushi dan sashimi memiliki harga jauh lebih mahal dibandingkan dengan produk tuna olahan.
Persoalan hulu-hilir dinilai kerap menghambat hilirisasi perikanan. Tantangan yang perlu diantisipasi di antaranya akses permodalan, sarana produksi, perizinan, dan teknologi. Selain itu, kesiapan infrastruktur, sistem rantai pasok, dan rantai dingin yang mutlak diperlukan untuk mendorong hilirisasi.
”Indonesia sudah menghasilkan banyak ikan, tetapi harga jual kerap jatuh karena kualitas tidak optimal,” kata Zuficar, dalam Ocean Talk: ”Bagaimana Opsi Realistis Hilirisasi Ekspor dan Pengolahan Hasil Laut?”, secara daring, Kamis (16/2/2023).
Zulficar menambahkan, desain strategi perikanan dinilai perlu berpihak kepada nelayan dan pembudidaya kecil; usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); serta koperasi agar pelaku usaha skala kecil dan menengah bisa berperan signifikan juga mendorong sektor perikanan yang berkelanjutan dan berdaya saing. Selama ini, nelayan cenderung mendapatkan hasil yang jauh lebih kecil ketimbang pelaku di sisi hilir serta kerap mendapat perlakuan yang tidak sesuai hak asasi sehingga menyulitkan terbangunnya sektor perikanan yang berkelanjutan.
”Butuh pembenahan dalam rantai pasok dan rantai nilai, sistem logistik, resi gudang, dan rasio kapasitas olahan karena sumber bahan baku berasal dari wilayah timur Indonesia, sedangkan infrastruktur pengolahan di wilayah barat Indonesia,” ujarnya.
Sekretaris Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Machmud mengemukakan, produk ikan akan semakin menjadi pilihan konsumsi penduduk dunia karena terbukti sehat. Namun, perlu dipilih komoditas yang akan ditingkatkan produksi dan olahannya.
Dia mencontohkan, untuk perikanan budidaya, komoditas unggulan yang didorong untuk ekspor adalah udang, rajungan, kepiting, lobster, dan rumput laut. Saat ini, ekspor udang olahan terus meningkat, seperti produk udang tepung, udang kupas, dan udang siap saji. Adapun produk rumput laut masih didominasi produk kering dan belum optimal untuk hilirisasi.
Ia menambahkan, jumlah unit pengolahan ikan (UPI) skala mikro kecil mencapai 60.519 unit, UPI skala menengah besar 1.070 unit, dan 50.710 pemasar ikan. Diperlukan kerja sama untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi UPI mikro dan skala menengah-besar. Saat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah memfasilitasi sarana prasarana untuk 28 UPI senilai Rp 315,2 miliar, gudang beku portable 20 unit senilai Rp 33,8 miliar, dan gudang beku 88 unit senilai Rp 338,7 miliar.
Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kementerian Perindustrian Emil Satria mengemukakan, total investasi di industri makanan, hasil laut, dan perikanan sepanjang tahun 2022 tercatat Rp 81,12 triliun atau naik 43 persen dibandingkan dengan tahun 2021 yang senilai Rp 56,7 triliun. Meski demikian, kontribusi industri makanan, hasil laut, dan perikanan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional hanya 6,08 persen. Padahal, total kontribusi industri makanan dan minuman terhadap PDB nasional lebih dari 50 persen.
Emil menilai, peluang hilirisasi untuk produk kelautan dan perikanan masih terbuka meski membutuhkan banyak pembenahan. Untuk produk rumput laut, saat ini terdapat 51 industri pengolahan rumput laut dengan kapasitas produksi 62.854 ton, sedangkan kapasitas yang terpakai baru 28.968 ton. ”Kalau bekerja sama, produk-produk hasil laut bisa dihilirisasi,” ujarnya.
Beberapa komoditas rumput laut dinilai berpotensi untuk digarap sebagai zat aditif untuk produk makanan olahan, seperti susu, keju, sosis, nugget, serta minuman, seperti jus dan bir. Selain itu, produk kosmetik, seperti sampo dan sabun serta bahan baku kapsul dan plastik.
Emil menambahkan, pihaknya terus melakukan inovasi produk rumput laut. Kebutuhan cangkang kapsul untuk obat sebanyak 6 miliar cangkang per tahun dan kebutuhannya selama ini dipenuhi dari gelatin. Komoditas rumput laut diharapkan bisa menjadi substitusi kebutuhan bahan baku gelatin. Untuk pemenuhan 1 juta cangkang kapsul per hari, diperlukan 100 kg karaginan per hari.
Meski demikian, komoditas rumput laut masih menghadapi kendala lemahnya kualitas dan suplai bahan baku yang belum konsisten. Harga jual rumput laut juga fluktuatif dan tidak ada tata niaga. Beberapa bahan kimia untuk bahan baku dan penolong masih bergantung impor, sementara riset teknologi produk farmasi masih kurang.