Memutar Untung untuk Mengayuh Gerak Sosial
Hibah justru dapat menjadi disinsentif dalam mengembangkan karakter wirausaha. Modal bisnis yang bersifat nonhibah secara tidak langsung membuat wirausaha mempelajari tren pasar dan beradaptasi.
Selama pandemi Covid-19, wirausaha sosial bersusah payah agar aktivitas ekonomi tumpuan komunitas yang digandeng tetap melaju. Penurunan penjualan tak terelakkan. Namun, memasuki Tahun Baru dan pascapagebluk, wirausaha sosial yang terbiasa memutar untung justru melesat.
Anjani Sekar Arum yang menggandeng komunitas perajin dan budayawan Batik Bantengan di Batu, Jawa Timur, menyebutkan, penjualan produk batik selama pandemi Covid-19 merosot hingga 20-30 persen dibandingkan sebelum 2020.
”Penurunan penjualan ini tidak terlalu signifikan karena kami tetap mendapatkan omzet dari pesanan pemerintah daerah dan kantor Bank Indonesia setempat. Mereka memesan seragam, masker, dan suvenir batik. Saat ini penjualan kami sudah meningkat 40 persen dibandingkan tahun lalu,” tuturnya saat dihubungi, Kamis (12/1/2023).
Terdapat paling tidak 142 kelompok perajin dan budayawan yang terlibat dalam komunitas. Setiap kelompok terdiri atas 60 orang. Tak hanya membatik, Anjani mengatakan, anggota komunitas tersebut juga turut dalam aktivitas pelestarian budaya.
Kenaikan penjualan pascapandemi membuat mereka mampu melebarkan sayap.
Kegiatan-kegiatan komunitas tersebut, kata Anjani, bertumpu pada pemasaran dan penjualan batik. Saat penjualan batik turun kala pandemi, dia mengalihkan aktivitas komunitas yang semula tatap muka menjadi dalam jaringan. Kini, kenaikan penjualan pascapandemi membuat mereka mampu melebarkan sayap. Menurut rencana, pada 2023, dia akan berbagi pengalaman dalam membangun desa wisata berbasis budaya. Program ini melibatkan desa-desa yang dibina PT Astra International Tbk.
Baca juga: Usaha Sosial-Kreatif Sasar Ekonomi Warga
Dinamika wirausaha sosial selama pandemi juga terpotret dalam dokumen berjudul ”Designing Legal Frameworks for Social Enterprises: Practical Guidance for Policy Makers” yang diterbitkan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Cooperation and Development/OECD) pada April 2022. Dokumen itu menyoroti kemampuan adaptasi para wirausaha sosial dalam menjalankan aktivitas usaha, seperti digitalisasi operasional atau pengembangan produk baru.
Berkreasi dan merambah produk anyar menjadi siasat Cinderella from Indonesia Center di tengah pandemi. Ragam kreasi itu dapat menarik grant atau hibah sekaligus dapat disalurkan pada kelompok masyarakat yang membutuhkan.
CEO Cinderella from Indonesia Center Lusia Kiroyan menuturkan, semula usaha sosialnya memproduksi boneka yang dipanggil Batik Girl. Boneka-boneka itu merupakan kreasi tangan narapidana perempuan yang berada di lembaga pemasyarakatan. Saat ini, terdapat 150 narapidana yang terlibat dan berasal dari LP di Batam, Jakarta, dan Bali.
Namun, pandemi Covid-19 membuat Lusia tidak dapat menjual boneka-boneka tersebut. Biasanya, dia mengandalkan pameran di luar negeri, seperti Amerika Serikat dan Australia, serta menjualnya dengan harga 15 dollar AS per boneka. Untung dari penjualan itu digunakan untuk memproduksi boneka tambahan. Produksi yang targetnya minimal 1.000 boneka per tahun itu ditopang oleh dana hibah.
Banting setir
Kesulitan berjualan selama pandemi menantang Lusia yang tetap harus memikirkan pemasukan bagi para narapidana yang dibina. Dia pun banting setir dan mencari dana hibah yang dapat menyokong. ”Pada awal pandemi, saya mendapatkan grant dari program Wirausaha Muda Mandiri Bank Mandiri sehingga narapidana di Batam dapat membuat 1.000 paket makanan 4 sehat 5 sempurna yang dibagikan ke orang-orang yang membutuhkan. Program bernama Happy Food ini berjalan dari Februari 2020-Oktober 2021,” tuturnya.
Tak hanya membuat paket makanan, Lusia juga memfasilitasi pembuatan masker kain. Dia mendapatkan hibah dari Singapura berupa lima mesin jahit dan dana sebesar Rp 20 juta untuk melatih narapidana membuat masker kain selama tiga hari. Masker itu dibeli oleh pihak pemberi dana untuk dibagikan ke anak-anak sekolah yang membutuhkan. Jumlahnya 1.000 masker per bulan. Pihak pendana membayar Rp 7,5 juta per bulan. Aktivitas tersebut berjalan dari November 2021 hingga Juli 2022.
Baca juga: Kawan Muda, Yuk Garap Bisnis Hijau
Selain itu, Lusia juga memperoleh dana dari Australia melalui alumni Grant Scheme sebesar 10.000 dollar Australia saat pandemi. Dia menggunakan dana hibah itu untuk membuat seri film animasi berjudul Ficucia dengan total tiga episode. Proyek animasi yang berjalan sejak November 2021 melibatkan mahasiswa Politeknik Negeri Batam.
”Hingga akhir produksi, ada 74 orang yang terlibat. Mahasiswa yang ikut dalam proyek ini otomatis jadi punya portofolio kerja. Film ini pun dibuat agar sejalan dengan Batik Girl,” katanya.
Sulit kontinu
Di sisi lain, Head of Economic Opportunities Research Center for Indonesian Policy Studies Trissia Wijaya menilai, mengandalkan hibah sebagai modal tidak menjamin kontinuitas kegiatan wirausaha sosial.”Grant dapat berdampak bagi yang baru beralih menjadi wirausaha. Namun, grant justru dapat menjadi disinsentif dalam mengembangkan karakter wirausaha. Modal bisnis yang bersifat non-grant secara tidak langsung membuat wirausaha mempelajari tren pasar dan beradaptasi,” katanya saat dihubungi, Kamis.
Dia menambahkan, skema hibah untuk menyokong kegiatan usaha juga dapat dimanfaatkan oleh wirausaha yang sulit mendapatkan kredit. Namun, dia menyarankan, sebaiknya wirausaha mendapatkan fasilitas untuk memperkuat literasi keuangannya.
Baca juga: Belajar Berwirausaha, Meretas Keterbatasan
Saat ini, Lusia tengah mencari cara agar dapat mengombinasikan sumber pendanaan usaha dari hibah dan perputaran bisnis tanpa menggerus nilai-nilai sosial yang diperjuangkan. ”Memang pendanaan utama aktivitas kami berasal dari grant. Saya sadar skema ini dapat membuat usaha kami tidak sustained. Kalau pasar Indonesia mau membeli boneka yang diproduksi, untung yang diperoleh mungkin bisa membantu,” ujarnya.
Sejak berdiri pada 2012, yayasan yang dinakhodai Lusia sudah mendapatkan hibah setidaknya dari Australia, AS, dan Singapura. Dia juga mendapatkan pendanaan lewat program Wirausaha Muda Mandiri. Jumlah hibah yang diperoleh sekitar 29.000 dollar AS, 45.000 dollar Australia, dan Rp 115 juta.
Corporate Secretary PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Rudi As Aturridha mengatakan, program Wirausaha Muda Mandiri merupakan bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan. ”Wirausaha sosial yang terlibat dalam program tersebut akan memperoleh dukungan pengembangan usaha, seperti peralatan dan pelatihan yang dibutuhkan,” ujarnya saat dihubungi, Kamis.
Sementara itu, dokumen OECD yang sama juga menyebutkan, wirausaha sosial memiliki potensi kuat untuk menyokong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan lestari. Potensi itu muncul lantaran wirausaha sosial memberikan kesempatan bagi kelompok masyarakat yang diajak kerja sama untuk menciptakan aktivitas ekonomi dengan dampak sosial.
Panggung ekonomi Tanah Air membutuhkan kelanggengan peran dan potensi para wirausaha sosial. Untuk mewujudkannya, kolaborasi dengan pemerintah dan swasta dibutuhkan untuk memperkuat keterampilan bisnis dan keuangan mereka. Jangan sampai mereka terlena karena kerap dimanjakan hibah.