Royalti, Hilirisasi, dan Harga Tinggi Komoditas Batubara
Nyaris tak ada perubahan signifikan untuk sektor energi dalam Perppu Cipta Kerja. Masalah royalti nol persen untuk hilirisasi batubara hingga kebebasan berpendapat menjadi sorotan dalam pembahasan di sektor ini.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ”menghangatkan” lagi substansi dalam Undang-Undang Cipta Kerja, termasuk pada sektor energi dan sumber daya mineral. Salah satunya terkait insentif royalti 0 persen untuk hilirisasi batubara di tengah tingginya harga komoditas tersebut.
Pada sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM), tidak ada perubahan signifikan antara Perppu No 2/2022 dan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. UU tersebut sebelumnya juga telah memiliki turunan, salah satunya Peraturan Pemerintah No 25/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang ESDM, yang mengatur mengenai mineral dan batubara, panas bumi, dan ketenagalistrikan.
Ketentuan itu mengubah aturan dalam UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yakni pasal sisipan tentang perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara bagi pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan IUP khusus (IUPK) yang melakukan pengembangan dan/atau pemanfaatan batubara (berkait dengan kewajiban peningkatan nilai tambah mineral). Itu berupa pengenaan iuran produksi atau royalti 0 persen.
Pada Pasal 3 PP No 25/2021 disebutkan, royalti 0 persen diberikan dengan mempertimbangkan kemandirian energi dan pemenuhan kebutuhan bahan baku industri. Insentif itu dikenakan pada volume batubara yang digunakan dalam kegiatan peningkatan nilai tambah batubara. Adapun ketentuan lebih lanjut diatur dalam peraturan menteri.
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Akmaluddin Rachim, Minggu (29/1/2023), berpendapat, pengenaan royalti 0 persen kurang bijak dan tepat. Sebab, batubara sejatinya adalah kekayaan alam Indonesia, yang setelah dikeruk seharusnya tidak begitu saja dilepas tanpa ada royalti. Sebaiknya ada cara-cara lain dalam upaya hilirisasi batubara.
”Pemerintah, misalnya, memaksimalkan pendekatan kebijakan fiskal atau nonfiskal, pengurangan pajak, kemudahan berusaha, dan pendekatan kolaborasi dalam hilirisasi. Juga terkait kepastian hukum dalam berusaha yang kerap diabaikan. Padahal, inilah yang paling dibutuhkan para pelaku usaha,” kata Akmaluddin.
Akmaluddin juga mengingatkan, sesuai konstitusi, negara wajib menyejahterakan rakyatnya. Dalam konteks penerimaan negara, pemerintah harus menarik pajak dari usaha tersebut. Dengan pengenaan royalti 0 persen atau dibebaskan pajaknya, justru penerimaan negara bukan pajak (PNBP) akan berkurang.
Harga batubara yang meningkat seharusnya bisa dimanfaatkan lebih optimal bagi negara. Sementara yang didorong dalam hilirisasi ialah gasifikasi batubara berupa dimetil eter (DME) sebagai pengganti elpiji. ”Negara belum memiliki desain besar agar hasil olahan batubara bisa dimanfaatkan lebih baik. Pengembangan DME masih belum signifikan,” ujarnya.
Harga tinggi
Sejak pertengahan 2021, harga batubara terus menanjak seiring meningkatnya permintaan. Catatan Trading Economics, puncaknya terjadi pada 5 September 2022 yang mencapai 457 dollar AS per ton. Setelah itu, harga berfluktuasi, tetapi masih tinggi di kisaran 300-400 dollar AS per ton.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Anggawira, tak dimungkiri bahwa secara realistis, tingginya harga membuat pelaku usaha lebih senang menjual batubara apa adanya. Untuk hilirisasi batubara, dibutuhkan perencanaan jangka panjang yang matang, termasuk pemetaan karakteristik dan kebutuhannya.
Royalti 0 persen untuk batubara dalam rangka hilirisasi, dinilai Anggawira, sebagai hal positif. Namun, insentif tersebut baru benar-benar dirasakan jika bisnisnya sudah berjalan. Untuk mencapai itu, tantangannya tidak mudah. Perlu adanya dukungan pembiayaan dan investasi guna mendukung hal tersebut.
Sementara itu, menurut Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Lana Saria menuturkan, royalti 0 persen untuk batubara bahan baku hilirisasi menjadi dukungan agar keekonomian proyek tercapai. Pengenaan kebijakan itu diharapkan memberi kepastian kelayakan proyek, yang akan mendorong percepatan hilirisasi batubara.
Saat ini ada dua proyek gasifikasi batubara yang sudah menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN), yakni coal to DME di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, oleh PT Bukit Asam dan coal to methanol di Kalimantan Timur. Keduanya diharapkan menjadi pionir gasifikasi batubara, baik untuk kemandirian energi dan industri maupun pertumbuhan ekonomi.
Saat ini, kata Lana, pemerintah juga tengah menyiapkan sejumlah kebijakan dalam rangka mendukung kegiatan hilirisasi batubara. Salah satunya ialah Keputusan Menteri ESDM tentang tarif royalti 0 persen bagi yang melakukan peningkatan nilai tambah (PNT), sebagai peraturan teknis dari Perppu No 2/2022.
Ancaman kebebasan berpendapat
Hal lain yang mengemuka dalam Perppu Cipta Kerja terkait dengan sektor adalah adanya ancaman kebebasan berpendapat. Muncul kekhawatiran ruang gerak ekspresi warga yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan menjadi terbatas.
Pada Pasal 162 UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disebutkan, setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 136 Ayat (2) dipidana dengan kurungan paling lama 1 tahun atau denda maksimal Rp 100 juta.
Ketentuan itu lalu diubah dalam UU No 3/2020. Pada Pasal 162, ada penambahan kategori usaha pertambangan yang dimaksud, menjadi IUP, IUPK, Izin Pertambangan Rakyat (IPR), atau Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB). Ketentuan itu juga lalu dimuat dalam UU Cipta Kerja, yang diundangkan lima bulan setelah diundangkannya UU No 3/2020.
Akmaluddin menuturkan, adanya aturan yang dibuat pemerintah untuk stabilitas politik dan jaminan investasi itu sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi dan kebebasan menyampaikan pendapat yang diatur dalam konstitusi. ”Cenderung membatasi ruang eskpresi masyarakat dalam memberi kritik. Juga berbahaya karena ada potensi kriminalisasi,” ujarnya.
Sementara itu, terkait energi, seperti panas bumi, Akmaluddin menuturkan, sejak diterbitkannya UU Cipta Kerja, nomenklatur pengaturan tentang “perizinan” atau “izin” diganti menjadi perizinan berusaha. Hal tersebut menimbulkan konsekuensi atau perubahan terhadap prosedur pengajuan perizinan berusaha.
Model perizinan dalam kegiatan panas bumi yang diatur dalam UU Cipta Kerja memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Kewenangan pusat diatur dalam Pasal 6 UU Cipta Kerja terkait dengan panas bumi, sedangkan kewenangan provinsi diatur dalam Pasal 7 UU Cipta Kerja terkait dengan panas bumi.
“Pada praktiknya saat ini, untuk proses pengajuan perizinan berusaha sektor panas bumi harus melalui OSS (online single submission) dan perizinan ESDM,” tutur Akmaluddin.
Sementara mengenai dampak pada capaian target pengembangan energi terbarukan secara umum, Perppu Cipta Kerja dinilainya tidak memiliki relevansi langsung. Regulasi untuk mendorong energi terbarukan antara lain telah diupayakan dipercepat melalui Peraturan Presiden No 112/2022 dan juga RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan yang baru akan dibahas tahun ini.
Wakil Kepala Pusat Penelitian Energi Berkelanjutan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Feby Agung Pamuji mengemukakan, terkait energi terbarukan, termasuk panas bumi, membutuhkan investasi besar. Pada panas bumi, pengeboran memakan biaya. Secara umum membutuhkan investasi sangat besar di awal.
Oleh karena itu, dukungan kemudahan investasi akan dibutuhkan. Namun, menurut dia, sejumlah pengembangan energi terbarukan saat ini sudah mulai berjalan meski infrastruktur atau peralatan yang dibutuhkan harus impor. Ke depan, seiring perkembangan, diharapkan sejumlah peralatan diharapkan bisa diproduksi di Indonesia.