Bank Perlu Dilibatkan dalam Seluruh Transaksi Properti
Konsumen properti sebaiknya hanya berurusan dengan perbankan dalam seluruh transaksi properti, termasuk pembelian secara tunai. Cara ini dinilai memberikan keamanan lebih besar kepada konsumen.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seluruh transaksi pembelian properti perlu melibatkan pihak ketiga, yakni perbankan, terutama untuk proyek-proyek properti yang belum selesai dibangun. Hal ini untuk mencegah kerugian konsumen jika proyek properti mangkrak.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Realestat Indonesia (REI), Paulus Totok Lusida, mengemukakan hal tersebut menyikapi mencuatnya kasus proyek apartemen mangkrak dan merugikan konsumen. Ia menilai konsumen properti sebaiknya hanya berurusan dengan perbankan dalam seluruh transaksi properti, termasuk pembelian secara tunai. Cara ini dinilai memberikan keamanan lebih besar kepada konsumen, ketimbang pembayaran langsung disetorkan ke rekening pengembang.
Ia menambahkan, seluruh pengembang properti bekerja sama dengan perbankan. Jika nasabah melakukan pembelian properti secara tunai untuk proyek properti yang belum mulai dibangun, maka uang pembayaran ditempatkan di bank dan transaksi dianggap lunas. Selanjutnya, bank akan berurusan dengan pengembang dalam pengucuran uang nasabah sesuai tahapan perkembangan proyek.
“Masyarakat sebaiknya hanya berurusan (transaksi pembayaran) dengan bank, dan bukan langsung ke rekening pengembang. Ini demi keamanan konsumen. Pola ini sudah diterapkan hampir di seluruh dunia,” ujar Totok, kepada wartawan, Rabu (1/2/2023), di Jakarta.
Totok mengakui, salah satu kasus hukum terkait proyek properti yang tengah mencuat adalah proyek Meikarta di Cikarang, Jawa Barat. Kasus itu dinilai memberikan efek domino terhadap industri properti. Saat ini, pihaknya tengah mengupayakan mediasi antara pengembang dan konsumen dalam kasus Meikarta. Di sisi lain, REI tengah menginisiasi pembentukan divisi untuk perlindungan konsumen properti.
”Kami berupaya mendamaikan dari sisi konsumen (Meikarta) dan pengembang. Kami akan intens mempertemukan dua pihak, secara tertutup,” ujarnya.
Sebelumnya, PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku pengelola Apartemen Meikarta menggugat 18 orang atas dugaan pencemaran nama baik di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. PT MSU memastikan proyek apartemen ini tetap berjalan. Komunitas pembeli yang digugat tetap bersikukuh menuntut pengembalian uang. (Kompas, 25/1/2023).
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Herry Trisaputra Zuna mengemukakan, masyarakat berhak atas hunian layak sesuai mandat Undang-Undang Dasar. Ia menilai kasus perselisihan antara konsumen dan pengembang Meikarta ini terjadi sebab tidak ada skema penjaminan pembiayaan antara pengembang dan konsumen.
Ia juga mengaku heran dengan gugatan yang dilayangkan PT MSU terhadap konsumen. “Kita bicara bagaimana Meikarta, orang mau beli rumah malah dituntut balik,” ujarnya, dalam acara Penandatanganan nota kesepahaman (MOU) Ekosistem Pembiayaan Perumahan, secara virtual, Rabu (25/1) lalu.
Menurut Herry, pihaknya tengah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk membuat skema penjaminan pembiayaan perumahan untuk hunian yang belum selesai dikerjakan. Dengan demikian, masyarakat memiliki jaminan hunian yang dibeli akan selesai. ”Nanti dengan skema penjaminan, seharusnya masyarakat ada kepastian saat dia cicil, meski rumahnya belum selesai, dia ada kepastian. Ada semacam completion guarantee,” ujarnya.
Sementara itu, Totok menilai, sistem penjaminan yang disampaikan pemerintah memiliki tujuan baik, namun dikhawatirkan menciptakan proses yang rumit. Sudah ada cara yang sangat baik dan terbaik yang seluruh dunia sudah terapkan, yakni lewat bank selaku pihak ketiga, kalau mau membayar sebelum bangunan rampung dibangun.
”Regulasi yang perlu dikedepankan adalah semua transaksi lewat bank. Bisnis apa pun dengan masyarakat harus lewat perbankan. Jangan regulasi mempersulit lagi,” katanya.
Kemudahan perizinan
Totok mengatakan, REI telah menginisiasi pembentukan help desk perizinan REI, melalui kerja sama dengan 12 kementerian/lembaga. Help desk Perizinan REI direncanakan diluncurkan pada 11 Februari 2023, bertepatan dengan HUT ke-51 REI. Instrumen ini diharapkan dapat menyelesaikan berbagai hambatan perizinan di sektor properti.
Masalah perizinan masih mendominasi iklim usaha dan dikeluhkan para anggota REI, terlebih setelah pemberlakuan sistem aplikasi tunggal secara online (OSS). Hampir seluruh perizinan mengalami stagnan karena faktor ketidaksiapan pemerintah daerah dan regulasi pendukung. Akibatnya, iklim investasi usaha di Tanah Air menjadi terganggu.
”Perizinan menyangkut hajat hidup dunia usaha, termasuk di bisnis properti,” kata Totok.
Dicontohkan, penerbitan rencana detail tata ruang (RDTR) yang terintegrasi dengan sistem OSS. Dari target 2.000 RDTR, realisasinya baru sekitar 10 persen. Hal itu membutuhkan perhatian dari pemerintah daerah karena RDTR berkaitan dengan kepastian perizinan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR) sebagai acuan pemanfaatan ruang.
Di daerah yang sudah memiliki RDTR dan sudah terintegrasi dengan OSS, KKPR bisa diterbitkan dalam waktu satu hari kerja karena penilaian dilakukan oleh sistem. Sementara untuk daerah yang belum memiliki RDTR, penerbitan konfirmasi KKPR butuh waktu sekitar 20 hari. Padahal, ada batas waktu penyelesaian perizinan, seperti diatur Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja.
Totok menambahkan, Presiden Joko Widodo telah mengetahui dan menyambut inisiatif REI itu untuk membantu misi pemerintah untuk mewujudkan kemudahan berusaha. Sejumlah 12 kementerian/lembaga yang terkait dalam penyelenggaraan help desk perizinan REI meliputi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian PUPR, Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat, dan Kementerian Keuangan.
Selain itu, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kepala Staf Presiden, dan Sekretaris Kabinet. Untuk jangka pendek, help desk perizinan ini akan fokus pada penguatan kerja sama dan koordinasi agar tidak terjadi hambatan terlebih kesimpangsiuran perizinan di lapangan. Namun ke depannya, akan digarap untuk mendukung investasi properti termasuk dari investor asing yang ingin menanamkan modal di Tanah Air.
”(Help desk) ini memudahkan koordinasi antarinstitusi sehingga kendala-kendala perizinan dapat diselesaikan dengan cepat. Presiden bahkan berpesan supaya rencana tersebut segera direalisasikan serta meminta REI terus berkoordinasi dan bekerja sama dengan pemerintah dalam menuntaskan kendala perizinan,” lanjut Totok.
Wakil Ketua Umum DPP REI Koordinator Bidang Perizinan dan Regulasi MT Junaedy mengakui, tanggung jawab tim help desk perizinan ini nanti tidaklah semudah membalik telapak tangan. Hal itu disebabkan terbitnya berbagai peraturan baru yang justru mempersyaratkan banyak aspek dalam perizinan berusaha.
”Memang tidak mudah diwujudkan, tetapi di dalam setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Tujuan kami baik dan dengan dukungan semua pihak, terutama pemerintah pusat dan pemerintah daerah, REI yakin berbagai hambatan perizinan dapat diselesaikan,” kata Junaedy.