Ihwal Kegentingan Memaksa
Ekonomi berpotensi melambat, tetapi diyakini tidak sampai jatuh dalam resesi. Banyak yang bertanya-tanya, apakah kegentingan yang melatarbelakangi munculnya Perppu Cipta Kerja benar-benar memaksa atau dipaksakan.
Kata ”genting” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau diartikan sebagai situasi tegang atau berbahaya. Lebih rinci lagi, tentang keadaan yang mungkin dapat segera menimbulkan bencana, perang, dan lain sebagainya.
Dalam konteks lain, KBBI mengartikan genting sebagai tali yang hampir putus. Konotasinya lebih kurang sama: situasi di ujung tanduk, gawat, darurat, berbahaya, mendesak.
Awal tahun ini, diksi ”kegentingan” marak beredar pasca-keputusan pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, 30 Desember 2022.
Lewat perppu itu, pemerintah membatalkan hasil putusan Mahkamah Konstitusi, yang pada akhir 2021 memvonis UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan memerintahkan agar UU itu direvisi.
Baca juga: MK Diminta Tunda Keberlakuan Perppu Cipta Kerja
Bagi pemerintah, perppu menjadi jalan pintas ketimbang membahas revisi UU bersama DPR yang akan memakan waktu lebih lama, satu tahun menjelang pemilu pula. Itu karena perppu dapat disusun sepihak oleh pemerintah. DPR tinggal menerima atau menolak, tak bisa mengutak-atik isi perppu.
Langkah instan itu tentu datang dengan syarat. Pemerintah harus memenuhi kondisi ”kegentingan yang memaksa”. Meski didasarkan pada penilaian subyektif presiden, alasan kegentingan itu harus didasarkan pada keadaan yang obyektif.
Harus ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dan adanya kekosongan hukum yang harus diatasi di luar prosedur biasa. Pertanyaan besarnya, apakah kondisi ekonomi saat ini segenting itu sehingga perlu diatasi dengan perppu?
Mengutip lampiran penjelasan di Perppu Cipta Kerja, pemerintah beralasan, tingkat ketidakpastian yang tinggi pada perekonomian dunia berisiko membuat prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih lemah dan inflasi lebih tinggi.
Di tengah kondisi itu, laju investasi perlu ditingkatkan untuk menjaga daya tahan ekonomi domestik. Pemerintah berargumen ada kebutuhan mendesak dan kekosongan hukum pasca-putusan MK terkait UU Cipta Kerja sehingga dibutuhkan perppu sebagai solusi cepat.
Pertanyaan besarnya, apakah kondisi ekonomi saat ini segenting itu sehingga perlu diatasi dengan perppu?
Masih kuat
Melihat data indikator ekonomi sejauh ini, kondisi ekonomi dalam negeri sebenarnya terhitung masih solid. Meski ekonomi global melambat, seperti sudah terjadi sejak pertengahan 2022, pemulihan ekonomi nasional justru menguat sepanjang tahun.
Penanda utama adalah ekonomi yang tumbuh 5,72 persen pada triwulan III-2022 pada saat banyak negara lain mengalami perlambatan. Capaian itu melanjutkan tren pertumbuhan di atas 5 persen selama empat triwulan berturut-turut. Pemerintah meyakini pertumbuhan ekonomi sepanjang 2022 bisa mencapai target 5,1-5,3 persen.
Seiring membaiknya pandemi, konsumsi rumah tangga sebagai motor utama ekonomi menguat, dari 4,3 persen di triwulan I-2022 menjadi 5,5 persen di triwulan II-2022 dan 5,4 persen di triwulan IV-2022. Kenaikan inflasi sempat dikhawatirkan, tetapi terbukti bisa terkendali sampai akhir tahun.
Ekspor meningkat, didorong tingginya harga komoditas. Neraca perdagangan mengalami surplus 31 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Sepanjang Januari-November 2022, kinerja perdagangan RI surplus 50,59 miliar dollar AS, melampaui rekor tertinggi sebelumnya yaitu 39,73 miliar dollar AS pada 2006.
Kendati ekspor bisa melambat akibat tren menurunnya harga komoditas dan melambatnya ekonomi negara mitra dagang, pemerintah meyakini tren surplus perdagangan masih berlanjut. Kementerian Perdagangan memprediksi, surplus neraca perdagangan tahun 2023 bisa menyentuh 38,3 miliar dollar AS sampai 38,5 miliar dollar AS.
Indonesia dilihat sebagai salah satu negara yang relatif aman dari ancaman resesi.
Laju investasi yang dikhawatirkan pemerintah juga terbukti menguat, didorong oleh masuknya investasi asing seiring kebijakan hilirisasi yang gencar. Pada triwulan III-2022, pembentukan modal tetap domestik bruto (PMTB) yang menandai ekspansi dan investasi fisik masih tumbuh 5 persen, meningkat secara tahunan.
Baca juga: Perppu Cipta Kerja Bisa Jadi Bumerang
Pemulihan ekonomi pun terjadi di semua sektor. Berdasarkan data BPS, sepanjang 2022, sudah tidak ada sektor yang terkontraksi. Sektor transportasi serta akomodasi dan makanan-minuman yang terpukul paling berat saat pandemi tumbuh dua digit sebesar 25,8 persen dan 17,8 persen pada triwulan III-2022.
Indonesia dilihat sebagai salah satu negara yang relatif aman dari ancaman resesi. Ketika ekonomi negara lain diproyeksikan minus alias resesi, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) memprediksi ekonomi RI tumbuh positif yaitu 4,8 persen pada 2023, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memproyeksikan 4,7 persen, dan Dana Moneter Internasional (IMF) 5 persen.
Memang, ekonomi berpotensi ikut melambat. Terganggunya ekonomi negara lain akan berimbas pada kinerja ekspor. Ketidakpastian juga membayangi akibat volatilitas pasar keuangan dan pengetatan moneter negara maju. Namun, berkat fundamental ekonomi domestik yang kuat, Indonesia diyakini tidak sampai resesi.
Baca juga: Resesi Global Mengintai, Ekonomi RI Masih Tumbuh Sesuai Ekspektasi
Bukan solusi
Potensi melambatnya ekonomi adalah sebuah masalah. Namun, sejumlah kalangan menilai kondisi itu belum cukup genting untuk dijadikan dasar argumen mengeluarkan perppu. Situasi ini berbeda dari pandemi Covid-19 ketika pemerintah mengeluarkan Perppu Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi.
Situasi ini berbeda dari pandemi Covid-19 ketika pemerintah mengeluarkan Perppu Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi.
Saat perppu dikeluarkan akhir Maret 2020, pertumbuhan ekonomi sampai bulan itu sudah merosot dari 4,97 persen ke 2,97 persen, terdampak penyebaran awal pandemi dan pembatasan sosial. Ada kegentingan yang saat itu begitu kentara di depan mata, subyektif maupun obyektif.
Perbaikan UU Cipta Kerja dibutuhkan untuk menjawab kompleksitas tantangan ekonomi ke depan. Namun, solusinya bukan lewat perppu, melainkan pembahasan revisi secara terbuka dengan DPR yang melibatkan partisipasi dan pengawasan publik, sesuai perintah putusan MK.
Masih ada waktu sampai November 2023 untuk menuntaskan revisi melalui jalur normal. Selama proses itu, kekosongan hukum tak perlu dikhawatirkan. Sebab, MK sendiri menjamin UU Cipta Kerja berlaku sampai ia direvisi sesuai tenggat yang diperintahkan, alias sampai November 2023.
Mengutip Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, Indonesia adalah titik terang di tengah kesuraman ekonomi global (a bright spot in a worsening global economy). Hal itu ia sampaikan untuk memuji capaian ekonomi RI yang kuat meski di ambang resesi dunia.
Masih ada waktu sampai November 2023 untuk menuntaskan revisi melalui jalur normal. Selama proses itu berjalan, kekosongan hukum tak perlu dikhawatirkan.
Kalimat itu pun beberapa kali dikutip Presiden Jokowi, termasuk saat membuka Rapat Pimpinan Nasional Kamar Dagang dan Industri Indonesia, hanya tiga pekan sebelum mengeluarkan Perppu Cipta Kerja. ”Di tengah kesuraman ekonomi global, Indonesia adalah titik terangnya. Kenapa kita harus pesimistis?” kata Presiden saat itu.
Hanya dalam waktu singkat, status ekonomi Indonesia berubah dari ”titik terang” menjadi ”genting”. Tak heran jika banyak yang bertanya-tanya, apakah kegentingan yang melatarbelakangi munculnya Perppu Cipta Kerja ini benar-benar memaksa, terpaksa, atau dipaksa?
Baca juga: Otoritarianisme Berbungkus Hukum