Perppu Cipta Kerja, Jalan Terbaik atau Jalan Terbalik?
Meskipun kegentingan memaksa yang menjadi dasar penerbitan perppu merupakan hak subyektif Presiden, sebagai negara hukum demokratis, subyektivitas itu harus dapat dipertanggungjawabkan dan diukur.
”Plot Twist”, mungkin itulah kata yang tepat menggambarkan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022, tepat menjelang akhir tahun.
Istana menyatakan perppu setebal 1.117 halaman itu diterbitkan untuk menggantikan Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sebelumnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No 91/PUU-XVIII/2020.
Jalan formil perbaikan
Sudah lebih dari satu tahun UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK dalam uji formil sebagaimana termuat dalam putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020 yang menegaskan empat hal pokok.
Pertama, pembentukan UU Cipta Kerja tidak mempunyai ketentuan hukum yang mengikat secara bersyarat sepanjang tak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan diucapkan.
Kedua, apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk UU tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja (hingga 25 November 2023), UU atau pasal-pasal atau materi muatan UU yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali.
Ketiga, UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam Putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020.
Keempat, menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta dilarang membentuk peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Putusan MK No 91/PUU- XVIII/2020 tegas memerintahkan agar proses pembentukan UU Cipta Kerja dilakukan secara ulang dari awal.
Sesungguhnya ada dua hal penting dalam memperbaiki UU Cipta Kerja berdasar Putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020.
Pertama, agar pembentuk UU mengadopsi teknik omnibus law dalam sistem perundang-undangan kita sebab keabsahan omnibus law belum diatur sebelumnya. Kedua, agar pembentuk UU membahas kembali UU Cipta Kerja dengan taat pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, mengedepankan transparansi, dan melibatkan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Putusan MK No 91/PUU- XVIII/2020 tegas memerintahkan agar proses pembentukan UU Cipta Kerja dilakukan secara ulang dari awal. Bersama DPR, pemerintah kemudian telah merevisi UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi UU No 13/2022, yang menjadi legitimasi formil metode omnibus law dan penegasan meaningful participation dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Namun, setahun ke belakang tak ada upaya berarti yang dilakukan pembentuk UU untuk memperbaiki UU Cipta Kerja. Malah, tanpa disangka-sangka pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja yang menganulir status inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja sehingga muncul kesan perppu memang sudah didesain sejak awal.
Seharusnya, pembentuk UU konsekuen melaksanakan Putusan MK No 91/PUU-XVIII/ 2020 dengan melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dari awal sesuai syarat-syarat yang diperintahkan oleh MK.
Kegentingan memaksa
Landasan konstitusional perppu tercantum dalam Pasal 22 Ayat (1): ”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Perppu merupakan kewenangan mahal Presiden yang memerlukan pertimbangan terukur dalam penggunaannya. Lantas, apakah alasan penerbitan Perppu Cipta Kerja sudah sesuai dengan kondisi kegentingan yang memaksa sehingga penanganannya harus melalui perppu?
Putusan MK No 138/PUU-VII/2009 menafsirkan kondisi kegentingan yang memaksa sebagai berikut.
Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU, tetapi tak memadai. Ketiga, kekosongan hukum itu tak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Perppu merupakan kewenangan mahal Presiden yang memerlukan pertimbangan terukur dalam penggunaannya.
Jika merujuk pada penafsiran putusan MK, sesungguhnya Perppu Cipta Kerja belum memiliki urgensi yang mendesak dan rasional karena pertimbangan dikeluarkannya perppu antara lain karena dampak perang Rusia-Ukraina terhadap perekonomian Indonesia, kondisi global terkait resesi ekonomi, serta ancaman inflasi dan stagflasi yang mengancam Indonesia.
Meskipun kegentingan memaksa yang menjadi dasar penerbitan perppu merupakan hak subyektif Presiden, sebagai negara hukum demokratis, subyektivitas itu harus dapat dipertanggungjawabkan dan diukur.
Penerbitan perppu yang membatalkan status inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja berdasarkan Putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020 menjadi preseden buruk bagi perundang-undangan dan checks and balances sebagai ciri negara hukum demokratis. Praktik tersebut memungkinkan terjadinya constitutional disobedience atau pembangkangan terhadap konstitusi (putusan MK) ke depan, sebab putusan MK tidak dilaksanakan secara penuh, padahal sifatnya final dan mengikat.
Timing yang tepat mengeluarkan Perppu Cipta Kerja seharusnya sesaat setelah UU Cipta Kerja disahkan pada 2020 mengingat desakan masyarakat yang menganggap UU Cipta Kerja cacat secara formil sehingga masih perlu dibahas lebih dalam, tetapi Presiden menyarankan publik yang dicederai hak konstitusionalnya untuk melakukan judicial review. Aspirasi publik kemudian diamini oleh MK yang menegaskan bahwa UU Cipta Kerja inskonstitusional bersyarat.
Baca juga : Jalan Terjal Perbaikan UU Cipta Kerja
Namun, yang terjadi, bukan melaksanakan Putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020 untuk mengulang pembahasan UU Cipta Kerja, Presiden justru menerbitkan Perppu Cipta Kerja.
DPR perlu mempertimbangkan secara matang untuk menyetujui atau tidak menyetujui perppu ini atas nama rakyat pada masa sidang setelah reses, sebab alasan diterbitkannya perppu bukan untuk rakyat secara umum sebagaimana statement pemerintah saat konferensi pers yang menyatakan Perppu Cipta Kerja lahir untuk kebutuhan kepastian hukum bagi pengusaha dan investor.
Perlu digarisbawahi bahwa perintah MK adalah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja secara transparan dan partisipatif. Praktis dengan menerbitkan perppu, ruang-ruang partisipasi tertutup dan pembentukan produk hukum tidak dilakukan secara deliberatif.
Satu tahun tersisa untuk melaksanakan Putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020 agar perbaikan UU Cipta Kerja dilakukan sejak awal tampaknya cukup sulit, apalagi menjelang tahun politik. Namun, hal tersebut bukan mustahil apabila pembentuk UU mengadopsi fast track legislation seperti dalam praktik pembentukan UU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang sama-sama menggunakan metode omnibus law dan berhasil selesai dalam kurun satu bulan.
Sesungguhnya aspek formil dan aspek materiil dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilaksanakan sejalan sehingga menghasilkan produk hukum yang baik dan memiliki legitimasi.
Apabila drama Cipta Kerja terus berlangsung seperti sekarang, bukan tak mungkin menjadi bumerang yang membuat investor berpikir dua kali untuk berinvestasi di Indonesia.
Kita semua paham bahwa UU Cipta Kerja dibentuk untuk tujuan mulia, agar mendorong perekonomian dan kemudahan investasi. Namun, yang tak kalah penting, mengingat sifat dan jangkauan UU ini begitu strategis dan luas, sesungguhnya penting melibatkan publik dalam memberikan masukan perbaikan karena bagaimanapun publiklah yang akan merasakan dampak langsung.
Fahmi Ramadhan FirdausDosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jember