Implementasi Perppu Cipta Kerja Tak Menunggu Proses Politik
Pemerintah akan mengimplementasikan Perppu Cipta Kerja selagi proses politik di DPR bergulir. Ada lima peraturan turunan dari UU Cipta Kerja yang saat ini sedang direvisi untuk mengatasi berbagai hambatan investasi.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah tidak akan menunggu proses politik bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Untuk mengatasi sejumlah hambatan investasi, revisi atas beberapa peraturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja saat ini sudah mulai dibahas.
Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi, Kamis (2/2/2023) mengatakan, untuk tahap awal, ada lima peraturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja yang sedang dalam proses revisi di internal pemerintah.
Kelima peraturan itu adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, PP No 28/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian, PP No 29/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan, PP No 39/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, dan Peraturan Presiden (Perpres) No 32/2021 tentang Neraca Komoditas.
Menurut Elen, revisi itu mendesak karena perubahannya dibutuhkan untuk melancarkan investasi dan iklim berusaha. Terhambatnya revisi peraturan teknis pasca putusan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, ujarnya, menjadi salah satu alasan pemerintah memilih mengeluarkan perppu ketimbang membahas revisi UU seperti biasa bersama DPR.
“Perubahan peraturan pelaksanaan ini akan dilakukan bertahap. Untuk tahap awal, lima peraturan itu dulu yang prioritas, tetapi perubahan beberapa PP dan Perpres lainnya juga saat ini sedang disiapkan,” katanya saat dihubungi.
Sejak Perppu Cipta Kerja keluar 31 Desember 2022 lalu, proses politik di DPR masih menggantung. DPR harus menentukan sikap, antara menolak atau menyetujuinya. Jika DPR menolak, perppu otomatis tidak berlaku lagi.
Meski demikian, Elen mengatakan, implementasi perppu tidak perlu menunggu proses di DPR, karena kedudukan perppu yang sudah sama dengan undang-undang membuatnya bisa langsung dijalankan tanpa harus menunggu persetujuan dari DPR.
“Terlepas dari nanti DPR setuju atau tidak setuju, itu persoalan berbeda. Kalau kita tidak segera (merevisi peraturan pelaksanaan), nanti muncul pertanyaan, mana unsur kegentingan memaksanya? Makanya ini harus segera kita atasi, terutama revisi PP yang terkait sistem perizinan berusaha, supaya persoalan yang dihadapi di lapangan bisa segera diselesaikan secara teknis,” ujarnya.
Terlepas dari nanti DPR setuju atau tidak setuju, itu persoalan berbeda.
Data Kementerian Investasi, sejak UU Cipta Kerja disahkan pada November 2020 lalu, realisasi investasi meningkat dari Rp 826,3 triliun pada 2020 menjadi Rp 901,2 triliun pada 2021 dan Rp 1.207,2 triliun pada 2022. Namun, kenaikan realisasi investasi itu belum selaras dengan penciptaan lapangan kerja. Investasi masih didominasi sektor padat modal dan teknologi, bukan padat karya.
Dengan realisasi investasi yang naik 33 persen pada 2022 itu, penyerapan tenaga kerja hanya bertambah 8 persen dari 1.207.893 orang pada 2021 menjadi 1.305.001 orang. Itu masih jauh dari target 2,7-3 juta penciptaan lapangan kerja per tahun yang dipasang pemerintah saat mengeluarkan UU Cipta Kerja.
Perizinan usaha
Persoalan perizinan berusaha masih dikeluhkan pelaku usaha sebagai hambatan berinvestasi, meski UU Cipta Kerja sebelumnya sudah mengatur berbagai kemudahan dan pemangkasan prosedur perizinan. Seharusnya, lewat sistem perizinan usaha online berbasis risiko (OSS-RBA), perizinan cukup diurus melalui satu platform dan sesuai tingkat risiko kegiatan usahanya.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani, implementasi OSS-RBA baru efektif mengurus izin usaha berskala kecil, bukan menengah-besar. Sistem perizinan masih tersebar di kementerian/lembaga (K/L), belum menyatu di OSS-RBA, sehingga pengusaha tetap harus mondar-mandir ke berbagai instansi untuk mengurus perizinan secara tatap muka (Kompas, 30/1/2023).
Elen mengatakan, berbagai kendala itu yang akan diatasi melalui revisi PP No 5/2021. Pemerintah akan mendorong percepatan penyelesaian proses perizinan usaha yang masih sporadis, terutama untuk empat jenis perizinan dasar, seperti kesesuaian pemanfaatan ruang atau izin lokasi, persetujuan lingkungan atau Amdal, persetujuan bangunan gedung atau IMB, dan seritifikat laik fungsi.
Pemerintah juga berencana mengatur pembentukan help desk yang terdiri dari semua K/L yang mengurusi sistem perizinan usaha. Untuk tahap pertama, help desk tersebut baru akan diterapkan di sektor properti mulai bulan ini, sesuai usulan inisiatif dari asosiasi Realestat Indonesia (REI).
Kehadiran help desk diyakini bisa mempercepat perizinan yang lambat dan sering menyangkut di K/L tertentu. “Ini sangat dimungkinkan disesuaikan dengan kebutuhan sektor masing-masing,” ujarnya.
Ketua Umum REI Paulus Totok Lusida menilai, sebenarnya tidak dibutuhkan payung hukum tertentu untuk menjalankan help desk dan melancarkan perizinan yang selama ini jadi hambatan investasi. Sebab, sifatnya hanya menyempurnakan koordinasi pemerintah yang sudah diatur lebih maju di UU Cipta Kerja dan PP No 5/2021.
“Sebenarnya yang penting itu mengubah mindset semua K/L yang terlibat. Selama ini, kan, presiden ngomong lain, menteri ngomong lain. Mestinya dengan help desk ini tidak perlu ada ego sektoral lagi, tinggal urusan memperbaiki komunikasi dan menjalankan kesepakatan saja,” tuturnya.
Sebenarnya yang penting itu mengubah mindset semua K/L yang terlibat. Selama ini, kan, presiden ngomong lain, menteri ngomong lain.
Adapun help desk perizinan usaha di sektor properti mulai diterapkan akhir Februari ini. Pelaksanaannya tidak terintegrasi lewat OSS-RBA, tetapi terpisah lewat sistem perizinan di masing-masing kementerian terkait.
“Perbaikan sistem OSS-RBA mungkin perlu waktu, jadi help desk ini istilahnya untuk transisi, lah. Lewat ini kita bisa pantau dan ingatkan kalau ada izin yang terhambat di kementerian tertentu. Nanti setiap kementerian punya PIC di help desk, supaya izin bisa diurus lebih cepat,” kata Totok.
Peneliti Center of Industry Trade and Investment di Institute for Development of Economics and Finance Ahmad Heri Firdaus menilai, saat ini memang masih banyak kendala implementasi kemudahan izin berusaha di lapangan, meski UU Cipta Kerja sudah memberi banyak pelonggaran untuk itu.
Namun, sifatnya lebih berupa teknis implementasi di lapangan. Ia mencontohkan belum terintegrasinya rencana detail tata ruang (RDTR) di banyak daerah, yang membuat pengurusan izin kesesuaian pemanfaatan ruang atau izin lokasi menjadi rumit.
"Kalau mau mengatasi kendala di lapangan, kecepatan lari daerah harus bisa mengimbangi pusat. Solusinya mungkin tidak perlu lewat revisi PP, tapi aturan turunan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang bisa mendorong dan mengikat pemda untuk lebih cepat lagi menyusun RDTR digitalnya," kata Heri.