Pemerintah merencanakan pelarangan ekspor konsentrat tembaga pada tahun ini menyusul kebijakan pelarangan ekspor sejumlah mineral mentah lainnya. Kebijakan ini bakal berdampak terhadap operasi Freeport.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Freeport Indonesia mengaku kesulitan jika larangan ekspor konsentrat tembaga diberlakukan tahun ini sesuai amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Operasional tambang di lapangan diperkirakan bakal terdampak apabila kebijakan diterapkan.
Pada Senin (6/2/2023), di Kompleks Parlemen, Jakarta, digelar rapat dengar pendapat Komisi VII DPR dengan jajaran direksi Mind ID, perusahaan induk tambang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan PT Freeport Indonesia. Salah satu hal yang dibahas dalam rapat itu mengenai perkembangan pembangunan smelter baru Freeport di Gresik, Jawa Timur, yang hingga akhir Januari 2023, kemajuan fisiknya mencapai 54 persen.
“Progres tetap dilaksanakan sesuai dengan kurva S yang sudah disetujui pemerintah. Kami berkomitmen menyelesaikan pembangunan smelter. Kami akan berdiskusi terus dengan pemerintah. Intinya, (jika larangan ekspor berlaku) operasi di tambang juga sulit dihentikan. Dampaknya besar sekali,” kata Direktur Utama Freeport Indonesia Tony Wenas, setelah rapat tersebut, Senin malam.
Dalam UU No 3/2020 disebutkan, pemegang kontrak karya, izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi, atau IUP Khusus (IUPK) produksi mineral logam dibolehkan ekspor. Itu dengan syarat telah melakukan pengolahan dan pemurnian; dalam proses pembangunan smelter, dan/atau kerja sama pengolahan dan/atau pemurnian. Tenggat pemenuhan itu 3 tahun sejak UU berlaku.
Sebelumnya, pemerintah sudah memberlakukan larangan ekspor bijih nikel. Pelarangan ekspor bauksit mulai Juni 2023 juga sudah diumumkan Presiden Joko Widodo. Kendati belum diumumkan resmi, Presiden beberapa kali juga menyampaikan akan melarang ekspor tembaga pada tahun 2023. Hal tersebut bertujuan meningkatkan nilai tambah atau hilirisasi.
Menurut Tony, berdasarkan IUPK, Freeport tadinya diharuskan menyelesaikan pembangunan smelter dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya IUPK itu pada 21 Desember 2018. Artinya, tenggat pembangunan adalah 21 Desember 2023. Namun, kemudian terjadi pandemi Covid-19 pada 2020.
“Pandemi berdampak pada sebagian besar penduduk dunia, termasuk di Gresik, sehingga kemudian kami mengajukan kepada pemerintah melalui Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) bahwa ada keterlambatan. Sehingga kami ajukan kurva S yang baru, yaitu akhir 2023 konstruksi fisik selesai dan 2024 bisa produksi. Selanjutnya ramp-up (meningkat),” katanya.
Tony menjelaskan, capaian 54 persen pada akhir Januari 2023 telah melebihi rencana pada kurva S baru yang sebesar 52 persen. Adapun total kumulatif biaya sudah mencapai 1,78 miliar dollar AS atau Rp 27 triliun dari total 3 miliar dollar AS atau Rp 45 triliun.
Dalam rapat itu, beberapa anggota Komisi VII berharap pemerintah tidak melanggar Undang-Undang, terlebih, pembangunan smelter tersebut telah terunda lama. Namun, sebagian anggota lainnya menilai bahwa secara realistis, larangan ekspor sulit diberlakukan pada 2023 karena ketidaksiapan PT FI, mengingat smelter baru akan beroperasi 2024.
“Terlalu sering Freeport mundur, bahkan tak menyelesaikan target-target pembangunan smelter, akibatnya UU direvisi dan terakhir ialah UU No 3/2020. Jangan sampai kita (DPR) menyetujui untuk melanggar. Kami tidak ingin pemerintah melanggar UU, jadi harus konsisten menjalankannya,” kata anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mulyanto.
Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Abdul Kadir Karding, menuturkan, yang utama ialah melihat nanti hasilnya seperti apa. Menurutnya, Freeport telah menanamkan modal besar untuk membangun smelter sehingga nanti hasilnya pasti besar. Terlebih, saat ini 51 persen saham Freeport sudah milik Indonesia. Yang utama, harus bermanfaat bagi masyarakat.
Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto mengakui, kondisi saat ini memang menjadi relatif tidak konsisten. Kendati diamanatkan UU harus selesai tahun ini, tetapi situasinya tidak memungkinkan. “Itu dilema. Nanti agar dilakukan FGD (diskusi kelompok terarah). Jadi bisa didalami dan dijelaskan di sana,” ucapnya.
Kesimpulan dalam rapat tersebut, di antaranya, Komisi VII mendesak Direktur Utama Mind ID dan Freeport Indonesia untuk segera menyelesaikan pembangunan fasilitas pemurnian tembaga sesuai amanat UU No 3/2020. Selain itu, Komisi VII DPR juga mendesak Direktur Utama Mind ID untuk menyiapkan langkah mitigasi terhadap rencana pemerintah dalam pelarangan ekspor mineral.