Potensial dalam ”Friendshoring”, Indonesia Perlu Tingkatkan Daya Saing
”Friendshoring” ialah gagasan atau inisiatif yang disampaikan United States (AS) Treasury Secretary, Janet Yellen. AS ingin memindahkan bisnis dekat dengan sumber bahan baku guna menekan potensi risiko eksternal.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dengan kekakayaan sumber daya alamnya, Indonesia berpotensi ambil bagian dalam gagasan friendshoring atau memastikan keberlanjutan bisnis dengan kebutuhan rantai pasok, yang diserukan Amerika Serikat. Namun, untuk mencapai itu, Indonesia masih memiliki tantangan seperti perlunya peningkatan daya saing dalam menghasilkan produk.
Friendshoring ialah gagasan atau inisiatif yang disampaikan United States (AS) Treasury Secretary, Janet Yellen. Inisiatif tersebut menekankan bahwa AS perlu bekerja sama dengan para negara mitra tepercaya guna memastikan rantai pasok dalam bisnis, termasuk manufaktur. Dengan demikian, risiko eksternal terhambatnya rantai pasok dapat ditekan sekecil mungkin.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eisha Maghfiruha, dalam webinar ”Can Indonesia Boost Investment Through Friendshoring?” yang digelar Indef, Rabu (8/2/2023), mengatakan, inisiatif itu cocok dengan Indonesia yang sedang memacu hilirisasi. Pasalnya, dalam diversifikasi produk, Indonesia akan butuh lebih banyak investasi, termasuk terkait dengan kebutuhan teknologi.
Dengan demikian, ada potensi perusahaan AS merelokasi bisnis ke Indonesia yang memiliki kepastian bahan baku. Misalnya terkait dengan hilirisasi nikel yang sudah berjalan untuk diarahkan pada industri baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
Namun, ada sejumlah tantangan yang dihadapi. ”Misalnya, perlu komitmen lebih untuk mengimplementasikan energi berkelanjutan karena saat ini ketergantungan pada energi berbasis fosil masih tinggi. Selain itu, Indonesia tidak memiliki perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan AS,” kata Eisha.
Kendati tak ada FTA, imbuh Eisha, Indonesia bisa mengeksplorasi sejumlah kemungkinan dan mekanisme untuk friendshoring, misalnya melalui Indo-Pacific Economic Framework (IPEF). Lewat kerja sama itu, Indonesia bisa menjadi bagian dalam rantai pasok, sekaligus menunjukkan komitmen untuk mendukung energi bersih dalam industri manufaktur.
Pada akhirnya, daya saing Indonesia perlu terus ditingkatkan. ”Adanya inisiatif friendshoring membuat banyak negara tertarik untuk bermitra dengan AS dalam manufaktur sehingga Indonesia memiliki banyak kompetitor. Oleh karena itu, produktivitas dan kualitas harus terus ditingkatkan lagi agar mencapai tingginya standar produk di pasar global,” ucap Eisha.
Dalam paparannya, berdasarkan data CEIC, JP Morgan (2023), Eisha mengatakan, Indonesia hanya menempati urutan ke-5 dari 6 negara utama ASEAN dalam porsi impor AS pada 2021. Vietnam tertinggi dengan lebih dari 3,5 persen. Setelah Vietnam yaitu Malaysia, Thailand, Singapura, kemudian Indonesia, lalu diikuti Filipina. Lompatan besar Vietnam terjadi mulai 2018.
Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nurul Ichwan menuturkan, ada sejumlah sektor potensial sebagaimana strategi yang dikembangkan AS. Sektor-sektor itu ialah semikonduktor, telekomunikasi dan infrastruktur 5G, peralatan untuk transisi energi hijau, active pharmaceutical ingredient (API), serta mineral-mineral strategis dan penting.
Indonesia pun berpeluang untuk berpartisipasi. ”Pada mineral strategis dan penting, yakni baterai untuk kendaraan listrik misalnya. Indonesia akan menjadi salah satu pemasok untuk AS. Baik untuk pasar EV di AS maupun di luar AS,” ucap Nurul.
Presiden International Tax and Investment Center (ITIC), Washington DC, Daniel A Witt mengemukakan, seperti yang disampaikan Janet Yellen, AS ingin bekerja sama dengan para mitra tepercaya dalam membangun rantai pasok. Itu cocok bagi Indonesia, yang selama ini sudah menjadi partner penting AS. Apalagi, Presiden Joko Widodo terus menggaungkan hilirisasi.
”Ada pertemuan antara hilirisasi dan friendshoring. Di satu sisi untuk suplai dan sisi lainnya demand (permintaan). Ini akan menjadi kerja sama ekonomi dan perdagangan di antara dua negara (Indonesia dan AS). Peningkatan nilai harus ditambah dan nantinya akan tercipta lapangan pekerjaan serta pendapatan bagi negara Anda (Indonesia),” katanya.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, dalam webinar itu, mengatakan, Indonesia akan fokus pada hilirisasi dengan pendekatan industri hijau dan energi hijau. Hilirisasi juga bagian dalam upaya penataan lingkungan, penciptaan nilai tambah, dan pertumbuhan ekonomi baru. Juga bagaimana agar ada kolaborasi dengan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
”Hilirisasi adalah harga mati,” kata Bahlil.
Bahlil mencontohkan dampak hilirisasi terhadap nilai tambah produk nikel, berupa pelarangan ekspor bijih nikel pada tahun 2020, yang dampaknya sudah dirasakan. Pada 2017-2018 nilai ekspor produk besi dan baja Indonesia hanya sekitar 3,3 miliar dollar AS. Sementara pada 2022 angkanya melonjak signifikan menjadi 27,8 miliar dollar AS.
”Ini kita lakukan secara komprehensif dengan membangun ekosistem turunan nikel, seperti baterai kendaraan listrik. Kita ingin menjadi salah satu produsen baterai EV terbesar di dunia. Mulai dari mining (tambang), smelter, hingga sel baterai. Ada gugatan Uni Eropa di WTO tidak masalah. Tapi, kita tak akan pernah gentar untuk melawan itu,” tuturnya.