Selama ini banyak pengembang di daerah kebingungan dengan persyaratan kepemilikan nomor pokok wajib pajak dalam pengurusan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan atau BPHTB untuk hunian orang asing.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengatur administrasi perpajakan untuk kepemilikan hunian bagi warga asing. Mereka kini tak diwajibkan memiliki nomor pokok wajib pajak atau NPWP dalam pengurusan pajak. Sebagai gantinya, orang asing yang membeli hunian wajib mencantumkan identitas berupa nomor paspor.
Penegasan itu tertuang dalam surat Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo pada 27 Januari 2023 kepada Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia serta ditembuskan kepada Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia dan Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia.
Ketentuan itu merupakan tindak lanjut kebijakan pemerintah yang mengizinkan warga negara asing (WNA) memiliki rumah di Indonesia, baik rumah tapak maupun satuan rumah susun (sarusun). Kepemilikan hunian untuk orang asing bisa berasal dari rumah baru atau bekas pakai.
Ketua Umum Real Estat Indonesia Paulus Totok Lusida mengatakan, ketentuan itu membawa angin segar bagi pengembang, khususnya terkait kepemilikan hunian bagi WNA. Selama ini, banyak pengembang di daerah kebingungan dengan persyaratan kepemilikan NPWP dalam pengurusan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) untuk hunian orang asing.
Kemudahan bagi orang asing untuk membeli rumah di Indonesia akan menggairahkan pasar properti. ”Orang asing yang beli properti di Indonesia tidak akan banyak, tetapi bisa menggairahkan pasar,” kata Totok saat dihubungi, Sabtu (28/1/2023).
Menurut dia, selama ini ada sebagian warga negara asing membeli rumah atau hunian di Indonesia dengan memakai identitas warga negara Indonesia sehingga kerap berujung sengketa perebutan kepemilikan sah atas hunian. Kemudahan bagi orang asing untuk memiliki properti diharapkan menekan potensi sengketa.
Kebijakan kepemilikan hunian oleh warga negara asing, antara lain, diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penerapan Hak Pengelolaan dan Hak atas Tanah. Peraturan ini merupakan turunan dari ketentuan Pasal 142 dan Pasal 182 Huruf b Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Menurut Totok, ada beberapa kota besar yang berpotensi dibidik warga asing untuk kepemilikan hunian, yakni Bali, Jakarta, Batam, dan Surabaya. Kendala yang masih muncul, WNA belum diperbolehkan membeli rumah melalui skema kredit. Ini berbeda dengan di luar negeri, misalnya Singapura dan Amerika Serikat, di mana warga negara asing dapat membeli rumah lewat skema kredit.
Ia menilai, kepemilikan properti bagi orang asing tak perlu dikhawatirkan karena aset tetap ada di Indonesia. Namun, perlu kriteria dan batasan harga minimal rumah yang bisa dibeli oleh warga negara asing guna memastikan warga asing tidak membeli hunian untuk segmen menengah bawah.
Berdasarkan Permen ATR/ BPN No 18/2021, kriteria rumah tapak yang dapat dimiliki orang asing adalah rumah mewah, satu bidang tanah per orang/keluarga, dan tanahnya paling luas 2.000 meter persegi. Namun, apabila memberikan dampak positif terhadap ekonomi dan sosial, rumah tapak dapat diberikan lebih dari satu bidang tanah atau luas lebih dari 2.000 meter persegi. Adapun batasan rusun berupa rusun komersial.
Pengawasan
Selain persyaratan dan kriteria hunian, harga rumah untuk orang asing juga dibatasi. Dalam Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN No 1241/ SK-HK.02/IX/2022 tentang Perolehan dan Harga Rumah Tempat Tinggal/Hunian untuk Orang Asing yang berlaku 12 September 2022, setiap wilayah di Indonesia memiliki batasan minimal harga hunian yang berbeda bagi warga asing. Batasan harga minimal rumah tunggal untuk WNA ditetapkan Rp 1 miliar-Rp 10 miliar.
Secara terpisah, praktisi hukum properti, Eddy Leks, berpendapat, ketentuan itu akan berdampak positif bagi kepemilikan hunian oleh WNA di Indonesia. ”Tantangannya sekarang adalah menjalankan peraturan yang sudah diterbitkan,” ujarnya.
Eddy menambahkan, pengawasan terkait kepemilikan hunian bagi WNA masih belum jelas diatur. Peraturan dinilai masih fokus pada mekanisme dan syarat-syarat terhadap kepemilikan hunian, tetapi mekanisme pengawasan dan pihak yang mengawasi belum jelas. ”Siapa yang mengawasi tidak jelas. Apakah pengembang? Apakah Pejabat Pembuat Akta Tanah?” ujarnya.
Menurut dia, potensi masalah muncul jika penjual tak tahu nilai minimum rumah yang diperbolehkan untuk WNA. Akibatnya, nilai jual dalam akta jual beli berpotensi di bawah nilai jual yang disyaratkan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengatur lebih jelas guna mengantisipasi pelanggaran hukum.