Wirausaha sosial-kreatif memberikan energi positif bagi sejumput ekonomi nasional. Mereka mengungkit ekonomi warga dan komunitas.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wirausaha sosial-kreatif terus bertahan kala pandemi. Mereka tetap bergerak memberdayakan warga untuk menggeliatkan kembali ekonomi rumah tangga yang turut terimbas pandemi Covid-19. Mereka blusukan dari rumah ke rumah mencari warga yang bisa digandeng untuk mencipta karya yang bisa mengisi pundi-pundi ekonomi keluarga.
Di tengah pandemi, mereka beradaptasi dengan memperluas kemitraan. Mereka juga mengoptimalkan pemanfaatan teknologi, baik untuk pengendali kontrol kualitas produk maupun pemasaran.
Co-founder Cloufa Nyoman Anjani, Kamis (17/9/2020), mengatakan, setelah blusukan ke sejumlah konfeksi apparel atau pakaian skala rumahan yang terdiri atas 3-20 penjahit, usahanya diluncurkan dua pekan lalu.
Dari blusukan itu, Nyoman mewawancarai sekitar 20 perwakilan rumah konfeksi. Dia menemukan penjahit rumahan belum memahami pemasaran digital. Pandemi Covid-19 juga membuat pemesanan jahitan mereka menurun.
”Saya blusukan ke gang-gang yang motor saja tak muat. Mereka (penjahit) merupakan pekerja sektor informal yang taraf hidupnya sederhana dan sulit memperoleh akses permodalan. Hati saya tergerak untuk menghadirkan teknologi agar mereka dapat hidup lebih layak dan skala usaha mereka meningkat,” ujarnya di Jakarta.
Mereka (penjahit) merupakan pekerja sektor informal yang taraf hidupnya sederhana dan sulit memperoleh akses permodalan.
Cloufa merupakan platform atau wadah digital yang menghimpun konfeksi pakaian skala industri rumah tangga dan mempertemukan mereka dengan vendor atau pemilik jenama (brand) sebagai pembelinya. Konfeksi-konfeksi itu berada di Bandung, Jawa Barat. Pembeli dapat memesan melalui laman cloufa.com.
Kehadiran teknologi pun membuahkan hasil. Nyoman menyebutkan, dalam dua pekan ini terdapat sekitar 2.300 pesanan pakaian. Pemesan berasal dari Bandung, Jakarta, Jawa Timur, hingga Papua.
”Jenama lokal yang berjualan pakaian langsung ke konsumen dan mengandalkan kanal penjualan daring tetap bertumbuh di tengah pandemi Covid-19. Pemilik jenama lokal menjadi salah satu target pasar untuk menciptakan dampak berganda bagi sekitar,” kata Nyoman.
Co-Founder dan Direktur Komunitas Du Anyam Hanna Keraf juga blusukan ke komunitas ibu-ibu penganyam. Dia bahkan menginap di rumah mereka. ”Blusukan ini penting untuk membangun kepercayaan dengan komunitas ibu-ibu di sana. Sebelum pandemi, kami juga blusukan ke desa untuk bertemu mereka dan membahas pesanan kerajinan anyaman,” ujarnya.
Kini, sekitar 1.200 ibu rumah tangga menjadi mitra binaan Du Anyam. Mereka tinggal di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, dan Papua. Bahan baku kerajinan anyaman pun beraneka ragam, sesuai dengan serat alam yang ada di daerah tempat tinggal masing-masing.
Hanna mengakui, di tengah pandemi Covid-19, komunitas ibu-ibu penganyam menjadi ”bensin” untuk mempertahankan Du Anyam. Pada awal pandemi, penjualannya merosot lebih dari 80 persen.
”Pendapatan yang diperoleh ibu-ibu ini sebenarnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan keluarga. Saya tetap mencoba mempertahankan usaha. Setiap keputusan yang diambil, saya mencoba melihatnya dari sudut pandang mereka,” katanya.
Pendapatan yang diperoleh ibu-ibu ini sebenarnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan keluarga. Saya tetap mencoba mempertahankan usaha.
Hanna menambahkan, salah satu bentuk adaptasi bisnis di tengah pandemi ini adalah memberdayakan pemuda desa setempat untuk mengendalikan kualitas produk. Pemuda-pemuda itu memotret kerajinan anyaman dari komunitas ibu-ibu dengan standar yang telah ditentukan dan mengirimkannya kepada Du Anyam.
Riset berjudul ”Lanskap Usaha Sosial-Kreatif di Indonesia” menyebutkan, beberapa tahun terakhir ini semakin banyak organisasi yang menggabungkan keterampilan kreatif dengan misi sosial sebagai satu kesatuan usaha sosial-kreatif.
Riset yang diinisiasi British Council, Asian Venture Philanthropy Network (AVPN), serta Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik (UN ESCAP) juga menunjukkan, rata-rata jumlah pekerja perempuan di usaha sosial-kreatif lebih tinggi dibandingkan dengan usaha lainnya.
Tingkat serapan usaha sosial-kreatif terhadap pekerja perempuan pada 2019 rata-rata 3,8 orang, sedangkan usaha lainnya 0,6 orang. Pada tahun lalu, rata-rata serapannya 2,7 orang.
Riset tersebut juga menunjukkan, sebanyak 18 persen wirausaha sosial-kreatif Indonesia menciptakan bisnis yang bertujuan mengakhiri kemiskinan dalam bentuk apa pun. Orientasi ini menempati posisi tiga teratas dari 18 visi yang selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Founder Menganyam Pesisir Kharolin Hilda Amazona mengemukakan, di tengah pandemi, banyak ibu rumah tangga yang membutuhkan uang untuk membiayai pendidikan anak dan menanggung hidup anggota keluarga yang terkena pemutusan hubungan kerja.
Oleh sebab itu, Menganyam Pesisir bergandengan tangan dengan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berada di Yogyakarta. ”Kami berkolaborasi dengan UMKM penghasil kulit lalu membuat produk baru berupa pouch seharga Rp 30.000-an,” ujarnya.
Menganyam Pesisir tengah membina 10 ibu rumah tangga yang tinggal di Gunung Kidul dan lima ibu rumah tangga di Bantul. Akibat pandemi Covid-19, penjualan mereka turun sekitar 60 persen.
Di tengah pandemi, banyak ibu rumah tangga yang membutuhkan uang untuk membiayai pendidikan anak dan menanggung hidup anggota keluarga yang terkena pemutusan hubungan kerja.
Pandemi Covid-19 juga turut melahirkan gerakan Masker untuk Indonesia. Inka Permata Tiono, salah satu sukarelawan gerakan itu, menceritakan, konsumen diajak mendonasikan tiga masker dengan membeli satu masker. Hingga saat ini, gerakan ini telah mendonasikan lebih dari 600.000 masker ke Indonesia.
Gerakan ini turut menggandeng seniman untuk mendesain masker. ”Kami ingin mengapresiasi dan meningkatkan daya saing mereka dengan menjadi wadah promosi sehingga dapat membantu produktivitas usahanya,” kata Inka.